5 Mei 2011

Pesantren Dhiror

 

Istilah Pesantren Dhiror atau Pesantren Berbahaya, dalam sejarah Islam, mungkin tidak dikenal. Yang ada adalah Masjid Dhiror. Sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik di zaman Nabi Muhammad saw untuk menandingi keberadaan Masjid Quba', masjid pertama yang dibangun oleh Nabi saat baru pertama tiba hijrah di Madinah.

Dibangunnya Masjid Dhiror sebagai masjid tandingan oleh orang-orang munafik yang menentang misi Nabi Muhammad saw bertujuan, pertama, untuk mematai-matai segala gerakan dan program dakwah Nabi; kedua, sebagai markas bagi mereka untuk menggalang kekuatan; ketiga, untuk memecah belah persatuan umat Islam.

Berdasarkan visi dan misi Masjid Dhihor yang amat meresahkan itu, maka Nabi Muhammad saw sebagai pimpinan di Kota Madinah harus bertindak cepat dan tegas atas eksistensi masjid berbahaya itu. Sebab, bila tidak segera ditumpas, masjid tandingan itu akan menjadi ancaman berbahaya bagi keimanan dan persatuan di seluruh Yasrib, nama lain kota Madinah. Karena itu, lalu masjid Dhiror tersebut diserang dan dihancurkan. Gerakan para militan munafik (baca: pemberontak) dilumpuhkan dan dibasmi.

Dari catatan sejarah tersebut, bisa dimengerti bahwa gerakan kelompok munafik yang mengatasnamakan apa saja, menebar fitnah dan berita bohong hingga membangun masjid tandingan, harus dibumi hanguskan. Meski bangunan itu bernama "masjid", berlabel agama, bersembunyi di balik "rumah Allah", namun karena visi dan misinya berseberangan, maka bangunan itu harus dirobohkan. Inilah keputusan Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks kekinian, mungkin saja ada masjid yang sengaja dipakai untuk kepentingan tertentu yang dibangun bukan berasaskan ketaqwaan, namun sedari awal sudah berorientasi untuk memecahkan belah umat dan persatuan hidup bernegara. Selain masjid, tentu saja ada lembaga lain yang bisa dijadikan alat oleh orang-orang munafik dalam menjalankan programnya, seperti: pesantren, sekolah, padepokan, yayasan, organisasi, dan sebagainya.

Salah satu yang mencolok saat ini adalah nama pesantren. Dahulu, dalam catatan sejarah nusantara, pesantren sangat lekat dengan majelis pengajian tradisional yang didirikan oleh seorang kiai atau bahkan wali untuk menampung para santri yang hendak mengaji sambil menginap di kediaman pengasuh. Dari pesantren, tempat berkumpul dan berinteraksi itu, diharapkan nilai-nilai keteladanan dari seorang guru dan proses pembelajaran, dapat terinternalisasi ke dalam jiwa santri.

Maka pesantren adalah wadah bagi para santri untuk mendalami ilmu agama, menerapkan ajaran al-Quran, menggembleng diri untuk inttiba' Nabi dan menteladani laku kiai. Materi-materi yang dikaji pun juga seputar kitab-kitab kuning yang memuat pedoman akidah, hukum-hukum fiqih, kajian bahasa dan sastra, dan bidang studi lainnya.

Itulah pesantren tradisional. Meski kemudian muncul istilah pesantren modern, maka itu lebih karena kurikulum pesantren yang bersangkutan berusaha disinergikan dengan kurikulum sekolah formal dan penggunaan fasilitas modern semacam laboratorium bahasa, komputer dan jaringan internet hingga fasilitas olah raga dan pengembangan seni.

Berbeda dengan pesantren pada umumnya, akhir-akhir ini juga muncul pesantren yang tampaknya memang mengkaji ilmu-ilmu agama, namun tidak dipungkiri lagi, ternyata juga mengajarkan gerakan-gerakan militansi. Peran pesantren memang harus proaktif kepada siapapun termasuk pemerintah dengan memberikan kritik dan masukan. Namun, terkadang peran itu disalahgunakan dengan cara-cara anarkis.

Ajaran-ajaran dogmatis, fundamentalis dan anarkis diramu menjadi satu ide besar yang lalu dimanfaatkan untuk menggalang massa dan kekuatan terselubung. Bahkan, ada juga pesantren yang misinya juga bertujuan mencuci otak para santrinya. Dalam tataran ini, pesantren semisal itu patut disebut "Pesantren Dhiror". Dan, pesantren bervisi dan bermisi yang merusak generasi bangsa hingga bertujuan membuat keributan atau memecah belah persatuan, jelas patut diberlakukan sama seperti yang diperbuat Nabi. Yakni, satu kata, tumpas!!

Sekali lagi, bukan hanya akan melahirkan pemahaman sesat dan sikap-sikap anarkis saja, namun "pesantren dhiror" juga akan membahayakan kesatuan serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses internalisasi nilai-nilai kekerasaan, sikap memaksakan kehendak, menghalalkan berbagai cara asal visi-misinya tercapai, akan terus berproses dalam pendidikan dan pelatihan yang ada di dalam pesantren-pesantren bertipe “dhiror”. Karenanya, pemerintah dan umat Islam di Indonesia harus waspada terhadap keberadaan gerakan berbahaya yang bersembunyi di balik baju “pesantren”.

“Pesantren Dhiror” jelas mencemari nama baik pesantren pada umumnya. Pesantren tradisional yang sedari awal mengajarkan ketauladanan dari sikap tasamuh sang kiai dan tawaddu’ santri, kini wajah itu tercoreng oleh pihak-pihak yang bersembunyi di balik jubah “pesantren dhiror”. Karenanya, umat dan pemerintah diminta peka untuk bisa membedakan antara pesantren yang patut dilestarikan dan pesantren yang segera untuk dicerabut dari akarnya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar