31 Mei 2011

Agama sbg Kendaraan Politik

 

Selain mendompleng popularitas seorang tokoh masyarakat atau figur publik, apalagi yang biasanya dijadikan tameng bagi politikus untuk mencari jabatan dan meraih suara sebanyak-banyaknya?

Jawabannya bisa macam-macam. Situs jejaring sosial, perusahaan terkemuka, pemilik modal, produk yang lagi ngetrend, dan banyak lagi. Namun, yang paling mudah adalah agama. Yah, slogan-slogan agama beserta dalil-dalilnya adalah mesin paling efektif untuk menarik simpati, menggugah semangat, mengobarkan asa, memantik emosi dan menggaet loyalitas tanpa batas.

Agama sebagai way of life yang itu menjadi pilihan hidup manusia, dengan mudahnya ditarik-tarik oleh para politikus atau aktivis pergerakan untuk dijadikan alat menjaring suara dan mencari simpati. Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, misalnya, kini telah menjadi momok yang bukan hanya mengancam negara dan kesatuan NKRI, tapi juga meresahkan masyarakat luas. Terlebih lagi, akhir-akhir ini, Pancasila sebagai dasar negara dan motto "Bhinneka Tunggal Ika" mulai digugat, dibenturkan hingga dilawan dengan cara mempertentangkannya dengan kitab suci.

Islam yang sejatinya ajaran mulia, universal, penebar rahmat dan kedamaian, oleh siapapun bisa dimanipulatif dan dimodifikasi sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya sendiri, yakni kekuasaan. Masyarakat muslim yang awam, tak terkecuali kaum intelektual muda, merasa bahwa tawaraan baru tentang negara Islam, kekhilafahan, dan seterusnya sebagai pilihan alternatif baru yang mencerahkan di tengah realitas kehidupan yang penuh ketidak adilan, kesenjangan sosial dan ekonomi dan ketidak pastian hukum.

Melalui data-data akurat tentang lemahnya kehidupan berdemokrasi, birokrasi yang korup, dan isu-isu lainnya, para pengusung gerakan yang mengatasnamakan Islam berusaha menarik simpati dan membuka mata kaum pemilih awam serta para remaja yang masih bau kencur untuk direkrut dan dijadikan member tetap yang siap lahir-batin membela ideologi baru berdasarkan agama di atas ideologi negara, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Inilah yang dimaksud agama hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan, melampiaskan nafsu dan menghukum orang-orang atau kelompok lain yang dinilai berseberangan dengan ideologinya sendiri. Sebagus apapun gerakan, organisasi, perkumpulan atau apapun namanya, semua tergantung kepada manusianya.

Memang, tidak dapat dipungkiri, bahwa realitas yang ada di sekitar kita banyak yang menyimpang dari ajaran agama yang kita anut. Ketidak adilan, kemaksitan, kriminalitas, kesenjangan ekonomi dan sosial, kemiskinan, dan seterusnya. Semua itu, jika dilihat dari kacamata, pasti ada celah bahwa di sana terjadi sebuah "pengingkaran" terhadap ajaran yang dianut orang-orang tersebut. Namun, apakah lalu semuanya dikambing hitamkan kepada sistem negara, ideologi negara, aturan pemerintahan, pranata hukum?

Sekali lagi, semua tergantung manusianya. Merubah manusia tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu pendekatan humanis, dengan cara sosial yang menyentuh hati. Bukan malah menawarkan kekerasan, mengajak berperang, menebarkan mimpi kekuasaan. Sebab, cara-cara ini jelas bukan ingin memanusiakan manusia, namun justru meracuni manusia.

Di negara manapun, penyimpangan pasti ada. Tak peduli sistem apapun yang digunakan. Yang pasti, jika agama diseret-seret ke ranah politik dan kekuasaan, itu jelas akan menodai agama itu sendiri. Ketidak adilan inilah yang lalu menjadi senjata bagi kelompok-kelompok yang ngebet untuk mendirikan negara Islam di atas negara Indonesia. Caranya adalah mengikis habis rasa nasionalisme dan meracuni pikiran-pikiran generasi muda dengan sebarek dalil yang logis dan tekstual untuk kemudian di hadapkan pada sistem pemerintahan yang ada sembari menampilkan fakta dan data kongkrit.

Rasa nasionalisme bangsa ini sudah mulai dikikis sedari kecil. Saya melihat, beberapa sekolah, termasuk Taman Kanak-Kanak, sudah diajari berdemonstrasi dengan meneriakkan "Allahu Akbar", meski yang didemo itu adalah tentang kebejatan Israel terhadap Palestina, kebiadaban USA terhadap negara-negara Timur Tengah, dan seterusnya. Perayaan hari-hari bersejarah seperti: Hari Kemerdekaan RI, Hari Kartini, Hari Kebangkitan Pancasila, Hari Pendidikan Nasional, justru menjadi ajang demo untuk menghujat pemerintah dan sistem pemerintahan negara RI.

Berdirinya ormas-ormas baru, termasuk juga lembaga pendidikan, yang tidak memakai Pancasila sebagai landasan AD/ART dan Statuta, maka perlu ditinjau ulang. Nasionalisme kelompok-kelompok itu perlu dipertanyakan. Bila menolak atau bahkan menentang dasar negara dan undang-undang, maka pemerintah RI sebagai kepanjangan tangan seluruh rakyat Indonesia harus bersikap tegas dengan menegur mereka. Bila tetap membangkang, mereka patut dibubarkan dan dicerambut hingga ke akar-akarnya.

Sungguh, tidak sama antara Islam dengan orang Islam. Jika pun banyak para pemimpin bangsa yang terjerat kasus korupsi atau kasus asusila lainnya, maka itu bukan karena agama yang dianutnya, tapi itu murni karena manusianya yang membangkang terhadap ajaran Islam. Demikian juga dengan Pancasila dan UUD 45. Bila para pimpinan bangsa saat ini banyak yang bermoral rendah dan tidak layak dijadikan suri teladan, sekali lagi, itu juga bukan karena faktor Pancasila, UUD 1945 atau paham demokrasi yang dibelanya. Namun, itu adalah "human error" atau "manusia"-nya yang rusak!

Artinya, dasar-dasar negara yang telah lama menopang negara ini dan telah mati-matian diperjuangkan para pahlawan dan pendiri bangsa ini, jangan sampai dibentur-benturkan dengan kitab suci. Sebaliknya, sangat tidak tepat menarik-narik dalik-dalil agama untuk merongrong dasar negara atau dijadikan justifikasi "pembela" untuk kepentingan kekuasaan!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar