31 Januari 2011

Kekuasaan Unlimited

 

Setelah Sudan mengalami referendum pasca perang saudara yang berkepanjangan, Tunisia pun bergejolak. Demo besar-besar di Tunisia, akhirnya memaksa sang presiden mundur. Kini, Mesir pun membara. Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun itu pun diminta mundur oleh rakyatnya.

Mesir yang selama ini dikenal sebagai negara muslim yang memiliki alam pemikiran khas Islam yang terus maju dan bahkan Al-Azhar University seakan menjadi kiblat bagi universitas Islam di Indonesia, benar-benar berada di titik kulminasi atau titik kejenuhan rakyatnya terhadap pemerintahan yang ada. Entah mengapa? Sebab, jika hanya faktor ekonomi yang ditengarai sebagai pemicu ketidak puasan rakyat, juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, rata-rata ekonomi rakyat Mesir juga masih di level menengah. Meski, ada beberapa analis yang berdasarkan data yang mereka peroleh, berpendapat bahwa kemiskinan dan pengangguran yang dialami rakyat Mesir adalah faktor utama munculnya suara reformasi di negeri 1000 menara tersebut.

Jika pemicu gerakan reformasi Mesir yang mirip Indonesia di tahun 1998 adalah gerakan kelompok muslim yang membawa misi-misi ajaran dan agenda tertentu semisal gerakan Ikhawanul Muslimin, saya kira juga bukan mereka penyebabnya. Sebab, kelompok muslim lainnya seperti kaum sunni juga ikut berdemonstrasi, termasuk dari kalangan liberal. Artinya, ini murni gerakan rakyat bersama yang bermula dari endapan pikiran dan perasaan mendalam tentang ketidakpuasan terhadap pemerintahan di Mesir.

Bila pemicunya adalah intervensi asing, saya kira tidak sepenuhnya benar. Sebab, meski Mesir telah mendeklarasikan sebagai negara demokratis, nyatanya segala akses tentang politik juga masih tertutup. Yang paling mungkin dicurigai adalah lawan-lawan politik Husni Mubarak yang berperan di balik layar, mereka menggerakkan massa untuk melakukan demonstrasi besar-besar. Walaupun, khusus tentang masalah demo ini, mayoritas rakyat Mesir mengaku bahwa mereka melakukannya secara ikhlas alias murni sebagai panggilan dari hati nurani.

Nasi sudah menjadi bubur. Meski berita terakhir menyebutkan bahwa Husni Mubarak telah menjanjikan "pemerintahan baru yang lebih demokratis" yang itu ia buktikan dengan membubarkan parlemen, memecat para menteri yang tidak disukai, dan janji-janji lainnya, akan tetapi rakyat tetap belum puas. Mereka hanya ingin Husni Mubarak mundur. Tentang bagaimana Mesir ke depan, itu urusan belakangan. Yang penting, presiden mundur dulu.

Bergemingkah Husni Mubarak? Tampaknya tidak. Ia bahkan mengangkat wakil presiden dan perdana menteri baru yang berasal dari komandan pasukan intelejen yang selama ini menjadi "tangan kanan" Mubarak dalam menjaga kekuasaannya. Ini artinya, Husni Mubarak telah merasakan nikmatnya tahta kepresidenan hingga ia pun berniat memberikan tongkat estafet kepada putranya.

Husni Mubarak menjadi presiden Mesir setelah menggantikan Anwar Sadat yang ditembak secara tragis saat parade militer tahun 1981 di Mesir. Sejak itu, sudah 30 tahun lebih, Mubarak berkuasa. Hampir sama dengan presiden Soeharto yang menjadi "Raja Jawa" selama 32 tahun dan berakhir mundur setelah mahasiswa dan rakyat meneriakkan reformasi alias ganti presiden.

Dalam pandangan saya, penyebab lahirnya suara reformasi adalah kumpulan ketidak adilan dan ketidak puasan yang dialami rakyat dalam berbagai dimensi: politik, sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum, dan sebagainya sehingga untuk mencari penyebab utamanya, amat sulit dipastikan.

Akar masalahnya adalah kekuasaan unlimited yang menjadi obsesi seorang penguasa. Ketika presiden atau pemimpin telah terbersit dalam hatinya untuk berkuasa selama-lamanya, maka saat itu, iblis telah bersemayam dalam jiwanya. Bukankah ini yang mengakibatkan Adam lengser dari surga karena ia terpengaruh Iblis yang menjanjikan keabadian? Bagaimana pun juga, sebaik-baiknya pemimpin berkuasa dengan torehan prestasi gemilang, seyogyanya ia menyadari bahwa semua ada batasnya, termasuk waktu kekuasaan.

Bila merujuk kepada kekuasaan Muhammad saw sebagai Nabi di Madinah, beliau menjadi pemimpin di sana hanya 10 tahun. Meski ini bukan jabatan politik dan hanya terkait dengan masa tabligh, tapi secara tersirat, ada sinyal bahwa paling tidak, presiden atau pemimpin manapun berkuasa lebih kurang 10 tahun hingga 23 tahun (jika ditambah masa kenabian di Mekah yang lamanya 13 tahun).

Hal ini bukan berarti Islam menentukan masa kekuasaan tertentu seperti 5 atau 10 tahun. Islam tidak memiliki aturan teknis masalah politik dan kekuasan. Islam hanya mengajarkan ruh dan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi seseorang untuk berkuasa. Semua masalah pemerintahan, mulai dari dasar negara, teknik pemilihan pemimpin, dan sebagainya, oleh Islam telah diberikan kepada pemeluknya untuk memilih secara bebas sesuai dengan ijtihad dan kebutuhannya dalam hidup bernegara dan bermasyarakat menuju baldan thayyibah.

Husni Mubarak dan Soeharto adalah contoh-contoh kekuasaan yang berusaha menjadi penguasa unlimited alias tanpa batas. Secara manusiawi, dalam segala hal manusia pasti akan mengalami titik jenuh, termasuk juga terhadap pimpinannya. Di sinilah seharusnya, seorang pemimpin berjiwa besar untuk membuka kran regenerasi agar kemajuan terus tercapai. Ia harus sadar, bahwa masa depan yang akan diraih untuk negaranya, tidak harus dibawah tangan besinya. Ia harus memberi kesempatan kepada generasi sesudahnya agar roda terus berputar sesuai sunnatullah.

Terakhir, untuk rakyat Mesir, tolong jangan seperti Indonesia yang hanya membatasi reformasi dengan lengsernya Soeharto. Padahal seharusnya, reformasi harus menyentuh berbagai dimensi dan ke banyak elemen masyarakat. Reformasi apa yang hendak dipilih rakyat Mesir, apakah sekedar mengganti atau hingga mengamputasi?

Jangan sampai reformasi di negara penuh piramida itu hanya mengganti pucuk pimpinan, tapi setelah itu, kondisi ekonomi, sosial dan politik makin runyam. Setelah reformasi, justru korupsi makin menjadi-jadi. Kekuasaan unlimited semakin mengakar hingga ke elemen paling bawah. Dan, hal semacam ini telah dan masih berlangsung di Indonesia.

Saudaraku, silahkan ber-reformasi ria asal jangan seperti kami -rakyat Indonesia- yang berakhir tragis karena ternyata bukan perubahan yang lebih baik yang kami rasakan, tapi justru melahirkan fir'aun-fir'aun kecil di pemerintahan, ormas, PSSI, wali kota atau bupati, lurah hingga ketua RT/RW, semua ingin berkuasa unlimited.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar