10 Juni 2009

Dari Pulau Garam ke Pulau Madu

 

Rabu, 10 Juni 2009, adalah hari bersejarah bagi titik balik pulau garam, Madura. Hal itu karena adanya jembatan Suramadu yang hari itu diresmikan Presiden SBY. Jembatan sepanjang 5.4 km itu membelah lautan menghubungkan Madura dengan kota metropolitan, Surabaya. Sejak 2003 hingga 2009, jembatan itu dibangun dengan cucuran keringat dan anggaran yang cukup besar, hampir 5 Trilyun.

Cukup mahal dan lama memang, sebab perencanaan jembatan itu juga tidak lepas dari pro dan kontra di kalangan tokoh masyarakat Madura. Utamanya, para kiai yang bagi reng Medureh sangat diagungkan dan wajib dipatuhi petuahnya melebihi instruksi pemerintah dan bahkan presiden sekalipun.
Sebagai putra Madura, saya pun sering bertanya, kenapa para kiai ada yang anti Suramadu? Jawabannya beragam. Namun secara umum mereka beralasan khawatir maksiat merajalela di pulau yang penuh pesantren itu.

Bagi kebanyakan orang, alasan ini mungkin sangat naif, kolot dan sempit. Akan tetapi pada saat saya mudik ke kampung halaman dan bermalam di desa Tangkor, Labang, kabupaten Sampang, saya pun bisa merasakan bahwa statemen kiai itu akan ada benarnya. Desaku yang memang gersang, tandus dan iklimnya panas itu baru dimasuki listrik sekitar tahun 2000-an. Belum ada air PDAM hingga hari ini. Masyarakat hanya mengandalkan air sumur dan sumber air satu-satunya hasil pengeboran yang disumbang seseorang dari Malang. Jika malam hari, nyamuk-nyamuk berpesta mencubit sekujur tubuh sebab saya sering tidur di Langgar (baca: musholla) khas Madura yang terbuka dan hampir semua rumah warga punya langgar yang multi fungsi untuk sholat jamaah, tadarrus, cangkrukan hingga tidur bareng. Pokoknya, mangan ora mangan pokoe ngumpul. Bakda Subuh, kakek-nenekku sekalipun usianya lebih dari 65 tahun, tapi mereka tetap kuat dan bersemangat pergi ke sawah. Biasanya, suasana rumah baru ramai penghuni pada pukul 8 pagi atau bakda dhuhur setelah madrasah bubar.

Desa kami cukup jauh dari pasar. Tak banyak warga yang memiliki TV, Tape Recorder, apalagi komputer, jelas tidak ada. Mereka cukup puas dengan radio yang channelnya terbatas. Jika waktu sholat tiba, adzan yang dikumandangkan dari masjid bisa terdengar hingga ke semua rumah warga walaupun jaraknya jauh. Di desa, jarang bahkan hampir tidak didengar deru mobil, raung sepeda motor, dan kebisingan lainnya. Jika ada pengajian umum yang digelar warga desa lain misalnya, warga desa kami berduyun-duyun menghadirinya.

Suasana sepi, tandus dan panas laksana padang pasir di jazirah Arabia. Masyarakatnya masih polos, bahasanya masih asli, tradisinya murni dan toleransi adalah budaya semua orang. Mereka saling menghormati, sekalipun kebiasaan carok juga ikut mewarnai gaya hidup orang Madura sebagai solusi akhir dalam menyelesaikan konflik.

Deskripsi tentang Madura di atas adalah saat desa saya masih belum dimasuki aliran listrik. Pasca listrik masuk desa, apa yang terjadi? Perubahan, yah perubahan atau mungkin revolusi kebudayaan. Sejak itu, banyak warga yang memelihara TV dan pemudanya lebih suka mendengarkan musik cadas dengan volume keras. Suasana kumpul ramai-ramai di langgar setelah waktu Isyak hingga tengah malam, mulai jarang. Warga lebih suka berkumpul di rumah satu-dua orang yang memiliki TV. Kumandang adzan pun terasa jauh dan sulit didengarkan secara jelas. Apalagi, ketika VCD player masuk desa. Hoby para pemuda dan anak-anak adalah nonton film rame-rame (nobar). Menariknya, langgar/musholla tradisional milik perseorangan itu juga dijadikan bioskop bersama. Ibu-ibu lebih suka KDI, bapak-bapak gemar nonton tinju, anak-anak nonton film kartun, dan muda-mudinya mulai kenal nama-nama selebriti cantik dan tenar. Belum lagi ketika teknologi ponsel masuk ke desa kami, semua warga antusias memilikinya supaya dapat berkomunikasi dengan familinya yang ada di pulau Jawa.

Hanya dalam waktu hampir 10 tahun, trend masyarakat desa kami berubah. Tidak ada yang salah memang dalam menikmati hasil teknologi modern. Tapi, tidak semua produk teknologi sholihun li kulli zaman wa makaan (relevan) pada setiap waktu dan ruang. Buktinya, betapa sulitnya warga desa kami pada saat mereka hendak menonton film baru. Mereka harus rela pergi ke pasar desa yang jaraknya cukup jauh hanya untuk menyewa beberapa keping VCD. Memang lucu kelihatannya, jika saya melihat paman menerima panggilan telepon dengan ponselnya, sedang dia tengah membajak sawah. Tapi, tatkala pulsanya habis, paman harus rela naik delman ke pasar untuk membeli pulsa. Lebih runyam lagi, jika untuk membeli pulsa harus barter dengan menjual padi, pisang atau hasil panen lainnya.

Lalu, apa hubungannya antara revolusi budaya di desa kami dengan jembatan Suramadu? Jelas, ini masalah kesiapan skill dan mental warga sekitar dalam menerima sebuah perubahan. Para ulama mengkhawatirkan glontoran investasi di pesisir pantai Bangkalan yang tidak berpihak pada masyarakat pesisir. Orang Madura tidak ingin hanya menjadi tamu di rumah sendiri apalagi menjadi pembantu. Layaknya masyarakat asli Bali yang banyak menjadi pramusaji, menari, menghibur tamu, melayani turis di hotel-hotel mewah milik orang Jakarta atau warga asing. Sementara penghasilan mereka masih tetap pas-pasan.

Tradisi keberagamaan yang kental dan fanatik khawatir luntur akibat industrialisasi sepihak dan tidak memberi kesejahteraan bagi semua warga. Hidup sederhana dan pas-pasan yang selama ini menjadi trademark kaum santri di Madura ditakutkan berubah menjadi gaya hidup glamour yang kosong tanpa nilai-nilai spiritual.

Tanpa perencanaan pembangunan yang tepat dan melibatkan semua rakyat Madura, jembatan Suramadu itu hanya akan merubah pulau garam menjadi madu atau bahkan racun.

Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu... Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku.....

Suramadu, 10 Juni 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar