3 Februari 2010

SBI, World Class, Opo Maneh?

 


Dunia Pendidikan kembali tebar pesona. Setelah ramai-ramai seputar PTK, Akreditasi, ISO, Sertifikasi, SBI, kini muncul "jualan" baru lagi bernama "Wordl Class". Dari namanya saja, istilah-istilah itu begitu mentereng. Keinggris-inggrisan, berbau asing, dikemas dengan berbagai konsep ideal dan dipasarkan secara luas, percaya diri dan penuh bangga, lengkap dengan brosur, pamflet, website, dan segala media yang bisa dijajah demi kebutuhan marketing.

Semua orang tahu, kalau itu semua bertujuan baik. Namanya aja pendidikan. Tapi, benarkah produk-produk baru yang diusung oleh para praktisi pendidikan mulai pada level terendah hingga yang tertinggi benar-benar mampu mewujudkan tujuan ideal seperti: memanusiakan manusia, membentuk imtaq, meningkatkan SDM, mengembangkan kepribadian, menyempurnakan akhlaq mulai, dan narasi-narasi indah lainnya? 

Sanggupkah produk baru itu merealisasikannya di tengah terpuruknya moral bangsa yang penyebabnya kerap dialamatkan kepada dunia pendidikan? Apakah produk-produk baru itu memang dibutuhkan masyarakat? Padahal, katanya kurikulum pendidikan harus menyerap aspirasi mereka yang kini tengah diposisikan sebagai konsumen. Atau, jangan-jangan hal-hal baru itu hanya sekedar "nafsu" para praktisi pendidikan yang ingin menjual produknya dengan memanfaatkan besarnya animo masyarakat yang kini selalu ingin warna baru, program baru, dan harga baru yang lebih mahal?

Melihat SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), masyarakat kelas bawah hanya bisa mengelus dada saat membaca brosurnya. "Memang top sih, tapi muuahalnya minta ampuun", kata salah seorang guru MI swasta yang ingin menyekolahkan anaknya di SBI, tapi gajinya tidak cukup untuk membayar SPP yang tingginya selangit. Dari realita ini, tak berlebihan jika SBI diplesetkan "Sekolah Bertarif Internasional".

"Mau kualitas? Ya mesti mahal dong...", demikian kira-kira hukum alam yang juga berlaku dalam pendidikan. Tapi, benarkah yang mahal ada jaminan bahwa outputnya mesti berkualitas? Ternyata, para praktisi pendidikan yang mendewa-dewakan harga mahal untuk sebuah kualitas, juga tidak bisa menjamin 100% lulusannya berkualitas sesuai visi-misi, tujuan dan keinginan konsumen. Apakah ini bukan mala praktek namanya, atau bisa disejajarkan dengan kebohongan "jual kecap" dalam iklan.

Setelah ditelusuri, Eh, ternyata lulusannya juga banyak yang biasa-biasa saja. Kelebihannya cuma bisa "nerocos" pake bahasa Inggris/Mandarin/Jerman/Arab. Jadi teringat bait lagunya Iwan Fals: "Latih bibirmu agar pandai berkicau, sebab mereka butuh kicau yang merdu".

Orang lalu bertanya: "Apa bedanya Sekolah Bertarif Internasional yang berasaskan Dolar dengan yang Bertarif Lokal berpijakan Rupiah?", "Apa bedanya kampus berkelas dunia (wordl class) dengan yang berkelas akherat (eternity class), kelas ringan, kelas bantam, kelas berat, dan sebagainya"? Jika yang membedakan hanya dalam hal: bahasa pengantar, format kurikulum lokal yang diterjemah asing, bayaran pengajarnya dikurskan dolar karena titelnya tinggi, maka fenomena ini sama dengan Black Market (BM) dalam kemasan handphone. 

Kharisma internasional, bahasa asing, world class, dll. tidak lebih dari sekedar nama-nama yang diciptakan produsen untuk menarik animo konsumen dengan tambahan penampilan dan sedikit kelebihan. Disisi lain, munculnya nama-nama produk baru itu adalah wujud hilangnya identitas pendidikan nasional. Pendidikan kita ingin sejajar dengan asing, hanya lucunya standar itu kita sendiri yang membuatnya, lalu kita "gatuk-gatukno" atau kita cocok-cocokan dengan standar luar negeri. Belum apa-apa, lalu kita telah merasa sejajar atau bahkan melebihi Cairo, Harvard, Manchester, Ummul Qura, Sydney, dll. Padahal, mereka yang nun jauh di sana tak pernah mengakui kita. Mengenal pun tidak.

Silahkan saja muncul produk baru, inovasi dan program gres, karena itu memang diperlukan di era modern seperti saat ini. Tapi, komersialisasi pendidikan dan pendewa-dewaan identitas atasnama internasional yang tidak diimbangi realisasi adanya output berkualitas, sama saja dengan kebohongan terhadap publik yang tidak mendidik. Yang dibutuhkan masyarakat adalah pendidikan berkualitas, tapi terjangkau oleh semua kalangan. Apa gunanya jika pendidikan mahal itu hanya bersifat elitis, eksklusif dan terbatas pada yang kaya, sementara rakyat miskin makin dikesampingkan dan bergelut dalam kebodohan serta kemiskininan? Ini sama saja menciptakan kasta dan meluluhlantahkan asa.

Jika itu yang terjadi, maka pendidikan kita tidak lagi bersifat manusiawi. Pendidikan eksklusif dan mahal, hanya akan menyisakan manusia yang tidak manusiawi.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar