10 Februari 2010

Amin kpd Banyak Tuhan

 


Dalam sebuah majelis, hampir 1000 umat Islam berkumpul. Mereka beristighatsah, bertahlil, beristighfar, berdoa, bermunajat, bertawassul, bertakbir, bertahmid dan segala macam lafal dzikir diucapkan. Pakaiannya serba putih bersih. Yang pria berpeci, sedang wanitanya berkerudung. Suasana tampak sakral, khusyuk dan hening.
Di barisan depan, para kiai khusus, asatidz dan dai tampak manggut-manggut sambil memutar tasbih. Sementara itu, panggung acara diisi para tokoh yang namanya "tokoh lintas agama". Ada beberapa kiai, pendeta, biarawan dan sebagainya. Mereka lebih khusyuk lagi karena ada di atas panggung.
Menghitung jumlah hadirin yang mencapai ratusan, bahkan ribuan, semua yakin doa-doa yang mereka panjatkan pasti terkabul. Seperti demonstrasi, semakin banyak maka semakin kuat, semakin beragam dan diikuti semua elemen maka semakin inspiratif, semakin berwarna maka semakin indah, asal tidak berakhir bentrok!
Secara kuantitas, bukan hanya dilihat dari segi banyaknya jumlah peserta dan tokoh yang hadir yang menjadi barometer keyakinan terkabulnya doa, dalam pandangan para hadirin, barangkali semakin banyak "tuhan" yang diminta, maka semakin cepat doa mereka terkabul. Pokoknya, seru abis!
Dalam hal politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya, berkumpul dengan banyak orang untuk satu tujuan adalah sah-sah saja. Bahkan mungkin lebih baik. Pimpinan partai yang dipilih secara aklamasi maupun voting dengan suara terbanyak dari berbagai pihak, berarti pimpinan terpilih memang benar-benar pilihan peserta. Dan, inilah yang disebut demokrasi. Dalam hal ekonomi, penjual pisang goreng akan senang jika dagangannya laris. Ia tak peduli siapa pembelinya. Berasal dari agama apa saja, pasti ia layani. Wong cuma beli pisang goreng kok, ya silahkan. Justru, semakin produknya dikenal oleh semua umat beragama, maka semakin baik, semakin laris dan promosinya berhasil.
Tari Bersama, Senam Bersama, Kerja Bakti Bersama, bahkan ATM Bersama adalah hal wajar. Kata "Bersama" yang disematkan dalam kata majemuk tersebut menandakan adanya persatuan, kesetiakawanan, persaudaraan dan kebersamaan. Hal ini bisa dibenarkan. Sebab, tari, senam, kerja bakti dan ATM berada masih di dalam ranah muamalat atau hubungan sosial antar sesama manusia. Tapi, dalam hal ibadah (penyembahan), masing-masing agama punya ketentuan dan batasan sendiri.
Secara tegas, ketika Rasulullah diajak oleh orang-orang kafir Quraisy untuk bergantian menyembah, Beliau SAW diperintah Allah SWT untuk mengatakan: "Hai orang-orang kafir! Aku takkan menyembah apa yang kalian sembah dan kalian pun takkan menyembah yang aku sembah. Aku bukanlah penyembah yang kalian sembah dan kalian pun takkan menyembah yang aku sembah. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu".
Setiap muslim menyakini hanya Allah yang wajib disembah, Dialah Tuhan Yang Esa dan tak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, dalam aktivitas penyembahan itu, setiap muslim harus berserah diri seikhlas-ikhlasnya kepada Allah. Dia tidak akan memohon (baca: berdoa) kepada tuhan selain Allah. Bagi setiap muslim, Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Siapa yang bertauhid hanya menyembah Allah, meyakini sifat-sifat-Nya, beriman terhadap kerasulan Muhammad SAW maka dialah mukmin. Sebaliknya, siapapun yang berkeyakinan bahwa tuhan itu plural (tidak esa), apalagi ia meminta kepada selain Allah dan tidak meyakini Muhammad SAW sebagai rasul serta tidak mau mengikuti sunnahnya, maka dalam pandangan Islam, orang itu disebut ingkar. Titik!
Hal di atas adalah pedoman dasar akidah Islam. Bagi orang kristen, budha, hindu, konghucu, orang-orang Islam pun dinilai kafir sebab tidak mau mengikuti keyakinan mereka dan tidak mentaati cara ibadah mereka. Inilah batasan dan inilah realitas. Sebab itulah, setiap umat beragama -dalam hal akidah dan ibadah- tidak sama. Namun, dalam perspektif kebangsaan, semua umat beragama hukumnya wajib tetap bersatu, tidak bertengkar, saling menghormati dan inilah sesungguhnya toleransi itu. Toleransi adalah nilai moral yang baik yang setiap agama pasti mengajarkannya, termasuk Islam. Biarlah umat Islam shalat, puasa, berdakwah dan beridul fitri, tak usah ditekan dan dilarang. Biarlah umat kristen bernatal dan bermisa ria, tak perlu diganggu. Biarlah umat hindu, budha, konghucu menyembah apa yang mereka yakini benar, tak perlu didiskriditkan. Tak perlu dipaksa untuk masuk ke agama tertentu. Dan, inilah yang dimaksud "Bagiku agamaku dan bagimu agamamu".
Berdoa, apakah itu bukan ibadah? Rasulullah SAW bersabda, "ad-Dua' mukhkhul-ibadah". Artinya, doa adalah inti dari ibadah. Sabda ini bisa secara gamblang kita lihat dalam semua rukun Islam bahkan segala aktivitas sehari-hari. Dalam syahadat, kalimat "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah" berarti juga "Tak ada yang berhak dimintai doa dan tak ada yang mampu mengabulkan doa kecuali Allah". Dalam shalat, sejak takbir hingga salam, ucapan-ucapannya juga memuat doa, bahkan gerakan seperti rukuk/sujud adalah manifestasi tunduk dalam berdoa. Puasa, zakat, apalagi haji, semuanya tidak lepas dari rangkaian doa. Demikian juga aktivitas muslim sehari-hari, oleh Nabi juga diajarkan agar disertai doa. Ada doa sebelum dan sesudah makan, doa masuk dan doa keluar dari masjid dan juga toilet. Ada doa bepergian, doa pagi dan sore, bahkan sebelum bersetubuh pun ada doanya. Ini semua adalah ibadah, berpahala, dan sebuah indikasi bahwa seorang hamba Allah seluruh hidupnya memang ibadah. Doa-doa itu juga sebagai sarana berdzikir untuk terus mengingat Allah dan berkomunikasi dengan-Nya dalam keadaan apapun. Jadi, benar jika doa adalah inti ibadah.
Kepada siapa kita berdoa? Jelas, sebagai muslim pasti mampu menjawabnya. Yakni, kepada Allah. Berdoa atau memohon permintaan kepada tuhan selain Allah berarti itu bukan Islam. Tidak mau berdoa dengan cara syahadat dan shalat, tandanya ia bukan muslim. Maka, berucap "Amin" atau "Semoga Terkabul" dalam doa jelas dimaksudkan: "Semoga Allah, Tuhan yang kita sembah, mengabulkan segala pinta kita". Kita pantang ber-amin kepada selain Allah, sebab hal itu sama saja mengakui adanya tuhan lain selain Allah yang bisa mengabulkan doa. Inilah prinsip akidah Islam.
Saya tidak tahu, dan memang tidak mau tahu, apakah saudaraku sebangsa setanah air dari umat kristiani, hindu, budha atau konghucu memiliki prinsip yang sama dengan ini. Bahwa, tidak boleh ber-amin kepada sesembahan umat beragama lain atau memang ada dari mereka yang memperbolehkan ber-amin atas doa umat Islam yang dipanjatkan kepada Allah. Yang jelas, maaf saudaraku, kami umat Islam tidak boleh ber-amin kepada sesembahan kalian, sebab kami tidak mengakuinya sebagai tuhan.
Saya kira, kalimat di atas bisa dipahami oleh mereka, karena saya yakin mereka amat toleran dan cukup dewasa. Kalimat itu bukan berarti egois, tapi itulah prinsip asasi dalam iman dan islam.
Dalam acara doa bersama dimana sekelompok umat Islam berkumpul, dipimpin oleh para pemuka muslim dan juga pemuka agama lain, saya lebih senang mengatakan: "Ngeri...atas adanya fenomena ini. Bagaikan sekelompok orang yang sedang diajak para pimpinannya bermain-main di pinggir jurang".
Ketika sang kiai berdoa, lalu diamini oleh jamaahnya yang muslim, maka itulah ibadah dan tidak masalah. Bahkan, tatkala para pendeta, biarawan dan para undangan dari umat beragama lain ikut pula beramin ria, maka itu terserah mereka. Entah sikap amin mereka itu -dalam agama mereka- dihukumi wajib, halal, boleh, munafik, kafir, atau apapun, maka itu adalah konsekwensi dan urusan mereka. Akan tetapi, tatkala sang pendeta, biarawan dan tokoh agama non-muslim berdoa kepada sesembahan mereka, lalu ada satu, dua atau beberapa orang dari kalangan muslim yang meng-amini doanya, maka disinilah ada masalah.
Masalahnya, beberapa umat Islam, terutama yang awam, yang mengamini doa non-muslim berarti telah memohon kepada sesembahan lain yang bukan Allah. Wal-'Iyadzu Billah.
Mungkin saja ada yang berkilah bahwa itu tidak mungkin. Umat Islam tidak sebodoh itu untuk mengatakan amin, apalagi sampai menyembah sesembahan lain atau masuk agama lain. Tidak akan berdampak ke sana. Demikianlah salah satu komentar tentang fenomena doa bersama yang tengah mewabah. Oleh karena itu, sekali lagi, saya hanya bisa berkata: "Ngeri...".
Dampak kekufuran itu, bisa saja tidak langsung hari itu, setelah acara selesai lalu semua umat Islam yang hadir kufur berjamaah. Tapi, fenomena doa bersama -apalagi dipimpin oleh ulama yang disegani- secara tidak langsung akan menjadi "dalil" dan "catatan sejarah" yang bisa saja dijadikan hujjah oleh generasi mendatang dan kalangan awam.
Generasi umat Islam mendatang, bahkan juga kini, bisa saja menafsirkan:
  1. Doa bersama-sama non-muslim itu boleh, buktinya kiai fulan dulu pernah hadir, mimpin lagi.
  2. Mengamini doa non-muslim sah-sah saja, wong pendeta saja diundang berdoa, apalagi mengamini doanya. 
  3. Dulu, doa bersama itu pernah dipimpin para ulama di GOR atau lapangan bola, apa bedanya jika diselenggarakan di Gedung Olah Raga Kampus Islam. Lalu, apa beda jika di madrasah, toh kampus dan madrasah juga sama-sama lembaga pendidikan. Lalu, bagaimana jika diadakan di pesantren, lalu di aula, jika perlu di masjid. Jika telah di masjid, alangkah tidak etis jika tidak hadir doa di gereja, vihara dan sebagainya. 
  4. Doa adalah ibadah dan doa bersama pun pernah diperbolehkan dan dilakukan para pendahulu kita, lalu ada baiknya dikembangkan pada ibadah lain, seperti shalat bersama, puasa bersama, haji bersama, misa bersama, dan aneka macam bersama yang lain. 
  5. Amin kan bahasa universal, umat Islam dan non-Islam jika berdoa juga diakhiri amin, tuhannya saja yang beda, jadi tidak akan salah alamat. Gimana kalau tuhannya disatukan menjadi One for All. 
  6. Pengharaman doa bersama hanyalah sikap egois, apriori, kolot, pandangan sempit, tidak toleran, fiqh centris, fundamentalis, tidak liberal, qadim yang tidak sholeh, eksklusif, asosialis, tidak berbudaya, dan sebagainya.
Sungguh ngeri mendengar interpretasi dan opini seperti di atas yang muncul sebagai akibat dari "Man sanna sunnatan sayyiatan fa laha itsmuha wa itsmu man 'amila biha", siapa yang memulai kebiasaan buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang meniru perbuatan buruknya (hadis).
Apakah fenomena "Doa Bersama" adalah akibat dari pluralisme? Lalu apakah yang "plural" di sini? Yang plural bisa kumpulan umat antar beragama, bisa kumpulan agama, bisa juga tuhan. Atau, kumpulan ketiga-tiganya. Yang jelas, Rasul tidak pernah menancapkan contoh atau sunnah doa bersama dengan non-muslim sepanjang hidup beliau dan itu bukan berarti beliau tidak toleran. Rasul sangat menghormati dan pernah tidak menindas kaum minoritas di Madinah.
Demikianlah sunnah Rasul yang kata beliau, "Yang selamat adalah yang mengikuti sunnahku dan jamaahku".
Memegang prinsip akidah Islam, di zaman sekarang, bagaikan memegang bara di tangan. Dipegang tangan terbakar, dilepas api menjalar.
Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar