6 Agustus 2009

Tontonan Jadi Tuntunan

 


Akhir-akhir ini, karya sastra yang bertajuk Islam atau Religius telah mendapat hati di masyarakat. Tentunya dari aspek humanis, hal itu sungguh menggembirakan. Sebab, itu artinya pesan dan kritik sastra yang sarat nilai telah merasuk dalam relung-relung jiwa dan tanpa sadar seseorang akan mengambil pelajaran dari karya sastra itu. Apalagi, tatkala sebuah novel divisualisasikan dalam film, sinetron, drama, atau ekspresi seni lainnya, maka ruang jelajah sastra itu kian meluas.

Entah kenapa? film semacam Ayat-Ayat Cinta, Mengaku Rasul, Perempuan Berkalung Tasbih, Kun Fa Yakun, dan terakhir Ketika Cinta Bertasbih, begitu dirilis di gedung Bioskop, langsung dijejali penonton yang kebanyakan muda-mudi. Apa memang karya Habiburrahman atau yang lain itu benar-benar bernilai agamis ataukah para penonton sedang dahaga dengan ajaran Islam sehingga untuk belajar Islam tidak harus melalui al-Quran sebagai Kitab Sastra Terbesar, tapi juga bisa dari novel, film atau sebagainya? Atau, bisa saja kesuksesan film-film itu berkat manejemen marketing para sineas film yang paham dengan pasar sehingga berbagai model promosi ditempuh?

Jika memang ini kekuatannya, maka tidak heran jika setiap film baru selalu dihadirkan beberapa tokoh mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, ketua ormas Islam, kiai, artis, anggota dewan DPR/MPR dan tokoh-tokoh publik lainnya. Biasanya mereka diundang NoBar (Nonton Bareng) lalu setelah itu dimintai pendapatnnya tentang film yang baru dipelototinya.

Satu demi satu, para umara dan ulama itu memberi rekomendasi kepada umat untuk segera nonton. "Film ini cocok untuk umat", "Beginilah seharusnya film religius itu", "Umat Islam wajib nonton, jika tidak, pasti rugi", begitulah beberapa fatwa (baca: komentar) mereka tentang film religi Islami yang memang lebih baik -dari sisi nilai agama- daripada film horor, film action yang sadis, film vulgar berbasis aurat, apalagi film porno.

Hanya yang mungkin tampak aneh, terutama menurut ulama salaf, adalah bahwa para tokoh itu terlibat dalam ajakan untuk menjadikan tontonan sebagai tuntunan. Kenapa terasa aneh? sebab ketika melihat pengajian rutin di masjid-masjid kampung yang didalamnya ada kajian mendalam tentang fiqh, tauhid dan sebagainya, justru hanya dihadiri sedikit jamaah, paling-paling kesebelasan dan itupun mereka telah lanjut usia. 

Apakah metode pengajiannya yang kurang modern atau karena istiqomahnya itu yang bikin orang bosan? Ada pula yang berargumen, bahwa dengan nonton film religi, ajaran Islam lebih cepat dipahami, agama terasa indah, apalagi nobar sama pacar, jelas makin indah dan lebih cepat untuk diamalkan.

Apabila ajaran-ajaran Islam yang masih berupa tekstual klasik dalam kitab-kitab kuning telah kurang peminatnya dan nilai-nilai Islam dirasa akan lebih cepat dipahami setelah ada penerjemahan dari yang tekstual menjadi visual semacam film, itu artinya agama bahkan sastra telah berubah wujud menuju materialistik. Jadi, tontonan telah berubah tuntunan dan tuntunan hanya terlihat sebagai tontonan.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar