19 Oktober 2009

Uang Suap untuk CPNS, Boleh

 


Nabi bersabda: "ar-Rasyi wa al-Murtasyi fi an-Naar", pemberi dan penerima uang suap, keduanya masuk neraka. Secara textual, conten (matan) hadis itu bersifat aam (umum). Maksudnya, kedua belah pihak, sekalipun saling menguntungkan, tidak boleh melakukan transaksi suap. Uang suap atau apapun bentuk dan namanya seperti parcel, uang semir, pelicin, dsb sering dikategorikan suap. Termasuk juga, uang yang diselipkan di bawah meja kantor polisi oleh pengendara motor yang kena tilang, ia juga dikategorikan suap.

Atas dasar itu, sepertinya, uang suap itu adalah uang yang tujuannya meluluskan sebuah keinginan dengan jalan pintas lalu diterima juga dengan cara yang tidak ada dalam prosedur. Masalahnya, apakah jika keinginan itu benar, uang yang diberikan juga masih salah? Apakah jika kedua belah pihak sama-sama ridho, uang itu masih disebut suap? dan banyak lagi pertanyaan yang bisa diurai dari kasus-kasus suap.

Sebenarnya, saya tidak ingin membahas suap. Tapi, setelah saya membaca buku Ahkam Fuqaha fi Muqarrarat Bahts Masail atau Himpunan Keputusan Bahtsul Masail Syuriah NU Jawa Timur, di Ponpes Sukorejo Asembagus Situbondo, Jatim, tanggal 13-15 Nopember 1986, saya begitu terkejut saat melihat pertanyaan:

"Bagaimana hukumnya seorang yang ingin menjadi pegawai negeri dengan memberikan harta (uang semir) agar diangkat?"

Jawabnya: Kalau orang yang ingin menjadi pegawai itu sudah memenuhi syarat-syarat menjadi pegawai, maka memberikan uang semir itu hukumnya boleh (jaiz). Dan, kalau belum, hukumnya tidak boleh.

Keputusan itu didasarkan pada kitab Is'aad ar-Rafiq II/100, Hamisy Bughyah al-Mustarsyidin hal. 269, al-Asbah wa an-Nadzair hal. 103, Mughni al-Muhtaj IV/392.

Jika dilihat kembali dari teks-teks tersebut, kebanyakan aspek haram dari suap lebih banyak ditujukan kepada penerima suap. Sedangkan, hukum bagi pemberi masih banyak yang jaiz (boleh).

Kembali ke pertanyaan tentang suap yang ditengarai kerap terjadi pada pengangkatan CPNS. Bila, kebolehan itu berpijak pada skill dan kelayakan si calon PNS untuk menduduki jabatan di negara, tetap boleh berdasarkan hukum di atas. Lalu apa tolak ukur skill yang diharapkan? Jika tolak ukurnya adalah tes cpns, lalu si calon memang lulus, namun karena besarnya jumlah pendaftar melebihi kuota dan tidak imbang dengan formasi yang dibutuhkan, maka mau tidak mau ia memilih memberi uang pelicin kepada pejabat berwenang yang diyakini bisa menjamin berhasil. Apakah cara itu masih sah dan boleh secara hukum?

Jika itu boleh, saya tidak bisa membayangkan betapa banyak orang yang akan rela membayar uang suap demi jabatan pegawai negeri yang bayarannya tiap bulan telah pasti ada dengan fasilitas, tunjangan dan tentunya uang pensiun yang menjanjikan di masa tua. Jika itu boleh, saya yakin, akan banyak pejabat yang menyalahgunakan hukum itu untuk memeras calon pegawai negeri dan bertindak lalim, sembunyi tangan untuk meluluskan relasi dan nasabahnya sendiri.

Dengan kata lain, hukum itu perlu ditinjau ulang. Atau, mungkin telah tiba zamannya bahwa suap tak bisa dihindari lagi seperti halnya riba (baca: bunga bank) yang tumbuh subur tanpa mampu dibendung selain cara "menghela hukum" atau memanipulasi dalil. Jika Nabi masih ada, haruskah redaksi hadis di atas akan lebih panjang dan rinci? Tidak cukup pahamkah umat ini melihat statement singkat Nabi?

Wallahu A'lam.

2 komentar:
Tulis komentar
  1. waduh mas...suap ya suap, kok dihalalkan? kalo hadiah ya halal, tp beda dgn suap donk. Mau jadi apa negara ini...

    BalasHapus
  2. Tulisan yang sangat bagus dan memberikan penjelasan terhadap masalah SUAP dengan PNS

    BalasHapus