11 Agustus 2009

Indonesia Bukan Negara Agama, Merdeka!

 


Sebentar lagi, rakyat Indonesia akan merayakan HUT RI ke-64. Terbayang betapa berat perjuangan para pahlawan. Mereka rela mengorbankan harta, keluarga, harga diri hingga nyawa demi merah putih.

Setelah 3,5 abad dijajah Belanda, Jepang hingga sekutu, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka dan sangat menentang kolonialisme. Kalimat "Berkat rahmat Allah.." pada alenia ke-3 Pembukaan UUD 45 adalah puncak pengakuan bangsa Indonesia terhadap eksistensi Tuhan yang hanya dengan kuasanya, Indonesia sampai ke pintu gerbang kemerdekaan.

Setelah proklamasi, para pendiri dan pejuang Indonesia dahulu sangat memahami keragaman suku, ras, budaya dan agama yang dipeluk rakyat Indonesia. Sekalipun dihuni mayoritas muslim, tapi mereka tetap kokoh untuk tidak mendeklarasikan negara Islam. Tidak satupun agama di Indonesia (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu) menghalalkan kriminalitas, perang, saling bunuh, korupsi, terorisme dan sebagainya. Dengan kata lain, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah segala-galanya. Keadilan, kemakmuran, kesejahteraan yang merata harus terus diupayakan sebagai amanat dari kemerdekaan.

Untuk mencapai itu, ada pancasila sebagai dasar negara yang mewadahi seluruh rakyat Indonesia. Apapun agama dan keyakinan seseorang, negara menghormatinya dan memperlakukannya sama di depan hukum negara. Pemisahan antara agama (din) dan negara (daulah) merupakan hasil ijtihad yang sifatnya final, tak ada tawar-menawar bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekaligus hal itu sebagai pola keberagamaan maupun model keberagaman yang tepat di era nation state, khususnya di Indonesia.

Oleh karena dasar negara bukan atasnama agama tertentu, maka semua warganya harus menghormati kemajemukan atau pluralisme. Dengan sikap toleransi (tasamuh) itu, kaum mayoritas harus melindungi dan mengayomi minoritas. Sebaliknya, minoritas pun harus tahu diri dan tidak memancing di air keruh. Apabila sikap ini diabaikan oleh masing-masing pihak, maka gesekan dan friksi tidak akan pernah berakhir. Masing-masing pemeluk agama akan mengklaim paling benar lalu dengan argumennya mereka bebas memaksa, menyakiti dan menindas pihak lain. Tiap agama, tak terkecuali Islam, mengandung ajaran/dalil yang bisa saja diinterpretasikan untuk menghalalkan darah pihak lain.

Salah satu contoh, pemahaman yang sempit tentang makna jihad, bahwa jihad adalah perang. Wa qotilul-musyrikiin kaffah (bunuhlah orang-orang musyrik semuanya), Wa Jahidu bi amwalikum wa anfusiku (Jihadlah dengan harta dan jiwa kalian) dan beberapa dalil lain yang dengan itu lalu referen jihad hanya mengacu dan berarti perang. Bentuk perang --oleh oknum yang menyebut dirinya muslim-- bisa dengan cara teror atau bom bunuh diri sebagai jalan terakhir. Contoh lain, misalnya misionarisme atau kristenisasi yang dalam agama Kristen, baik katolik maupun protestan, kaum nasrani diperintah untuk menyelamatkan domba-domba yang tersesat. Atas perintah ini, lalu misi mengkristenkan orang lain baik dengan cara halus ataupun kasar menjadi keniscayaan.

Sebuah ideologi yang ditumpangi adanya kepentingan kelompok, apapun alasannya, dan itu menyangkut kesatuan NKRI dan mengacaukan keamanan, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia berarti sangat bertentangan dengan amanah kemerdekaan. Apalagi jika ideologi dan politik itu mengatasnamakan diri dengan label "Islam, Syariat Islam, Khilafah Islamiyah, dan lainya", lalu dengan istilah itu berkeyakinan hendak mendirikan negara Islam di atas negara kesatuan NKRI. Itu sama saja dengan pemberontakan!! Indikasi seperti ini juga sama bagi umat atau kelompok agama lain di Indonesia. Apabila mereka dengan istilah agamanya --misalnya Negara Yesus, Hindu Indonesia, Laskar Budha-- berusaha merubah dasar negara, maka itupun bisa dikatakan pemberontakan dan pemerkosaan atasnama agama.

Kenapa term atau bahasa-bahasa agama kerap dipakai? Jawabnya, karena dengan istilah religi semacam itu, sebuah kelompok tertentu mampu dengan cepat membangkitkan fanatisme orang lain atau pengikut setianya. Bahasa agama yang telah diyakini kebenarannya, dia bisa cepat mempengaruhi kejiwaan seseorang dan disinilah terdapat ruang bagi beberapa pihak untuk mencuci otak para pengikut atau umatnya, lalu kemudian dimanfaatkan sesuai dengan agenda yang telah dirancang untuk mengacaukan stabilitas dan kesatuan NKRI.

Jadi, atasnama kemerdekaan dan kemanusiaan, rakyat Indonesia bersyukur bahwa negara ini bukan negara agama, tapi negara yang sangat menghormati keragamaan umat beragama.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar