11 April 2011

Istighatsah UAN

 

Ujian Akhir Nasional telah di depan mata. Siswa-siswi di sekolah tingkat menengah mulai was-was. "Inilah pertarungan, sekaligus pertaruhan terakhir", begitulah pikir mereka. Ujian akhir ini bagaikan dilema antara hidup dan mati. Suasana terasa mencekam, mendebarkan, menakutkan, dan ancaman-ancaman lainnya.Haruskah sedemikian gawat UAN itu sehingga ujian selalu menjadi momok paling mengerikan?

Begitu gawatnya hingga beberapa sekolah perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan ritual seperti doa bersama, istighatsah, dan seterusnya. Bahkan, di masjid atau majelis taklim, sering terdengar permintaan doa dan barakah al-fatihah agar supaya anak-anak lulus sekolah.

Tidak ada yang salah dalam hal berdoa, istighatsah dan acara-acara ritual ini. Bahkan, hal semacam ini cukup bagus untuk menyeimbangkan antara berpikir dan berdzikir. Nuansa religi perlu diketengahkan kepada para siswa-siswi. Boleh jadi, dengan begitu, mereka bisa menjadi lebih tenang, lebih konsentrasi dan berani menghadapi UAN dengan kesiapan mental yang penuh tawakkal.

Ada 2 hal penting yang harus ditanamkan, selain dari sekedar doa bersama atau istighatsah jelang UAN. Pertama, manusia hanya wajib berikhtiyar dan berusaha, sedangkan keputusan akhir adalah takdir Allah. Kedua, tujuan bersekolah adalah mencari ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia-akhirat, bagi masa depan yang lebih cerah, bukan hanya ketentuan lulus atau tidak lulus. Masa depan tidak hanya dipastikan dari selembar ijazah atau nominal angka-angka yang terkadang nilai-nilai itu tidak menggambarkan kemampuan yang sebenarnya

Penjelasan dan penyadaran semacam ini, harus dimiliki setiap siswa agar mereka memiliki karakter yang tangguh. Sebab, bila tidak, mereka akan rapuh sehingga tidak mampu menerima kenyataan saat melihat dirinya gagal dalam ujian. Mereka harus diberitahu bahwa "siapa yang menanam, dialah yang menuai hasilnya".Yang paling dikhawatirkan adalah munculnya suud dzan kepada Allah ketika kegagalan (baca: tidak lulus) yang justru mereka terima. Padahal sebelumnya, mereka telah berusaha mengikuti try out ujian berkali-kali, belajar siang-malam tiada henti dan aktif mengikuti doa bersama demi kata "lulus" ujian akhir.

Saat itu sebenarnya, ujian yang sebenarnya; apakah para siswa itu mampu menerima kenyataan ataukah tidak? Apakah mereka sanggup berbesar hati dan menyalahkan diri sendiri ataukah tidak? Apakah orang tua dan gurunya bisa berjiwa arif ataukah tidak?

Tidak mudah, memang, menerima kenyataan gagal dalam bidang apapun. Padahal sebenarnya, yang lebih berat adalah saat seseorang dinyatakan telah lulus dan berhasil, namun sebenarnya kelulusan dan keberhasilan itu sama sekali tidak mencerminkan kualitas yang sebenarnya. Inilah sesungguhnya kegagalan yang paling nyata. Yakni, ketika para siswa lulus lalu setelah itu, mereka justru tidak memiliki spesifikasi keilmuan seperti yang dicerminkan dalam angka-angka nilai dan ijazah mereka

Tidak ada komentar:
Tulis komentar