17 Juli 2009

Malapraktek atasnama Tuhan

 



Malapraktek berarti kesalahan dalam menerapkan sesuatu. Kesalahan disini disepakati sebagai kekeliruan yang tidak termaafkan karena prosedur atau cara yang ditempuh salah dan tidak mengikuti aturan. Istilah Malapraktek kerap muncul di bidang kedokteran. Kekeliruan dokter dalam mendiagnosa penyakit dan melakukan tindakan medis dinilai sebagai kesalahan, dan itu merugikan pasien.

Kini, apa sih yang tidak dibisniskan? Hampir disemua bidang segala hal ditempuh dengan cara transaksional. Para medis dan juga para guru di bidang pendidikan, juga ikut-ikutan meramaikan slogan "Kepuasan customer (pasien, orangtua murid, atau siapapun) adalah segalanya". Slogan semacam ini jelas berkaitan dengan transaksi bisnis.

Artinya, masing-masing pihak harus merasakan untung. Tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Penjual jasa (dokter/guru/dosen) harus memberi layanan yang baik sehingga tujuan si pasien agar sembuh bisa terwujud dan tujuan orangtua agar anaknya sukses dan lulus bisa tercapai. Jika kedua hal itu pada akhirnya tidak terealisasi berarti di situ ada malapraktek!

Beberapa hari yang lalu, salah seorang tetangga rumah merujuk saudaranya yang kritis ke Rumah Sakit Swasta. Setelah berharap cemas menunggu dokter yang tengah memeriksa si pasien, lalu seorang dokter senior keluar dari ruangannya menemui semua keluarga si pasien yang sedang menanti di ruang tunggu. Betapa kaget orang-orang itu tatkala mendengar bahwa si pasien harus dioperasi akibat penyakit ambein yang dideritanya telah parah. Belum selesai hati mereka terkejut dalam kesedihan, semenit kemudian mata mereka yang melolot kaget setelah mendengar bahwa biaya operasinya mencapai 20 juta! Begitu mahal dan bahkan supermahal bagi keluarga itu yang ekonominya pas-pasan.

Apalagi, jika biaya itu tidak dibayar 50% sebelum operasi atau ada surat jaminan, maka keluarga dipersilahkan membawa pergi si pasien yang tergeletak pingsan itu. Tiba-tiba, salah seorang kerabatnya dari jauh datang menjenguk. Dengan gagah berani, dia berkata: "Saya sanggup membayar 20 juta dengan nyawa saya sebagai taruhan. Saya pun rela, saudaraku yang sakit itu perutnya dibedah, dioperasi dan diobok-obok. Tapi dengan satu syarat. Apakah Dokter menjamin 100 persen dia akan sembuh total pasca operasi dan penyakitnya tidak kambuh lagi. Dia sehat seperti sediakala. Jika ternyata di kemudian hari, dia sakit lagi atau penyakitnya tidak sembuh total, apakah jaminan Dokter?". Setelah terdiam sebentar, dengan enteng dokter tua menjawab: "Soal sembuh, saya tidak bisa memastikan, Pak. Sebab kesembuhan itu hanya dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa".

Sebuah jawaban yang tidak proporsional dilihat dari kacamata bisnis yang mengutamakan customer. Dari aspek tauhid, jelas itu tidak salah dan semua orang tahu itu. Tapi dalam bisnis, menyembunyikan kelemahan dan kesalahan yang dapat merugikan mitra bisnis dengan mengatasnamakan pihak lain, apalagi Tuhan, jelas merupakan kejahatan.

Apabila kasus di atas diterapkan di dunia pendidikan, maka seharusnya orang tua murid berani bertindak seperti keluarga si pasien di atas. Sekolah/Kampus yang menjual visi-misinya dengan biaya studi jutaan rupiah. Para Kepala Sekolah atau Rektor yang biasanya dalam tahun ajaran baru berjanji akan menghantarkan peserta didik menempuh cita-citanya. Lalu kemudian, pada saat akhir studi banyak siswa yang tidak lulus atau pasca wisuda banyak mahasiswa yang ngangur dan tidak menjadi manusia seperti yang tertera dalam visi-misi sekolah/kampus, maka seharusnya orangtua murid atau mahasiswa menuntut haknya karena telah terjadi malapraktek. Berarti ada prosedur yang salah atau dengan kalimat yang lebih keras lagi, berarti ada penipuan di bidang pendidikan ketika orangtua wali murid atau mahasiswa diposisikan sebagai customer dan mereka tidak mencapai tujuan yang diinginlkan.

Pihak sekolah/kampus tidak bisa hanya memberi jawaban bahwa anak jadi pintar, cerdas, lulus, bertaqwa atau menjadi manusia utuh, itu semua adalah dibawah takdir dan kehendak Tuhan. Jawaban seperti ini -dalam kerangka bisnis pendidikan- menunjukkan sikap pengecut dan lari dari tanggungjawab.

Apakah -misalnya- ketika saya sebagai penjual motor dan dalam bagian pelayanan, barang akan saya kirim ke rumah Anda sebagai pembeli, lalu Anda bertanya tentang bisakah motor itu tiba dirumah?, ternyata saya menjawab bahwa barang tiba atau tidak bukan urusan saya, tapi itu urusan Tuhan sebagai pencipta segala hal. Jika jawaban saya semacam ini, maka pasti bisnis ini disebut ghoror, ada unsur penipuan, ketidakjelasan dan dapat merugikan. Hal ini sama saja mengakibatkan malapraktek!

Jika Tuhan diatasnamakan dalam hubungan transaksional di dunia kedokteran, di dunia pendidikan dan di bidang layanan jasa lainnya, lalu apa kata dunia? Kini, malapraktek telah menjadi malapetaka, dan itu telah terjadi dimana-mana.

17 Juli 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar