23 Maret 2011

Bom Buku

 

Kembali, kasus teror bom mengguncang tanah air. Mungkin saja, pelakunya adalah pemain lama, tapi modusnya agak berbeda. Kali ini, sasarannya tidak mengarah kepada khalayak umum yang tentunya perlu daya ledak besar dan biaya tidak sedikit. Tapi, target man-nya adalah perorangan.

Melihat pesan yang disampaikan pembuat bom, tampak jelas bahwa bom buku ini ditengarai karena perbedaan sudut pandang, terutama di bidang ideologi. Jika Bom Bali, Bom Kuningan dan sebagainya ditujukan kepada antek-antek Amerika dan orang-orang kafir dalam penilaian si pelaku, maka kali ini lebih difokuskan kepada publik figur yang ideologi dan pemikirannya dianggap "menyimpang, sesat, atau membela kepentingan USA dan yahudi".

Baik dalam sekala kecil maupun besar, teror bom merupakan ancaman yang patut diwaspadai. Ideologi memang tak pernah mati. Inilah yang seharusnya jangan sampai luput dari incaran. Para teroris yang mengatasnamakan agama untuk kepentingannya sendiri itu, jelas telah bermeta morfosis dan berkembang biak. Tokoh-tokoh mereka boleh saja dipenggal atau dihukum mati, namun eksekusi itu tidak secara langsung menghentikan aksi-aksi terorisme.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa perbedaan mesti ada dan ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri. Allah sendiri menghendaki keaneka ragaman agar semuanya saling berlomba dan berpacu menjadi yang terbaik. Pendapat, opini, bahkan keyakinan tentu saja bisa berbeda. Namun, memaksakan kehendak, apalagi mengedepankan cara-cara anarkhis, jelas sangat bertentangan dengan nilai agama maupun nilai kemanusiaan.

Buku, seharusnya menampung sebuah ide dan pemikiran yang cemerlang. Buku adalah jendela ilmu pengetahuan sekaligus rujukan untuk membuka cakrawala. Apabila isi sebuah buku dianggap keliru atau memuat pesan yang "menghantam" pemikiran lain, maka seharusnya juga harus dibalas dengan buku yang sepadan dan memiliki argumen yang kuat. Jika tradisi ini yang dikembangkan, bukan dengan cara emosi dan anarkhi, maka akan ada hikmah di balik perbedaan.

Kita bisa belajar dari Imam Ghozali, misalnya, ketika beliau gerah dan tidak sepakat dengan pemikiran kaum rasionalis dan filosof, beliau lalu menulis buku yang diberinya judul "Tahafut al-Falasifah" atau kerancuan para filosof. Tentunya, buku beliau ini menuai kritikan bagi para pemikir yang digugatnya. Tapi, apa yang kemudian dilakukan para filosof itu? Apakah mereka lantas mengirimi Imam Ghozali sebuah paket bom? Atau mereka menantang duel Imam Ghozali?

Tidak!!! Para filosof itu menjawab kritik dan pemikiran Imam Ghozali juga dengan tulisan-tulisan yang berbobot dengan argumentasi dalam perspektif mereka. Salah satu, Ibnu Rusdy yang lalu menulis buku berjudul "Tahafut al-Tahafut" atau "Kerancuan Buku yang rancu". Buku ini, dari judulnya saja, bisa diketahui merupakan jawaban atau tandingan terhadap pemikiran Imam Ghozali.

Pada akhirnya, antara pihak yang pro dan kontra terhadap Hujjatul Islam -nama lain Imam Ghozali- juga turut menyumbangkan pikiran, ide dan jawaban yang beragam. Buku-buku baru pun berterbitan dan wacana keilmuan serta pemikiran umat kian beragam dan berkembang. Inilah perbedaan dan inilah rahmat.

Fenomena "perang pemikiran dan ideologi" di era Imam Ghozali itu yang sepatutnya menjadi contoh bagi para ilmuan saat ini apabila menemukan hal yang berbeda menurut perspektifnya, maka harus dijawab dengan cara-cara yang ilmiah, salahnya adalah menulis buku tandingan, bukan mengirim paket bom buku.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar