7 Juni 2011

Sinkritisme Tahlil

 

Masyarakat kita, biasa mengadakan tahlil harian untuk saudaranya sesama muslim yang meninggal dunia. Tahlil itu sering diadakan secara estafet. Maksudnya, ada tahlil pada hari pertama, kedua, hingga hari ketujuh dari hari wafatnya seseorang. Setelah itu, pada hari keempat puluh, hari keseratus, hari genap setahun (haul) hingga hari keseribu.

Kebiasaan ini sering dipermasalahkan dan dihubungkan dengan akidah Islam. Umumnya, orang sering bertanya: "Apakah tahlil harian itu memang ada dalilnya? Di zaman Nabi, tahlil semacam itu apa pernah diselenggarakan? Bahkan ketika Nabi wafat, apa keluarga dan para sahabatnya juga melakukan hal yang sama?"

Pertanyaan beruntun itu, dari dulu hingga kini, masih kerap muncul. Meskipun, saya juga yakin, orang-orang yang mempertanyakan hal itu juga merasa ngeri dan takut; jangan-jangan kelak jika ia mati, tidak ditahlili, he..he... Yang lebih kritis lagi, budaya tahlil harian di tengah masyarakat ini, juga dituding berbau sinkritisme. Ada tuduhan bahwa tahlil pada hari-hari tertentu itu adalah pengaruh dari ajaran Hindu dan Budha.

Aneka upacara penganut Hindu dan Budha pada hari-hari tertentu, terutama terkait dengan pemujaan arwah yang diselingi dengan penyajian sesaji, ditengarai telah berpengaruh besar terhadap pelaksanaan ritual agama Islam. Lebih lanjut lagi, tuduhan itu juga dikait-kaitkan dengan metode dakwah Wali Songo. Dalam masa awal dakwah, para wali sengaja memodifikasi adat-istiadat masyarakat setempat dengan warna keislaman sehingga percampuran budaya dan agama (baca: sinkritisme) ini harus dimurnikan. Kini, saat Islam telah dominan, harus ada upaya pemurniaan ajaran Islam, salah satunya adalah tahlil harian tersebut.

Inilah bagian dari tuduhan itu, atau lebih tepatnya, inilah salah paham orang-orang yang mengaku ingin memurnikan akidah Islam, tapi justru menciptakan konflik baru. Tuduhan itu, dalam tataran budaya, justru berupaya mencabut Islam dari akar budaya lokal dan menimbulkan friksi berkepanjangan. Padahal seharusnya, hal ini tidak perlu.

Meski demikian, permasalahan klasik ini memang perlu dijawab. Kesalahpahaman harus diluruskan dan dicerahkan agar tidak asal menyalahkan, mensesat-sesatkan, atau bahkan mengkafir-kafirkan.

Sesungguhnya, bersedekah dan menyelenggarakan tahlil pada hari-hari tertentu, bukan berasal atau terpengaruh budaya Hindu dan Budha. Ini adalah tradisi salaf (para sahabat dan tabiin), bukan pengaruh Hindu Budha (al-Hawi li al-Fatawa, II/391). Ingat, tradisi SALAF, bukan SALAFI lho. "La yastawi (tidak sama) antara SALAF dan SALAFI".

Menurut Imam Nawawi al-Bantani (Nihayah al-Zain, 281), bersedekah atasnama mayit dengan cara yang sesuai syara', sangat dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus hari ketujuh, lebih atau kurang dari tujuh hari. Artinya, kita bebas tahlil berapa hari yang kita mau. Sedangkan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat dan itu tidak bertentangan dengan syara' sebagaimana fatwa Kiai Ahmad Dahlan.

حدثنا هاشم بن القاسم قال حدثنا الأشجعي عن سفيان قال: قال طاوس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
(الحاوي للفتاوى، 2/178)

Imam Ahmad bin Hambal, dalam kitab al-Zuhd, menyatakan bahwa bersedekah selama 7 hari itu adalah perbuatan sunnah. Sebab, tradisi itu merupakan salah satu bentuk doa kepada mayit yang sedang diuji di dalam kuburan selam 7 hari. Imam al-Suyuti menganggap hal tersebut merupakan sunnah yang telah dilakukan secara turun menurun sejak masa sahabat.

أن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة، فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن، وأنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول
(الحاوي للفتاوى، 2/194)

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti, kesunnahan memberi sedekah makanan selama 7 hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (abad IX Hijriyah), baik di Mekah maupun Madinah. Yang jelas, tradisi itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi saw sampai kini. Sekali lagi, tradisi itu diambil dari ulama salaf mulai generasi pertama, yakni masa sahabat Rasulullah saw.

عن ابن عباس أن رجلا قال : يا رسول الله إن أمي توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها. قال: نعم. قال: فإن لي مخرفا فأشهدك أني قد تصدقت به عنها.
(سنن الترمذي، 605).

Ibnu Abbas bercerita, suatu hari, seorang pria menemui Rasulullah saw lalu bertanya, "Wahai Rasul, ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya bila kini aku bersedekah untuknya?". "Iya", jawab Nabi. Pria itu berkata lagi, "Saya memiliki sebidang kebun. Jika demikian, saya mohon saksikan, aku akan mensedekahkan kebun itu atasnama ibuku" (Sunan Tirmidzi, 605).

Dari hadis di atas, bisa dipahami bahwa bersedekah yang pahalanya diperuntukkan bagi mayit, adalah boleh dan diperkenankan Nabi. Jadi, jangankan bersedekah makanan, kue atau nasi berkat yang diberikan kepada jamaah, bersedekah kebun pun yang harganya amat malah, bisa disedekahkan dan pahalanya diberikan si mayit.

Jika dalil di atas masih dirasakan kurang, kita bisa mengutip pernyataan Ibnu Qoyyim al-Jawziyah, bahwa memberikan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit merupakan hal utama. Dalam pandangan beliau, sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budah, sedekah, istighfar, doa dan haji. Sedangkan pahala membaca al-Quran secara sukarela dan pahalnya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut sebagaimana pahala puasa dan haji (al-Ruuh, 142).

قال ابن القيم الجوزية: فأفضل ما يهدى إلى الميت العتق والصدقة والاستغفار له والدعاء له والحج عنه. وأما قراءة القرآن وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة، فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج
(الروح، 142)

Singkatnya, sedekah dan tahlil pada bilangan hari-hari tertentu pasca wafatnya seseorang merupakan tradisi yang disunnahkan. Kegiatan itu bukan sekedar kumpul bareng atau cangkrukan tanpa makna. Tapi, bacaan-bacaan al-Quran, sebutan asma Allah, tasbih, tahmid, tahlil, istighfar dan shalawat yang secara bersama dilantunkan, manfaat dan pahalanya bukan hanya menjadi milik para pembaca atau tuan rumah saja. Namun, yang tidak kalah pentingnya, pahala dan keutamaan itu juga sangat dibutuhkan oleh si mayit.

Membenturkan tradisi tahlil dengan budaya Hindu-Budha, atau menuduhnya sebagai sinkritisme, apalagi itu dinilai sebagai warisan dakwah yang tidak murni Islami dari para Wali Songo, merupakan tuduhan yang salah paham atau paham yang salah.

Para ulama sekelas Imam Hambali, Imam al-Suyuti, Imam Nawawi atau Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang notabene-nya hidup di masa lalu dan melihat langsung tradisi para salaf shalih di Mekah, Madinah dan di kota-kota lainnya melakukan tradisi tahlil, mereka secara terbuka menegaskan bahwa tradisi itu telah ada turun-menurun sejak dari era para sahabat. Artinya, tahlil plus sedekah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perayaan atau upacara ritual ala Hindu-Budha.

Jika dihubung-hubungkan antara tahlil dengan ritual Hindu-Budha, ya mesti aja akan ada titik kesamaan, lha wong budaya itu adalah hasil budi dan karsa manusia sebagai makhluk berpikir dan berbudaya. Sama saja dengan upacara pernikahan dimana pengantin putra dan putri duduk di singgasana (jawa: kuade), jangan-jangan ini juga dituduh sinkritisme dengan budaya Romawi, Yunani, atau budaya lainnya yang dicap tidak Islami. Bermain sepakbola, facebook-an, dandan di salon, fitnes, dan hobi-hobi lain, jangan-jangan juga sinkritisme karena tradisi itu bukan berasal dari kampung Arab.

Jika semua hal dicap sinkritisme, padahal hari gini udah zaman modern, mending yang main cap-cap itu pergi sono ke hutan atau ke padang pasir sambil naik unta!! Lho, kok jadi marah-marah ya….. Ndak, ini bagian dari ekspresi salah satu teman yang kesal karena dikatain sesat dan kejawen.

Alhasil, terlepas dari ada atau tidaknya dalil, yang jelas, upaya memisahkan tradisi ritual agama Islam dari kehidupan berbudaya dan berakar dari adat-istiadat masyarakat setempat adalah merupakan tindakan dan tuduhan dari pihak-pihak yang tidak berbudaya. Slogan pencerahan dan pemurnian ajaran Islam itu, hanya tabir dibalik upaya mencederai masyarakat muslim Indonesia yang telah berkarakter dan beridentitas.

3 komentar:
Tulis komentar
  1. Tahlil Hasil Budaya Islam

    selama ini kelompok-kelompok salafi wahhabi yang menolak tahlil mengaitkan bahwa tahlil adalah ajaran agama Hindu. padahal dari zaman Hindu Majapahit dan Hindu India tdk ada satupun tradisi dan ajarah selamatan tahlil dari hari kesatu sampai ketujuh harinya, 40,100 dst.
    dalam agama Hindu yang ada adalah ngaben yaitu membakar jenazah dengan dilengkapi sajen atau bantenan.

    berikut ini dialog islam - hindu tentang tahlil.
    Xarel, on 04/03/2012 at 9:41 AM said:

    To: Pak Dewa
    Salam…
    saya senang membaca tentang agama Hindu, yang ingin saya tanyakan:
    1. apakah dalam hindu ada selamatan untuk jenazah dari hari1-7 lalu 40,100,1000harinya ? jika ada mohon berikan slokanya juga

    2. dalam selamatan itu apakah mengundang para tetangga disekitarnya, seperti tradisi orang Islam…?

    trims pak dewa, saya tunggu jawabannya…
    dewa, on 05/03/2012 at 2:45 AM said:

    @Xarel : terima kasih atas komentar & pertanyaannya, salam :-D
    1. Sebagaimana yang saya ketahui dalam ajaran Hindu tidak ada selamatan untuk jenasah, sebagaimana halnya agama selain Hindu. terlebih lagi setelah selesainya prosesi ngaben, maka yang meninggal sudah dianggap bersih.
    2. kalaupun diadakan selamatan itu bukan merupakan ajaran Hindu, melainkan dari Individunya masing-masing.
    terima kasih.
    http://dewaarka.wordpress.com/2009/06/15/upacara-adat-ngaben-umat-hindu-bali/#comment-568

    BalasHapus
  2. terima kasih, mas xarel atas masukannya, juga kepada pak dewa
    semoga menjadi pencerahan bagi kehidupan toleransi antar umat beragama dan hidup rukun

    BalasHapus
  3. Cari di youtube "Mualaf menggugat Tahlilan"

    BalasHapus