5 Januari 2011

Haji: Perjalanan Akhirat

 

 
Dalam ihya'-nya, Imam Ghozali mengqiyaskan perjalanan ibadah haji seperti perjalanan dari dunia menuju akhirat. Silogisme ini cukup menarik. Menurut beliau, ketika calon haji berpamitan saat hendak berangkat yang lalu diliputi rasa sedih, persis seperti suasana jenazah yang tebaring kaku dan hendak dimakamkan ke tempat peristirahatan akhir. Lalu, ketika ia naik kendaraan, mirip dengan keranda mayat. Meski ia naik pesawat terbang, tapi pada hakikatnya, suasana pesawat itu pasti diliputi rasa tawakkal dan penyerahan diri kepada Allah. Sebab, keselamatan terbang mutlak berada di tangan-Nya Yang Maha Kuasa.

Perbatasan antara tanah halal dan haram atau "miqat" adalah refleksi dari "barzah", yakni batas kehidupan antara dunia dan akhirat. Lalu, apalah bedanya kain kafan dengan dua lembar kain ihram yang tanpa jahitan? Barang-barang bawaan yang pasti menyulitkan calon jamaah haji adalah petanda bahwa urusan duniawi yang bersifat materialistik merupakan hal yang merepotkan dalam perjalanan haji. Semakin sedikit beban duniawi yang dibawa, semakin mudah pula proses pemberangkatan hingga pemulangan dalam perjalanan haji.

Membaca qiyas antara perjalanan ibadah haji dan perjalanan menuju akhirat seperti yang dikemukakan Imam Ghozali di atas, maka tepat jika ibadah haji disebut juga perjalanan menuju Allah swt. Jamaah haji adalah tamu-Nya yang diundang oleh Sang Pemilik Ka'bah. Mereka adalah orang-orang pilihan. Meski, tidak banyak pula calon haji yang menyadari posisi mulia ini.

Oleh karena perjalanan itu bertujuan hanya menghadap Allah, maka ia selalu diliputi kenikmatan yang tiada tara. Memang, perjalanan ibadah haji sangat melelahkan, menyulitkan dan memberatkan. Akan tetapi, suka-duka itu seakan terbingkai menjadi satu dalam sebuah perjalanan yang indah. Tidak mengherankan, bila setiap orang yang pernah ke tanah suci selalu merindukan untuk dapat kembali ke sana. Bahkan, sebelum pulang ke tanah air pun, ia telah rindu dan berharap bisa balik kembali ke tanah suci.

Boleh jadi, calon jama'ah haji ketika acara pelepasan dari rumahnya, ia sempat sedih dan bahkan menangis karena berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Apalagi, tatkala adzan safar dikumandangkan, derai air mata seakan tumpah tanpa bisa tertahankan. Semua terharu. Sedih bercampur aduk dengan gembira. Semua keluarga dan sanak famili yang ikut mengantar atau melepas calon haji seakan larut dalam kegalauan antara keinginan "kapan ia sendiri bisa nyusul naik haji?" dan kesedihan harus ditinggal orang yang dicintainya.

Namun, tahukah Anda bagaimana perasaan terdalam pada diri calon haji itu sendiri? Menurut pengalaman saya, ada dorongan nurani yang paling dalam agar supaya acara pelepasan itu segera usai dan segera berangkat ke tanah suci. Meski raut wajah tampak sedih, tapi lubuk hati sangat diliputi rasa rindu untuk sesegera mungkin melihat Ka'bah al-Musyarrafah.

Karena perasaaan itulah, maka jangan kaget jika calon haji sesaat setelah tiba di embarkasi dan bersiap-siap untuk terbang ke Saudi Arabia, maka saat itu pula, ia telah lupa dengan keluarga, anak-anak, suami atau isteri, dan semua orang yang baru tadi ikut dalam upacara pelepasan. Hanya satu kata, lupa. Tidak ingat lagi dengan urusan keluarga, dengan raut wajah kesedihan para kerabat, dan sebagainya. Yang ada, hanyalah perasaan ingin segera tiba di pelataran Masjidil Haram untuk melihat "Rumah Allah" dan mentawafinya.

Berangkat dari pengalaman itu, maka sangat tepat apabila para ulama salaf menganjurkan bahwa bila ada seorang muslim meninggal dunia, maka sebaiknya ia segera dikuburkan. Mengapa demikian? Jawabannya, agar si almarhum bisa segera melihat ganjaran dari perbuatan baiknya di dunia. Inilah kenikmatan hakiki yang sesungguhnya.

Mengakhiri refleksi ini, saya teringat bait puisi Sang Raja Penyair -Asy-Syauqi- ketika ia berdendang:

Waladatka ummuka baqiyan, wan naas hawlaka yadhakuuna sururaa
Fa'mal li nafsika an takuuna idza bakaw, fii ya yauwi mawtika dhahikan masruura.

Saat engkau dilahirkan dalam keadaan menangis, justru orang-orang di sekitarmu tertawa berbahagia. Karena itu, beramal baiklah engkau. Buatlah mereka menangis saat dirimu kelak meninggalkan dunia, sedangkan engkau sendiri bisa pergi dengan penuh bahagia.

Jadi benar, bila perjalanan ibadah haji adalah sebuah miniatur dari perjalanan menuju akhirat. Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar