2 Juni 2011

Mempertanyakan Sekolah Internasional

 

Tak bisa dipungkiri, era globalisasi menuntut seseorang atau sebuah negara termotivasi untuk bisa sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Dunia kian terasa sempit, informasi cepat diakses, produk teknologi segera dinikmati oleh seluruh warga bumi, dan seterusnya sebagai dampak globalisasi. Termasuk juga di bidang pendidikan. Indonesia, sebagai negara berkembang, sejak dulu ingin selalu berkiblat ke negara maju untuk mensejajarkan diri dan meningkatkan kualitas di banyak sektor. Karena tuntutan itu, sekolah-sekolah pun kini didesain dengan kulit "Internasional". Hingga ke daerah-daerah, sekolah dengan merek bertaraf internasional dengan kurikulum berstandar luar negeri dan gelar-gelar asing mulai membanjiri Indonesia. Lulusan LN merasa tersanjung dengan almaaternya setelah pulang kampung. Pihak universitas atau sekolah merasa lebih percaya diri bila memiliki dosen/guru alumnus luar negeri.

Dunia kerja pun, seperti perusahaan, BUMN, pabrik hingga pengusaha swasta lebih memperioritaskan pelamar alumnus luar Indonesia. Perusahaan atau sekolah akan tampak mentereng jika diakhiri huruf "i". Jika dulu, embel-embel i itu masih setingkat perguruan tinggi, kini sekolah tingkat dasar SD/MI juga ikut-ikutan disisipi internasional. Asal memiliki bangunan mewah, fasilitas multi media, gembar-gembor bahasa inggris atau multi lingual, ada label ISO, ada beberapa guru bule, plus brosur artistik, maka sudah layak dikultuskan sebagai sekolah bertaraf internasional. Fenomena ini membuat masyarakat juga bertanya-tanya.

Pertama; Benarkah lembaga-lembaga pendidikan bermerek I itu sungguh-sungguh berstandar internasional? atau jangan-jangan itu hanyalah kulit luar saja. Pertanyaan ini perlu diajukan sebab masyarakat telah sering dikibuli berbagai mode sekolah, bermacam model brosur pendaftaran, beraneka iklan tentang keunggulan sebuah sekolah/kampus, tapi ternyata setelah mereka masuk di dalamnya, berakhir dengan kekecewaan. Mereka merasa seperti membeli kucing dalam karung. Jika sebuah lembaga hanya diukur dengan fasilitas lahiriyah saja dan dijejali kurikulum ala luar negeri, maka setiap sekolah mestinya bisa melakukan itu asal ada dana dan semangat para pengelolanya.

Kedua; Apa memang kualitas pendidikan dan model sekolah di Indonesia saat ini harus berlabel internasional? Jangan-jangan labelisasi internasional ini hanya untuk keperluan bisnis pendidikan di tengah masyarakat Indonesia yang sok modern dan gila produk impor. Apabila kita lihat dalam realita, dosen atau guru lulusan dalam negeri juga tidak kalah dengan guru atau dosen impor.Tenaga pendidik Indonesia paling hanya kalah di bidang penguasaan bahasa asing, obyektifitas dan profesionalisme kerja saja, sementara untuk skill dan ranah kognitifnya juga hampir sama, bahkan mungkin lebih. Apalagi jika menyangkut moral dan spiritual agama, guru-guru pesantren, kiai atau lulusan UIN/IAIN/STAIN masih lebih jago dalam mendidik kepribadian dan moral anak bangsa. Jika pendidikan itu berorientasi pada perbaikan moral dan akal,yang itu bisa dilakukan tanpa bersembunyi dibalik slogan internasional, maka masih perlukah sekolah-sekolah yang diklaim modern itu?!

Ketiga; berbicara tentang makna internasional di sini, sebenarnya sekolah di Indonesia ini berkiblat ke negara mana? Amerika, Inggris, Mesir, Australia, Jepang atau semua negara. Apa yang menjadi kendala tentang masalah kiblat adalah tentang jati diri dan budaya bangsa yang mau tidak mau akan terjadi akulturasi dan pertentangan idealisme di saat anak-anak negeri ini telah luntur rasa nasionalismenya. Negara-negara yang dalam pandangan kita maju dan telah memiliki berbagai teknologi modern, belum tentu mampu membenahi moral bangsa. Kolonialisme, rasisme, pelecehan agama, fundamentalisme, anarkisme, problem gender dan isu-isu hangat lainnya adalah produk dari negara maju.

Jadi, masihkah berkiblat kepada mereka?! Tanya, kenapa...?

12 Juni 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar