2 Juni 2011

Paradigma Memilih Kampus, dulu dan sekarang

 

Musim ujian akhir mulai tingkat SD hingga SMU telah usai. Pesta wisuda juga telah lewat. Euforia lulusan dengan sesama teman seangkatan dan janji kebersamaan harus segera dihentikan. Kini, SNMPTN telah di depan mata. Pasca lulus dan bayang-bayang kebahagiaan sesaat itu harus diubah menjadi motivasi untuk mengejar cita-cita tinggi, melanjutkan ke perguruan tinggi favorit atau kemana saja. Walaupun demikian, tidak sedikit lulusan SMU/MA dan orang tua mereka yang masih kebingungan menentukan pilihan pada PT atau program studi yang akan ditempuh.
Umumnya, orang tua sekarang pasrah pada pilihan anaknya. Apapun dimanapu yang penting anaknya masih mau kuliah dan ada biaya, mereka telah bahagia. Juga tidak sedikit para lulusan SMA yang masih ABG itu menentukan pilihan bukan didasarkan pada skill, minat dan bakat yang mereka punya, tapi karena ikut-ikutan teman, trend, takut kerja, khawatir nganggur, atau pengaruh iklan sebuah perguruan tinggi.
Permasalahannya, apa yang membedakan tolak ukur pilihan kuliah (baca:belajar) pada zaman sekarang dengan tempo dulu? Jika pertanyaan ini diajukan kepada calon mahasiswa baru yang belum mengenal bangku kuliah, maka jawabannya beragam. Ada yang menjawab, saya memilih kampus A karena fasilitasnya lengkap. Saya memilih kampus B karena murah. Saya memilih kampus C karena jaraknya dekat, karena milik yayasan keluarga, karena rekomendasi seseorang, karena saudara, famili dan kawan-kawan banyak yang kuliah di sana. Atau, karena saya bercita-cita menjadi dokter, dosen, guru, advokat, konsultan, dan sebagainya.
Jawaban-jawaban itu sesungguhnya tidak salah, tapi mungkin kurang tepat. Sebab, kriteria yang menjadi dasar pemilihan itu lebih berorientasi pada kulit sebuah pendidikan dan tidak langsung mengarah pada substansi. Lalu, apa seharusnya yang menjadi substansi pendidikan yang mendasari proses pemilihan tersebut?
Secara tradisional, proses sebuah pendidikan intinya terletak pada guru atau dosen, sekalipun menurut teori-teori modern saat ini guru/dosen/tenaga pengajar ditempatkan hanya sebagai fasilitator, motivator dan bukan sumber ilmu. Paradigma ini yang menurut saya membedakan antara substansi pendidikan zaman sekarang dengan zaman dahulu.
Apabila kita melihat model pendidikan yang dilakoni santri, bagi yang akan ngangsu kaweruh di pondok, kebanyakan seorang santri tidak memilih pesantren berdasarkan kelengkapan fasilitas pondok, sistem pendidikan, kualitas program, biaya, dan sebagainya.
Dalam menentukan pilihan pesantren, seorang calon santri, paling awal hanya melihat figur kiai. "Kepada siapa dia harus berguru? Siapa kiai yang akan menjadi gurunya, tempat mencari ilmu, tempat mengadu, dan sebagainya?. Jadi di sini, seorang kiai/guru menjadi alasan utama bagi calon santri. Bahkan biasanya, model pemilihan ini oleh si santri dan wali santri cukup diringkas dengan kalimat: "Saya mondok di pesantren A untuk memperoleh berkah kiai yang mengasuh ponpes itu". Barangkali dengan prosedur yang tidak rumit yang menjadikan ikatan antara santri dan kiai adalah silah ruhiyyah atau hubungan rohani, bukan silah tijariyah atau hubungan transaksional yang umumnya ada di sekolah atau perguruan tinggi.
Jika melihat cara pandang sederhana itu, maka sesungguhnya tidak sulit menentukan pilihan sebuah kampus. Tapi masalahnya, akses memperoleh informasi tentang siapa dosen-dosen yang akan menjadi calon guru bagi calon mahasiswa baru itu belum bisa diakses secara luas. Selain itu, para calon mahasiswa dan orang tua mereka memang telah terbentuk dari gaya hidup materialistis sehingga lebih memilih kampus dengan landasan pertanyaan-pertanyaan kulit seperti di atas. Yakni, tentang hak mahasiswa, tentang fasilitas kampus, tentang subsidi pendidikan, dan sebagainya sehingga jarang ada yang memilih kampus tertentu karena di dalamnya ada tokoh-tokoh atau dosen-dosen yang kompeten di bidang yang akan ditekuninya.
Sederhananya, memilih PT/kampus adalah memilih guru/dosen yang akan menjadi sumber ilmu, sumber motivasi dan fasilitator dalam mengejar cita-cita, sekaligus teladan karena para guru/dosen yang menjadi gurunya telah kompeten di bidangnya, mereka telah menjadi praktisi profesional sesuai dengan mata kuliah yang diajarkannya, bukan hanya akademisi yang hanya mentransfer ilmu lalu mendistribusikan kepada mahasiswa, padahal itu belum dilakukannya.
Jadi, memilih kampus sebaiknya tidak cukup dengan hanya melihat brosur, iklan atau kabar burung. Memilih PT seharusnya tidak cukup hanya melihat kemegahan gedung dan kelengkapan fasilitas, sekalipun ini juga perlu sebagai wasilah. Tapi yang lebih penting dari itu adalah seorang calon murid/mahasiswa memilih dan mengenal calon guru/dosennya. Tidak mengherankan jika Nabi bersabda, "Inna hadza al-diin ilmun, fan-dzur 'amman ta'khuduna diinakum". Sesungguhnya agama ini adalah ilmu, maka lihatlah lebih dulu dari siapakah kalian mengambil ilmu itu!
23 Juni 2009

Tidak ada komentar:
Tulis komentar