22 Februari 2011

Revolusi PSSI

 

Untuk membubarkan Ahmadiyah, tidak perlu revolusi. Disamping berlebihan, cost-nya juga mahal. Berbeda dengan PSSI yang mewadahi persepak bolaan nasional. Untuk urusan yang satu, saya pribadi sepakat dengan kata "Revolusi PSSI".

Didepaknya George Toisutta dan Arifin Panigoro dari bursa pencalonan ketua umum PSSI dan hanya meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Dermawan Bakrie adalah preseden buruk atas seruan sportifitas. Ini sama saja dengan memukul KO sebelum pertandingan. Benar-benar tidak fair play!Jika yang menjadi alasan terjegalnya George Toissuta dan Arifin Panigoro hanyalah sebuah Pasal 35 dalam Statuta PSSI yang mewajibkan bahwa calon ketua umum PSSI adalah harus aktif secara struktural dalam kepengurusan di organisasi PSSI selama 5 tahun, maka point ini meski didukung oleh fatwa dari FIFA, sebenarnya tidak begitu krusial dibanding point statuta dalam pasal 32 dan juga etika yang menyatakan bahwa pimpinan induk sepakbola harus bukan orang yang terlibat dalam kejahatan.

Semua orang tahu, kecuali mungkin Sepp Blatter -Khalifah-nya FIFA-, bahwa Nurdin Halid adalah mantan narapidana. Bahkan, kini pun orang nomor satu di PSSI ini juga terancam berbagai macam kasus kejahatan yang siap didakwakan kepadanya. Jika catatan ini masih dianggap wajar, sah dan biasa-biasanya, itu artinya sepokbola sebagai bagian dari ajang sportifitas dan kreatifitas telah dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Bukan hanya sampai di sini saja. Keputusan melenggangkan pencalonan dan perpanjangan masa jabatan Nurdin Halid adalah bukti bahwa Komite Pemilihan Ketum dan seluruh pengurus PSSI kita telah buta mata hatinya karena mereka tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Dalam sejarah sepokbola dunia, belum pernah ada seorang narapidana memimpin kompetisi dan roda persepok bolaan dari balik jeruji besi, kecuali sepak bola Indonesia. Benar-benar aneh dan luar biasa.

Sedemikian kuatkah Nurdin Halid? Jawabnya, benar dan itu telah terbukti. Kongres sepak bola yang diadakan tahun lalu di Malang dan itu dihadiri oleh Presiden, Menpora, Ketua Koni, Ketua PSSI dan perwakilan insan sepakbola serta supporter, mereka semua seakan terhipnotis dan tidak mampu menjatuhkan Nurdin Halid. Atas dasar statuta PSSI, AFC dan FIFA yang mengharuskan sepak bola tidak boleh dicampuri oleh negara, maka Nurdin Halid wa 'ala alihi wa shahbihi tetap berada di atas angin.Bukan hanya Ketua KONI dan Menpora yang angkat tangan, Presiden SBY pun tampak mati kutu di depan Nurdin Halid soal sepak bola.

Demonstrasi beberapa supporter di tanah air dan hujatan terhadap arogansi pengurus PSSI, juga diabaikan begitu saja. Tak cuma itu, berdirinya Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas Arifin Panigoro sebagai liga tandingan ISL, juga tidak menjadi ancaman serius bagi PSSI. Sebaliknya, Noegroho Besoes yang setahu saya sejak jaman batu telah ada di PSSI, malah balik mengancam akan mendeportasi pemain dan pelatih asing yang turut andil di LPI dan ancaman-ancaman lainnya.

Terlepas dari konflik ini, jika kembali melihat prestasi Timnas Indonesia dalam 20 tahun terakhir ini, sama sekali nihil alias Nol Besar! Indonesia peringkatnya terus melorot. Dahulu dikenal sebagai Macan Asia, kini di Asia Tenggara saja, Timnas kita keok. Melawan Timor Leste sebagai negara kemarin sore, Timnas kita kerepotan. Yang lebih tragis lagi adalah di piala AFF 2010 barusan. Di partai final, tim kita dihajar oleh tim tetangga kita sendiri, Malaysia yang selama ini selalu "mengganggu" kita. Sungguh memalukan sekaligus memilukan saat melihat tim negeri jiran itu berpesta pora di Istora Senayan Bung Karno.

Karena itu, berdasarkan serentetan jebloknya prestasi Timnas RI, carut-maturnya pembinaan dan kompetisi sepak bola di tanah air, serta konflik pemilihan Ketum PSSI serta figur Nurdin Halid yang kontroversial, maka sudah waktunya, revolusi PSSI ditabuh!! Seluruh elemen masyarakat pecinta bola dan supporter fanatik dari berbagai klub sepak bola di seluruh nusantara, perlu satu suara: Revolusi PSSI.Sebenarnya, revolusi sepakbola ini bukan hanya untuk PSSI saja, tapi juga FIFA. Di tubuh kepengurusan FIFA, Sepp Blatter sebagai ketuanya juga telah menduduki jawaban itu dalam waktu lama. Oleh karenanya, jika PSSI masih bertahan dibalik baju statuta FIFA, kita tidak perlu takut. Bila perlu, revolusi FIFA pun disuarakan dari tanah air Indonesia.

Selama ini, negara dan insan sepak bola kita telah dibohongi oleh pengurus PSSI yang berkilah di balik penafsiran mereka sendiri terhadap aturan yang mereka buat dan untuk kepentingan mereka juga. Di saat PSSI ditekan oleh Menpora, Koni atau bahkan Presiden, dengan entengnya Nurdin Halid dan kru-nya di PSSI menjawab: "PSSI harus independen dan terlepas dari intervensi manapun. Ini aturan FIFA yang jika dilanggar, Indonesia akan dikucilkan dari persepak bolaan dunia".Namun, di sisi pendanaan, PSSI masih juga membebek ke kas negara. Makan dan minum pengurus PSSI juga disuplai dari uang rakyat. Dalam urusan uang dan perut, PSSI tidak berani mengatakan "mandiri". Berarti, sebuah standart ganda yang diterapkan para mafia sepakbola.

Tidak ada kata lain kecuali segera gulirkan "Revolusi PSSI". Bila perlu, "Jihad Sepak Bola".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar