2 Februari 2011

Ilmu Tidak Bermanfaat

 

Sanksi apa yang paling ditakuti santri pada saat mondok di pesantren? Bukan "digundul", "dicambuk", "disuruh nguras bak mandi", "diskors", atau hukuman lainnya. Akan tetapi, sanksi yang paling dihindari santri adalah apabila kiai tidak meridhainya. Mengapa kalimat "Kiai Tidak Ridha" saja sanggup membuat mental santri menjadi drop, takut dan berubah sifat menjadi penurut. Jawabnya karena si santri khawatir ilmunya tidak bermanfaat!! Itu saja. Titik.

Tradisi keilmuan dan pendidikan ala pesantren seputar "ilmu yang tidak bermanfaat sebagai akibat dari sang kiai yang tidak ridha" ini, sepatutnya menjadi perhatian bagi seluruh bangsa Indonesia, terutama bagi kalangan akademisi, untuk mengambil hikmah dari fenomena unik tersebut.Ketakutan terhadaap ilmu yang tidak bermanfaat adalah sangat beralasan. Ketika ilmu yang dimiliki seseorang sudah tidak lagi bermanfaat untuk dirinya, maka kerugian dan kerusakan yang ditimbulkannya sangat amat besar dan berbahaya. Dampaknya tidak hanya kepada yang bersangkutan, tapi juga kepada orang lain, masyarakat luas, dan juga lingkungan. Inilah bahaya yang perlu diantisipasi.

Terlepas dari setuju atau tidak tentang penyebab ketidak manfaatan ilmu adalah faktor guru yang tidak meridhai muridnya, namun yang pasti, ilmu yang tidak bermanfaat dan tidak digunakan untuk kemaslahatan hanya akan menjadi kekuatan penghancur massal yang amat menakutkan. Hal ini yang menurut pandangan saya menjadi akar kehancuran sebuah bangsa.Betapa tidak, warga negara Indonesia saat ini, bukanlah orang-orang bodoh. Tapi mayoritas mereka telah mengenyam pendidikan tinggi. Fasilitas sekolah yang lengkap, media belajar yang canggih, metodologi pengajaran yang beraneka ragam, semuanya telah menghasilkan lulusan dan alumnus yang bertitel dan berilmu.

Berbeda dengan orang tua di masa lalu yang dalam menuntut ilmu serba terbatas dan berkekurangan.Hampir di tiap kampung bercokol para sarjana dan alumnus pesantren. Para pemegang kebijakan di pemerintahan, peradilan, dewan legislatif, mereka semua adalah para ilmuwan. Lebih dari itu semua, tidak sedikit juga para pemimpin kita yang lulusan luar negeri. Buku-buku juga tersebar di seantero negeri. Informasi tentang pentingnya moralitas juga mudah didapat. Akses ke belahan dunia lain juga mudah.

Singkat kata, baik ilmu maupun ilmuwan di Indonesia ini telah banyak jumlahnya. Mereka bukan sekedar seorang ilmuwan biasa, tapi juga kaum beragama yang di dalam ajaran agama manapun telah mengajarkan tentang konsep baik-buruk, pahala-dosa, surga-neraka, hitam-putih, halal-haram, dan sebagainya. Maka, sudah seharusnya bangsa ini menjadi bangsa yang maju karena potensi yang ada sudah cukup untuk itu.Akan tetapi, realitanya tidak demikian. Justru yang merusak negeri ini adalah para ilmuwan yang beragama itu sendiri.

Mereka yang mengerti hukum, memperkosa hukum, mengatur peraturan, dan mempermainkan aturan main. Akhirnya, yang mengerti hukum menjadi terhukum. Mereka yang memahami agama, memaksakan agama, mencoreng nama agama, dan memecahkan persatuan antar umat beragama. Mereka yang ekonom, justru merusak ekonomi, melakukan korupsi dan terus-terusan tiada henti menjarah kekayaan negeri ini.Yang ada di pemerintahan, mengacaukan pemerintah. Yang menjadi wakil rakyat, justru menjajah rakyat. Yang mengurusi umat, malah memusuhi umat. Yang mendidik, tidak punya jiwa pendidik. Para seniman bukannya berkarya untuk memperindah kehidupan dengan seni, tapi menodai dengan air seni. Para birokrat membelokkan alur birokrasi untuk kepentingan kantongnya sendiri. Para sarjana cuma bisa mengandalkan ijazahnya hanya untuk sesuap nasi. Mereka yang putus sekolah menjual kehormatannya. Yang memahami sepakbola, merusak sepakbola. Dan, masih banyak lagi fenomena yang menunjukkan bahwa itulah dampak nyata dari ilmu yang dimiliki tapi tidak bermanfaat!!

Seorang maling yang ilmunya rendah, ia jelas tidak memiliki teori nyolong yang efektif. Berpikirnya pendek dan tanpa strategi yang mumpuni. Akhirnya, hanya menjadi pencopet di bus kota atau maling jemuran di kampung yang resikonya adalah babak belur dipukuli massa, lalu dijebloskan ke penjara untuk waktu lama karena tidak sanggup membayar pembela. Berbeda dengan maling yang berilmu tinggi. Dengan pengetahuan yang ia miliki dan argumentasi yang kuat, ia akan merencanakan segala langkahnya untuk pencapaian yang jauh lebih menguntungkan. Jika pun intriknya diendus, ditangkap lalu disidangkan, tapi dengan ilmunya ia mampu memutar balikkan fakta, mengurangi masa tahanan dan merubah citra buruk menjadi baik hingga saat ia keluar dari penjara bak pahlawan yang dipuja-puja. Aneh!!

Peneliti dan ilmuwan yang mengerti tentang resiko perusakan lingkungan, karena telah dibayar, maka sesuai pesanan, dengan mudahnya ia membuat rekomendasi palsu untuk para pengembang, pengusaha dan pihak pabrik yang memproduksi barang tapi merusak lingkungan. Dampaknya jelas, yakni bencana alam yang akan memakan banyak korban.Jumlah ulama, profesor, doktor, advokat, ekonom, seniman, santri, siswa-mahasiswa, insinyur, hakim, jaksa, perwira polisi, olahragawan, dan profesi lainnya juga telah berjubel di negeri Indonesia ini. Sehingga, sangat tidak masuk akal, apabila keberadaan mereka tidak memberi kontribusi besar terhadap negeri ini selain kerusakan demi kerusakan.

Jadi, mengapa hal ini bisa terjadi?Pernyataan semacam di atas, benar-benar mengherankan!! Kok bisa, negara yang katanya dipenuhi para ilmuwan ini, justru terus terpuruk? Sungguh mengejutkan, negeri yang ditumbuhi berbagai fakultas, sekolah, pesantren dan aneka lembaga pendidikan mulai jenjang terbawah hingga tertinggi ini, malah dipenuhi orang-orang yang tampaknya berilmu, tapi sikap dan amal perbuatannya tidak menunjukkan sebagai seorang ilmuwan!!!

Inilah fenomena ilmu yang tidak bermanfaat, tidak memberi berkah dan tidak membawa maslahat bagi semua orang. Maka sesungguhnya, fenomena semacam inilah yang benar-benar menakutkan. Ilmu yang tidak bermanfaat hanya akan merusak dan menghancurkan

Tidak ada komentar:
Tulis komentar