14 Januari 2011

Komersialisasi Haji

 

Di antara rukun Islam, mungkin hanya baca syahadatain saja yang belum dibisniskan, tapi entahlah kalau ternyata juga sudah diperdagangkan. Shalat, ada pelatihannya dengan biaya sampai ratusan ribu rupiah. Puasa juga disusupi berbagai produk khusus puasa, bahkan di Bulan Ramadan, hampir semua iklan bernuansa puasa. Lalu, zakat yang memang terkait dengan harta dan uang, sudah pasti bisa menjadi ladang basah. Terakhir, ibadah haji yang tentu memiliki banyak celah untuk dikomersilkan!!

Jika sekarang -tahun 2011- pendaftar haji di Jatim, misalnya, harus menunggu hingga tahun 2018, lalu ia telah membeli porsi pada Kemenag sebesar Rp 25 juta, bisa dibayangkan berapa besar bunga uang yang telah disetorkannya itu dalam kurun waktu 8 tahun!! Jika tiap tahun jumlah jamaah haji lebih dari 225.000 orang, telah mencapai berapa trilyun uang jamaah yang mengendap itu? Coba hitung!! Apakah di sini tidak ada bisnis?

Jika akad "membeli porsi haji" tadi memang dikategorikan "jual-beli" layaknya beli tiket pertandingan sepak bola, bukan menabung, lalu kenapa harga tiket (baca: BPIH) tidak jelas berapa besarannya pada tahun 2011, 2012 hingga 2018 sehingga untuk menentukan besaran BIPH (Biaya Ibadah Perjalanan Haji) harus mengikuti kurs dolar di tahun pemberangkatan. Bukankah ketidak jelasan seperti ini tidak bisa disebut "jual-beli"? Bila hal seperti ini masih dikategorikan "jual-beli porsi", itu artinya sama saja dengan "membeli kucing dalam karung" yang harganya belum jelas? Lalu, apa esensi akad yang diberlakukan dalam transaksi beli porsi haji itu?

Masih tentang porsi haji, apakah hal itu yang disebut "inden" alias "pesan porsi"? Sebab, jika memakai akad "salam" atau "pesanan", seharusnya harganya juga jelas atau mu'ayyan. Bagaikan nonton bola lalu pesan tempat VIP, maka harga tiket VIP juga telah jelas nominalnyya. Entah si calon penonton akan membelinya secara cash, kredit atau pesan, itu terserah akad yang disepakati. Jadi, terus terang, dalam hal ini, saya kurang mengerti maksud dari kebijakan "beli porsi" yang diterapkan pemerintah untuk jamaah haji. Yang pasti, praktek semacam ini memiliki celah untuk dibisniskan.

Salah satu celah bisnis itu, bisa dibaca dengan cermat oleh perbankan. Bank-bank konvensional yang telah berganti jubah dengan embel-embel "syariah" bagaikan memancing ikan dalam akuarium. Sistem beli porsi haji ini secara rapi bisa dikonversi menjadi bisnis yang menguntungkan. Atasnama khidmat atau pelayanan prima kepada tamu-tamu Allah, bank-bank itu menawarkan jasa "talangan haji" kepada para calon jemaah. Bank bersedia memberi pinjaman agar si jemaah bisa dengan mudah memperoleh porsi haji dan hanya membayar cicilan dalam kurun waktu tertentu, misalnya 1, 2 hingga 3 tahun.

Betapa mulianya hati para banker itu!! Eh, tunggu dulu, "Tidak ada yang gratis" di zaman sekarang ini. Talangan haji, ternyata itu juga berdampak adanya "bunga" yang harus dibayar oleh para jemaah. Biasanya, bank-bank itu tidak mau menyebutnya "bunga" karena telah dikonversi menjadi "uang administrasi". Jadi, apabila harga porsi haji sebesar 25 juta, lalu Anda ingin ditalangi oleh pihak bank dengan cara cicilan sebagaimana Anda membeli sepeda motor, maka untuk kredit porsi haji Anda harus rela menambah 1-2 juta lagi tergantung berapa lama Anda membayarnya dan berapa besar uang yang Anda pinjam. Inilah bagian dari komersialisasi haji!!

Selain tentang porsi haji, nuansa bisnis juga sudah tampak dalam tabungan haji para jemaah. Sebagaimana diketahui, tabungan haji biasanya tidak mengenal "bunga" dan kadang-kadang juga bebas biaya administrasi bulanan. Entah kenapa tabungan haji didesain bebas bunga? Apakah karena para calon haji itu memang tidak mau ongkos hajinya tercampur uang haram (bunga) sehingga secara sadar atau tidak sadar, ia rela tabungan uangnya tidak bertambah serupiah pun meski telah mengendap berbulan-bulan di bank? Atau memang, pihak bank yang tidak tahu-menahu tentang masalah ini lalu berlagak suci sehingga khusus dalam tabungan haji, bank tidak mengenal bunga!!

Celah komersialisasi haji, ternyata juga dimanfaatkan secara profesional oleh para agen travel, KBIH, dan pihak-pihak swasta lainnya. Selain ongkos BPIH, calon jamaah yang awam biasanya ikut Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Di sana mereka dilayani mulai dari proses pendaftaran, pembekasan dan segala masalah administrasi hingga kesehatan. Selain itu, para jamaah juga diajari manasik haji dan terus didampingi hingga ke tanah suci oleh pihak KBIH dan agen-agen Travel and Tour Haji.

Gratiskah layanan itu? Tentu tidak!! Jamaah haji yang ikut KBIH harus membayar biaya tambahan. Harganya variatif. Mulai 1.5 juta hingga 3 juta!! Dalam prakteknya, banyak KBIH yang benar-benar serius membimbing dan mendampingi jamaahnya. Tapi, tidak sedikit pula yang bermuka manis saat di tanah air, tapi di tanah suci, jamaahnya sering terlantar. Terlepas dari aspek kepuasan dan layanan kepada pelanggan, yang jelas, dalam hal ini ada celah untuk membisniskan haji.

Pertanyaan paling mendasar adalah salahkah mengkomersialkan ibadah haji? Berdosakah memanfaatkan haji sebagai ladang bisnis, baik oleh pemerintah, bank, KBIH dan pihak-pihak lainnya?

Jawabannya tentu tergantung dari perspektif apa yang akan kita pakai untuk menghakimi fenomena tersebut. Yang jelas, dari aspek ekonomi dan bisnis, hal itu bisa saja dibenarkan. Namun masalahnya adalah meski komersialisasi haji dikatakan sah-sah saja, seharusnya dalam dunia bisnis menganut asas transparansi atau kejelasan tentang dana maupun akad yang diberlakukan.

Jemaah harus tahu untuk apa saja uang BIPH yang ia setorkan sehingga harganya terus melangit. Jemaah juga harus tahu apakah uang yang telah disetorkan itu statusnya pembelian porsi, pemesanan tempat, tabungan, investasi, atau apa? Hal ini penting. Sebab, dalam fiqh muamalat sekalipun, keabsahan transaksi manutun bil-aqdi atau tergantung pada akad yang disepakati. Selain itu, jemaah harus tahu apa kompensasi atau layanan yang akan diterimanya dengan membayar ongkos BPIH sebesar itu dan menunggu manfaat jasa selama itu?

Masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan terkait dengan "bisnis haji" ini. Yang jelas, bagi orang awam, praktik dan prosedur haji yang berlaku di Indonesia masih menyisakan banyak permasalahan. Orang awam seperti saya, secara nalar sehat, pasti bertanya-tanya: berapakah keuntungan yang diperoleh pemerintah atau bank setelah mereka menerima uang setoran porsi haji, padahal uang itu dibawa selama 8 tahun ke depan? Berapa trilyun uang jemaah haji yang kini mengendap di rekening pemerintah yang lalu disebut sebagai "Dana Abadi Umat"? Sebegini miskinkah pemerintahan kita hingga harus mengumpulkan dana dari rakyatnya dengan memanfaatkan uang jemaah haji?

Mengapa ongkos haji selalu naik atau paling tidak selalu tergantung dengan kurs dolar, padahal uang jemaah yang diinvestasikan bisa beranak-pinak? Lalu, kenapa layanan jemaah haji masih belum maksimal seperti jarak pemondokan yang sangat jauh, bimbingan manasik yang belum optimal, dan masalah-masalah lain yang setiap tahun selalu mengemuka?

Sekali lagi, masih banyak permasalahan yang menyisakan pertanyaan terkait komersialisasi ibadah haji. Padahal, hal ini masih dilihat dari perspektif bisnis itu sendiri, belum dari perspektif fiqh dan akhlaq-tasawuf. Yang pasti, dalam hal bisnia, pihak yang lemah -jemaah haji- selalu diposisikan sebagai korban, meski sebenarnya mereka adalah customer yang katanya harus dilayani bagaikan raja. Pihak yang berkuasa -pemerintah, bank, KBIH, Agen dan Calo Haji- selalu berada di atas angin, walaupun mereka tahu bahwa yang di-dhalimi ini adalah tamu-tamu Allah.

Jika demikian, fan tadziris-sa'ah, tunggulah bom waktu haji yang akan meledak sewaktu-waktu. Wal-Iyadzu Billah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar