29 Mei 2011

Alim dan Abid

 

Konon, di sebuah surau, beberapa orang sedang shalat berjamaah. Tampaknya, mereka khusyuk sekali. Baik imam maupun makmum, sama-sama berkonsentrasi menunaikan shalat wajib. Tanpa mereka sadari, ada setan yang sedari tadi mengawasi mereka. Setan itu tampak ragu-ragu ketika hendak menggoda kekhusyukan shalat mereka.

Teman si setan datang dan bertanya, "Mengapa kamu tidak lekas menjalankan tugasmu untuk mengganggu dan menyesatkan mereka?". "Sebenarnya, saya bertekad melaksanakan tugas. Tapi, kita tidak boleh gegabah. Tanpa perhitungan yang matang, usaha kita akan sia-sia", jawab si setan. "Kok bisa? Apa masalahnya? Bukankah mereka yang shalat itu masih kelas awam alias bodoh", tanya temannya lagi. "Tak tahukah kamu, di bagian belakang surau itu, ada orang alim sedang tidur. Jika kini saya berhasil menggoda mereka, lalu orang alim itu terbangun lantas meluruskan kesalahan mereka, maka percuma saja serangan yang telah kita lancarkan", kata si setan.

Akhirnya, setan bersama temannya urung menggoda para jamaah shalat karena di sebelah mereka terdapat seorang alim yang lagi tertidur.

Kisah sederhana tapi populer di kalangan pesantren ini, jelas ingin memberi pesan betapa tinggi posisi orang berilmu melebihi ahli ibadah. Hingga, keadaan tidurnya saja menjadi perhitungan tersendiri di mata setan kelas teri. Kisah ini juga mengajarkan, betapa hebatnya ibadah yang dilakukan seorang hamba, bila tidak didasari ilmu, maka ibadah itu akan sia-sia belaka.

Jelas, ilmu lebih tinggi derajatnya daripada sekedar kegiatan ritual yang tanpa dasar. Permasalahannya adalah bahwa kini, semangat untuk mendalami ilmu agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, semakin hari semakin memprihatinkan. Di masjid-masjid yang disana diselenggarakan pengajian umum atau majelis taklim, justru sepi peminat.

Para jamaah, biasanya, baru ramai memadati masjid dan mengikuti pengajian hanya pada saat momen hari besar saja seperti pengajian maulid Nabi, pengajian Isra' Mi'raj dan seterusnya. Itu pun, mereka hadir karena di masjid juga tersedia aneka makanan dan minuman. Sementara itu, dalam pengajian-pengajian rutin yang membahas fiqih ibadah sehari-hari, pengunjungnya sepi. Padahal, ilmu tentang peribadatan harian itu, hukumnya wajib diketahui para jamaah. Sebab, bila seseorang mengamalkan sebuah ritual tanpa dilandasi keilmuan yang kokoh, amal ibadahnya dipandang tidak sah atau batal.

Di sinilah posisi ilmu, pada hakikatnya, lebih tinggi daripada sekedar amalan yang tidak berwawasan agama. Ada banyak ritual harian yang tampaknya remeh dan telah terbiasa, namun justru karena kelihatan biasa dan wajar itu, maka rentan terjadi kesalahan dan ketidak absahan.

Pengetahuan tentang rukun, syarat wajib dan sahnya shalat atau puasa, sangat boleh jadi tidak banyak diketahui para jamaah. Demikian pula tentang hal-ihwal kesucian. Misalnya, tentang jenis najis, cara mensucikan najis, pengertian hadas besar dan hadas kecil, tatacara bertayammum, dan banyak lagi.

Disinilah tampak tugas berat bagi para dai atau penyuluh ilmu agama. Informasi tentang ilmu-ilmu peribadatan harian, baik yang bersifat personal maupun sosial, harus menjadi target kurikulum pengajian yang sifatnya segera untuk disampaikan. Bisa secara lisan melalui pengajian, khutbah dan sebagainya. Atau, melalui tulisan semisal buletin masjid, hand-book, tulisan di blog, dan semacamnya.

Selain itu, kesadaran untuk mendalami ilmu-ilmu pokok ajaran agama Islam, harus ditumbuhkan secara massal di tengah masyarakat. Karenanya, momen pengajian rutin yang ada di masjid-masjid, harus disulap menjadi wahana pembekalan diri dan pendalaman rohani bagi para jamaah. Karena sesungguhnya, penguasaan ilmu-ilmu agama inilah yang dewasa ini minim diminati.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar