26 Mei 2009

Apa Sekolah Diperlukan?

 



Saat saya masih mondok, saya pernah mengagumi salah seorang guru bernama Gus Hawa. Beliau hafal al-Quran sejak masih muda, hebatnya lagi ia hafal hanya dalam waktu 10 bulan. Demikian juga adik-adiknya delapan bersaudara semuanya huffadz. Ketika saya mencari tahu, apa resep keberhasilan keluarga mereka? Ternyata, Abah Gus Hawa yang juga seorang kiai pernah menegaskan, "Siapa yang tidak mau menghafal al-Quran, tidak aku akui sebagai anak".

Gertakan sang ayah itu rupanya membakar putra-putrinya bersemangat menghafal al-Quran. Bukan hanya itu, demi misi mulia tersebut, anak-anaknya sengaja tidak dimasukkan ke bangku sekolah. Mengenal aksara, belajar membaca dan berhitung, mengaji ilmu agama, semuanya langsung ditangani sang kiai dan bu nyai. Menurut pengakuan Gus Murod, adik Gus Hawa, mereka bersaudara bisa hafal sebelum usia 15 tahun, mereka diajari bekerja langsung ke ladang dan menjual hasil panen ke pasar.

Ada juga saudaranya yang disuruh menjaga toko di pesantren abahnya, mengajar para santri yang mondok ke rumah abahnya dan berbagai aktifitas lain yang mendorong mereka bersaudara berani mengambil resiko, ikhtiyar tanpa kenal menyerah, tidak bergantung kepada orang lain, ikhlas dan bertanggung jawab. Bukankah nilai-nilai moral ini yang selalu dibeberkan di sekolah, madrasah atau perguruan tinggi yang lahiriyahnya maju agar supaya lulusannya bersikap mandiri, tapi setelah lulus mereka malah kebingungan mencari kerja dan hanya bergantung pada secarik ijazah. Sementara itu, esensi belajar dan materi ajar yang sesungguhnya tidak semuanya dikuasai anak didiknya. Apalagi kini hasil prestasi siswa hanya diukur dengan nilai pelajaran bahasa Indonesia, Inggris dan matematika. Sungguh, para pelajar itu telah menyia-nyiakan waktunya di bangku sekolah hanya untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka butuhkan!

Selain keluarga Gus Hawa, apa ada orang lain yang tidak pernah sekolah tapi kehidupannya berhasil? Lama sekali saya mencari jawaban pertanyaan ini. Akan tetapi, 5 hari yang lalu saya baru tahu bahwa salah satu tetangga kampung saya ada seorang gadis yang usianya masih sekitar 13 tahun tidak sekolah! Saya terkejut mendengar kabar ini. Setelah saya melihat dan ketemu orang tuanya, saya baru lega bahwa manusia langka itu masih ada.

Gadis polos berkulit sawo matang itu benar-benar tidak sekolah, hanya ngaji di kampung. Tapi hebatnya, ia telah bekerja membantu ibunya menjual ayam potong di pasar Gadang Malang sejak bakda subuh hingga siang hari. Sejak usia 6 tahun gadis keturunan Madura itu membantu menjualkan dagangan orang tuanya. Tapi kini, gadis itu telah memiliki stand sendiri dan memasarkan dagangannya sendiri. Dia mampu mengatur keuangan, bisa menghitung laba dan stok barang, pintar menjajakan jualannya, bahkan ia juga fasih berbahasa Indonesia. Menariknya, sekali lagi, gadis itu tidak pernah mengenyam bangku sekolah! Menurut penuturan ibunya, sekolah hanya pemborosan waktu dan uang saja. Percuma saja sekolah atau kuliah, jika setelah lulus juga jualan di pasar. Demikian alasan ibu si gadis itu yang rupanya telah banyak belajar dari realitas kehidupan di sekitarnya. Kepekaan ibu muda itu terhadap fenomena yang ada di sekelilingnya mendorongnya berani bersikap dan mengambil keputusan besar ini. Ia berani tidak menyekolahkan anaknya, berani untuk tidak mau terjatuh dalam satu lubang dua kali setelah ia melihat bahwa lembaga pendidikan hanya bisa menambah pengangguran dan terbukti gagal mewujudkan cita-cita orang tua para siswa.

Perempuan itu tidak peduli cibiran dan ancaman masa depan buruk sang putri yang sering ia dengar dari para tetangganya. Ibu itu benar-benar telah mengambil hikmah dan berani melakukan terobosan baru agar putrinya tidak kecewa dan tidak merasakan kegagalan seperti teman-temannya yang lain yang telah menyia-nyiakan waktu di TK 2 tahun, SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, kuliah S1 4-5 tahun, tapi setelah 19 tahun ujung-ujungnya juga bekerja menjual ayam potong, bahkan banyak temannya yang masih kebingungan mencari kerja. Jika pun dapat kerja karena punya ijazah, paling-paling hanya jadi buruh, kuli, karyawan yang semuanya bawahan. Berbeda dengan ibu si gadis. Dalam waktu tidak lebih dari 8 tahun telah berhasil membentuk putrinya menjadi juragan untuk dirinya sendiri.

Jika sekolah hanya berorientasi pada bisnis, meninggikan biaya SPP dengan tawaran fasilitas belajar serba mudah dan lengkap. Jika sekolah yang hanya bisa berjanji bahwa lulusannya terjamin dapat kerja. Jika sekolah bertujuan anak didiknya lulus UAN dengan standar pendidikan yang sengaja dibuat tapi tidak dibutuhkan oleh anak didik dan orang tuanya.

Jika sekolah hanya bisa memberi ijazah dan menambah gelar. Maka benar apa yang dikatakan Karl Mark bahwa sekolah adalah candu masyarakat.

Jadi, sekolah yang sebenarnya bukan hanya duduk di balik sekat-sekat kelas, menuruti sederet kurikulum pelajaran yang tidak jelas tujuannya dan sering tidak dibutuhkan. Sekolah yang sesungguhnya adalah semua ciptaan Allah di alam semesta. Semua mengandung pelajaran yang tak ternilai harganya. Sekolah yang sesungguhnya adalah mendorong seseorang terus berfikir dan berdzikir sambil berikhtiyar dan tawakkal.

1 komentar:
Tulis komentar