5 Desember 2009

Poligami Hanya Selera Pemberani

 


Poligami, sejak dulu hingga kini, tetap menjadi tema hangat, aktual dan kontroversial. Berbagai pendapat pro dan kontra saling dilontarkan, bukan saja oleh para ulama atau fuqaha, tapi semua kalangan punya pandangan dan argumen sendiri tentang poligami.

Kebanyakan, mereka yang pro poligami adalah kaum pria. Sebaliknya, mereka yang menentang poligami mayoritas dari kalangan wanita dan aktivis gender. Perdebatan itu takkan pernah berakhir. Adanya poligami dimana pria boleh menikah lebih dari satu, sedangkan wanita dilarang poliandri dipandang tidak adil dan ketentuan itu, sekalipun berasal dari hukum agama, perlu dikaji ulang. Teks agama yang membolehkan poligami perlu diinterpretasi lagi. Sebab, dengan kebolehan poligami, wanita selalu menjadi korban. Kurang lebih seperti ini alur perdebatan seputar poligami.

Surat Al-Nisa ayat 3 yang berbunyi: "Fan-kihuu ma thoba lakum minan-nisa', matsa wa tsulatsa wa ruba'. Fain khiftum 'alla ta'diluu fa wahidah...". Artinya, "Nikahilah wanita yang baik bagimu, dua, tiga atau empat. Tapi, jika kalian takut tidak bisa berbuat adil, cukup satu saja".

Ayat ini menjadi dasar kebolehan poligami dalam Islam dan tidak ada satupun ayat atau hadis yang secara tegas dan sharih melarang poligami. Kecuali, dihubung-hubungkan melalui pemikiran. Mayoritas fuqoha berpendapat, poligami boleh asal tidak lebih dari 4 isteri, dengan catatan, yang bersangkutan mampu berbuat adil. Jika tidak mampu, cukup 1 isteri saja. Pendapat ulama ini berarti memahami huruf "waw" pada ayat di atas bermakna "atau/koma". Pemahaman para ulama itu tampak tidak sama dengan Nabi Muhammad yang menilai huruf "waw" di atas berarti "dan/tambah".

Jadi, 2 + 3 + 4 = 9, sehingga isteri Nabi tercatat 9 orang. Terlepas dari pendapat bahwa Nabi memiliki "khususiyah" yang tidak sama dengan umatnya. Yang jelas sejarah mencatat bahwa isteri beliau 9 orang.

Bahkan, dalam beberapa buku sejarah, seperti al-Ahwal wa al-Hawadits karya Sayyid Muhammad al-Maliki, di sana tercacat bahwa ada 24 wanita yang pernah dihubungkan dengan Nabi, baik sebagai isteri, isteri yang dicerai sebelum disentuh (baca: jimak) maupun wanita yang sekedar bertunangan lalu batal menikah dengan beliau. Jika data ini valid, berarti huruf "waw" pada ayat diatas diartikan "kali", jadi 2 x 3 x 4 = 24 orang.

Batas maksimal poligami 4, 9 atau 24 belum usai dan masih ada ikhtilaf lain seputar poligami, yaitu tentang syarat seseorang diperbolehkan berpoligami, sehingga muncul berbagai persyaratan yang dikemukakan ulama untuk membatasi praktek poligami. Misalnya, suami harus "adil" dalam arti mampu segala-galanya dalam memimpin para isteri dan membiayai mereka, sekaligus memenuhi nafkah lahir-batin. Jika tidak mampu, suami dinilai tidak adil dan cukup menikah dengan seorang isteri saja. Atau, suami boleh menikah lagi, asal ada "restu" dari pihak isteri. Ada juga yang mensyaratkan bahwa poligami boleh asal dalam "keadaan darurat syar'i" misalnya karena isteri -secara medis- dinyatakan mandul dan dipastikan tidak bisa memberi keturunan sehingga dalam kasus ini faidah nikah tidak tercapai kecuali dengan poligami.

Terkait dengan syarat di atas, Muhammad Syahrur memiliki pendapat menarik terkait penafsirannya tentang ayat-ayat poligami pada awal surah an-Nisa'. Menurutnya, penafsiran ayat 3 tentang kebolehan menikah dua-tiga-empat (baca: poligami) tidak bisa dilepaskan dengan bahasan ayat sebelumnya. Bahwa, ayat-ayat itu lebih memperioritaskan pada kajian harta warisan anak yatim. Sehingga, pria baru boleh berpoligami asalkan wanita yang akan dinikahinya adalah janda yang memiliki anak. Maka, konteks "adil" di sana adalah adil terhadap anak-anak yatim bagi si janda dan harta-benda yang menjadi milik mereka. Jika seorang pria merasa tidak mampu adil dalam hal itu, ia cukup menikah satu saja. Dengan ini berarti seorang pria tidak boleh menikah lagi dengan wanita yang masih gadis.

Tampaknya, pendapat Syahrur lumayan klop dengan alasan klasik yang berargumen bahwa kebolehan pria berpoligami karena populasi wanita lebih banyak daripada pria, misalnya komunitas pria banyak yang gugur karena perang sehingga lebih sering mengakibatkan banyak wanita menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim.

Dari berbagai kajian tentang poligami dalam menafsiri ayat al-Quran di atas, hal-hal yang bisa memantik pendapat kontroversi dan menjadi kata kunci tafsir poligami adalah: kata adil (ta'dilu), huruf waw, wanita janda (ayama), kata perintah "nikahilah" (fan-kihuu), kata "yang baik bagi kalian" (ma thoba lakum), kata "maka satu" (fa wahidah), dan sebagainya. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa pada ayat itu ada kalimat "fa in khiftum" (bila kalian takut). Jika kita kembali kepada teks al-Quran yang menyebut: "Jika kalian takut tidak bisa berbuat adil,....", maka pada ayat ini ada satu kata kunci, yaitu "Takut" yang harus pula dimasukkan pada kajian poligami. Bahkan, menurut saya, "takut" inilah kata kunci utama dalam hal poligami.

Bagaimana bila "Tidak Takut"? Jawabannya jelas, poligami boleh dan sah-sah saja. Asalkan tidak takut atas pertanggungjawaban tentang adil, tidak takut pada isteri, tidak takut keluarganya akan terlantar, tidak takut dengan resiko ekonomi, tidak takut dengan omongan masyarakat, tidak takut dengan konsekwensi sanksi dari instansi kerja, tidak takut dengan beratnya tanggungjawab di akherat kelak, maka dipersilahkan berpoligami. Jadi, poligami hanya bagi orang yang "la khoufun a'laihim wa la hum yahzanun".

Dengan kata, ia hanya untuk selera pemberani. Setuju? Saya yakin Anda tidak sepenuhnya setuju karena memang poligami adalah salah hal yang terus kontroversial. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar