6 April 2011

Siap BOS...!!!

 

Dahulu, kata "BOS" lebih populer di kalangan pebisnis. Biasanya, kata BOS dijadikan kata panggilan oleh para kuli atau karyawan kepada majikannya. Tapi kini, kata itu makin meluas pemakaiannya, bukan hanya di lingkup bisnis, tapi juga dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan juga di dunia pendidikan.

BOS di lingkup pendidikan adalah kependekan dari "Bantuan Operasi Sekolah". Yaitu, dana subsidi atau bantuan dari pemerintah untuk sekolah-sekolah dasar dan menengah, baik negeri atau swasta. Sejatinya, dana subsidi ini adalah dana pengalihan subsidi BBM untuk pendidikan sehingga melambungnya harga BBM disebabkan pemerintah tidak mampu lagi menanggung semua biaya BBM dan mengembalikannya kepada rakyat. Jadi, rakyatlah yang harus berkorban untuk dirinya sendiri dalam membeli BBM dengan harga tinggi, sekaligus mereka juga pada hakikatnya yang menyalurkan dana bantuan operasional untuk pendidikan di sekolah.

Jadi, dana BOS itu bukan dari pemerintah atau atas jasa perorangan seorang pejabat, tapi BOS adalah dari rakyat untuk rakyat. Keberadaan BOS, bagi sekolah-sekolah pinggiran atau lembaga swasta yang hidupnya bertopang dari biaya SPP, dana BOS itu disambut sebagai "berkah luar biasa". Bukan saja oleh para guru, siswa, pemilik yayasan, namun juga pemerintah daerah yang turut menyalurkan dana BOS yang merasa riang gembira. Entah karena lega melihat nasib pendidikan mulai membaik, atau gembira bisa merasakan nikmatnya dana BOS. Yang jelas, BOS bagaikan hujan di musim kemarau.

Lain lagi dengan sekolah-sekolah maju atau yang sudah kadung mengklaim sebagai sekolah rintisan internasional, sekolah kelas kaya ini, malah gerah dengan BOS. Aneh! Ya, karena dengan BOS yang menuntut pihak sekolah harus menyediakan pendidikan gratis, sama saja dengan bunuh diri. Selain dana BOS tidak cukup untuk membayar idealisme mereka, juga keberadaan dana BOS ini dirasa mempersempit ruang mereka untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dari pihak costumer yang dalam hal ini adalah para orang tua siswa. Karenanya, ada beberapa sekolah maju yang justru menolak dana BOS.

Satu hal lagi yang juga menjadi kendala dana BOS, yakni faktor keterlambatan penyalurannya ke pihak sekolah. Mengapa dana itu belum juga cair? Padahal para guru sudah lama menghitung hari. Mereka berharap-harap cemas, jangan-jangan BOS dihentikan, padahal para siswa sudah terlanjur dibebaskan dari biaya SPP. Terus, para guru yang juga manusia itu, mau makan apa? Operasional sekolah diambil dari dana apa?

Seharusnya, dana BOS tidak boleh terlambat. Sebab, rakyat yang sejatinya turut andil membeli BBM untuk subsidi pendidikan, juga tidak pernah terlambat. Rakyat yang membeli BBM di pom bensin, tidak boleh membelinya secara kredit, harus kontan dan langsung. Tapi, mengapa penyaluran BOS terlambat? Ada dimana dana itu? Jika terlambat, apa kewajiban pemerintah dan hak rakyat dalam kasus ini? Haruskah ada kompensasi, misalnya, ada semacam pinalti atas keterlambatan tersebut sebagaimana pinalti deposito di bank-bank?

Jika tidak ada yang bertanggung jawab atas masalah ini dan semua pihak berlepas tangan, maka sekali lagi, rakyatlah yang menjadi korban!! Pemerintah daerah seharusnya juga pro-aktif tentang masalah ini. Bila perlu, mengusahakan adanya dana talangan dari bank-bank negara untuk membiayai BOS tersebut. Pemerintah daerah jangan hanya gembira mengurus dan menyalurkan dana BOS saat ada akan kecipratan.

Kendala lain yang dihadapi pihak sekolah terkait BOS adalah pembuatan laporan keuangan yang benar-benar membikin stress para bendahara sekolah. Selain kurang mengerti apa yang dimaui pemerintah, format pelaporan pun bertele-tele. Sekolah sebagai penerima BOS juga harus ribet dengan urusan pajak dari dana itu.

Menurut logika orang awam, jika BOS adalah subsidi (baca: sumbangan/bantuan) pemerintah, kok masih ada pajaknya ya? Tidak bisakah sebelum dana cair ke pihak sekolah telah didesain bebas pajak? Selain itu, bukankah pajak-pajak yang dibayar rakyat selama ini, ujung-ujungnya juga akan dikorupsi oleh para gayusmania?

Pemberian memanglah anugerah, namun ternyata, tidak semua orang siap menerimanya. Ada yang mensyukuri, lalu menyalurkan dan mendayagunakan dana itu secara tepat dan menganggapnya sebagai amanah. Ada pula, pihak yang justru mengkufurinya atau menolaknya karena dana itu dianggap menghalangi idealisme atau nafsunya untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Ada pula yang berlagak syukur hanya saat dana itu di depan mata, lalu ia berebut untuk menyalurkannya dan menampilkan diri sebagai pahlawan pembela pendidikan. Namun, ketika dana itu tersumbat dan sulit dicairkan, mereka malah berlepas tangan, mencari kambing hitam dan berlagak tidak tahu menau tentang keterlambatan itu.

Semua kembali kepada kesiapan jiwa dan raga dari semua pihak. Siapkah pemerintah, sekolah dan juga masyarakat untuk memajukan pendidikan di Indonesia ini. Jangan-jangan, kita semua belum siap memajukan pendidikan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Sebab, bila kita tidak siap untuk itu, sebesar apapun dana yang tersedia, pada akhirnya, juga akan melahirkan kegagalan demi kegagalan.

1 komentar:
Tulis komentar
  1. Software Pelaporan BOS - SiapBOS silakan cek di www.siapbos.net

    BalasHapus