10 Mei 2009

Pak Muh, Teman Nabi Khidir

 

Di Kediri kemarin, aku berkesempatan mampir ke rumah Pak Muh, nama panggilan yang selengkapnya bernama Muhammad. Lelaki setengah baya sekitar 45 tahunan. Rambutnya mulai ditumbuhi uban dan juga kumisnya yang lebat. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada sosok Sunan Kalijaga yang diperankan Dedy Mizwar. Melihat rumahnya yang tipe RSSS (rumah sangat sederhana sekali) bahkan bagian belakangnya terbuat dari ayaman bambu, tapi bapak 2 anak ini tak menampakkan wajah susah atau kekurangan. Dia selalu ceria, tampak bersemangat dan suaranya lantang khas orang desa. Lama saya ngobrol dengan sambil ditemani sebungkus rokok, kopi dan pisang goreng.
Saya tertarik sowan ke rumahnya karena dia satu-satunya pria desa yang ikhlas membersihkan masjid, menguras bak tempat wudlu, menyapu lantai, dan sebagainya. Saya berfikir, pasti dia bukan orang sembarangan. Sebab, hari gini mana ada relawan tanpa bayaran yang sanggup mengurus rumah Allah jika bukan orang pilihan Allah?
Asumsi saya sedikit demi sedikit mulai terbukti melalui wawancara tak langsung itu. Ternyata, Pak Muh tak punya kerjaan tetap. Kadang ia menjadi tukang bangunan atas ajakan teman atau permintaan warga untuk membetulkan atap rumah yang bocor atau buruh tani musiman ada juragan tanah di saat panen. Sementara isterinya, Bu Min biasa mengantar jajan gorengan di SD terdekat tiap jam 6 pagi. Yang jelas, di sela-sela masa nganggur, pekerjaan tetap Pak Muh adalah pergi berendam ke Sungai Brantas atau sungai-sungai kecil di Kediri. Terus ngapain di sono?
Di sinilah, Allah membuka mataku untuk mengenal salah seorang pilihan-Nya. Ternyata, Pak Muh ke sungai hanya untuk mendulang emas sambil membawa alat sederhana berupa ayakan lebar seperti tempeh:jawa, alat pancing dari bambu dan tas plastik kecil berisi 2 buah pisang. Terkadang sejak pagi hingga siang ia menemukan butiran pasir mengandung emas atau perak, itupun jika beruntung. Tapi yang sering adalah sampah seperti sandal, kancing baju, dan macam-macam. Jika tak dapat apa-apa, paling tidak ia dapat ikan bader kecil-kecil dan ikan lainnya. Pokoknya gak mesti. Ketika saya tanya, untuk apa 2 buah pisang itu? O, itu untuk sarapan siang saya jika lapar dan katanya ia cukup membawa 500 rupiah untuk jaga-jaga kalau perlu uang.
Dalam hati saya berteriak, Ya Allah, tabungan hidupnya hanya 500 rupiah. Dia tidak bisa berpikir kekayaan apa yang akan diwariskan untuk anak-anaknya. Tapi yang jelas, setiap bakda maghrib hingga isyak ia mengajar kedua anaknya mengaji al-Quran dan ilmu agama. Hanafi, anak pertamanya kini telah masuk kelas 2 SMP. Sedangkan adiknya, si Putri masih kelas 2 SD.
Pak Muh menyambut rizeki yang telah ditakar Allah dengan cara menyisiri sungai, mengais sampah, berharap dapat mendulang emas yang keberuntungannya 1 kali berbanding 100 kesempatan, tapi ia tetap istiqomah menjaga rumah Allah, mendidik ilmu agama melalui dirinya sendiri, senang bersosial dan membantu tetangga yang membutuhkan dan bahkan bisa menghidupi keluarganya hingga hari ini tanpa memiliki hutang maupun tanggungan kredit, sekalipun ia belum pernah terdaftar sebagai penerima BLT dari negara.
Sungguh, dialah teman Khidir, nabi yang identik dekat dengan sungai, tempat air bah di lautan bermuara dan aliran yang airnya tawar, bisa diminum dan dimanfaatkan oleh manusia. Di sini, Allah mengajariku bahwa siapapun yang berada dan peduli dengan rumah-Nya (baca: masjid), Dia takkan pernah menterlantarkannya.

Sekalipun kerja Pak Muh serabutan, tapi hidupnya cukup, tak pernah merasa kurang. Pak Muh paham, bahwa orang miskin adalah orang yang selalu merasa kurang, tidak pernah puas dengan anugerah Allah dan karena itu biasanya orang rela berhutang uang sebanyak apapun demi obsesi dan planning yang telah dirancang. Tapi tidak dengan Pak Muh. Dia bukan PNS yang berani berhutang dengan angsuran sebesar apapun yang dipotong dari gaji-gajinya untuk masa kerja ke depan yang belum tentu di masa depan ia hidup atau bekerja dengan baik.

Pak Muh juga bukan dosen/guru/kiai yang berjuang siang-malam mengajar dan berdakwah demi orang lain, tapi tidak mampu mengajar anaknya sendiri. Kini banyak orang bergelar tinggi, tapi hanya untuk mengajar ayat al-Quran dan baca tulis aksara latin/arab demi anak sendiri sudah tidak mampu, tidak punya kesempatan atau alasan-alasan rasional lainnya sehingga perlu dibawa ke TPQ atau guru les privat. Pak Muh juga bukan pejabat negara yang rumah dan kantornya harus sama-sama mewah. Dia hanya ingin rumah Allah harus lebih bersih dan mewah daripada rumahnya yang reot.
Yah, manusia seperti Pak Muh memang langka, visi-misi hidupnya kerap misterius seperti Khidir. Akan tetapi, esensi hidup untuk ibadah dapat ia perankan dengan baik. Langkahnya akan tetap menyisiri sungai sambil memikirkan firman Allah "Qul law kanal-bahru midadan li kalimati rabbi, la-nafidal-bahru qobla an tanfadza kalimatu robbi, walau ji'na li-mitslihi madada". (katakan: andai air lautan itu berubah menjadi tinta untuk menulis kata Allah, pasti lautan akan habis sebelum mencukupi untuk menulis kata Allah, walaupun kita terus menambahnya).
Akhirnya, saya pun berhenti bertanya sebab saya tak ingin gagal seperti Musa. Saya hanya bisa berkata: Slamat Pak Muh, tolong jika bertemu Nabi Khidir, sampaikan salam dariku, taufiq.
Kediri, 10 Mei 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar