1 Juli 2011

Kakek Duda

 


Lebih dari setahun, Pak Marto ditinggal sang isteri untuk selama-lamanya. Pria berusia 50 tahunan itu, sehari-hari hanya menunggu toko peracangan di depan rumahnya, sendirian. Ketiga anaknya, semua telah berkeluarga.

Taib, anak pertamanya, bekerja sebagai PNS di Perusahaan Listrik Nasional. Meski gajinya pas-pasan, tapi sudah cukup untuk membiayai kedua anaknya. Saima, anak perempuan Pak Marto juga telah menikah dengan seorang tentara dan menetap bersama suaminya di komplek TNI. Sementara itu, anak ragil Pak Marto yang bernama Toha, baru setahun lalu menikah dengan gadis pujaannya yang kini tengah hamil muda.

Melihat semua anak-anaknya telah menikah, Pak Marto merasa lega. Semua telah hidup mandiri, meski ketiga-tiganya kini sudah tak bersamanya lagi. Paling-paling, hanya pada hari-hari libur saja, sesekali anak-anaknya datang sembari membawa cucu yang lucu dan imut-imut. Ketika semua anak dan cucu berkumpul di rumah, Pak Marto baru merasakan kebahagiaan.

Namun, dalam keseharian, ketika semua telah kembali ke kehidupan mereka masing-masing, Pak Marto pun dihampiri rasa kesepian yang mendalam. Sang isteri yang dahulu menjadi tempat berpeluh kesah dan bercanda tawa, telah pergi dari sisinya. Hidupnya terasa hampa laksana Adam tanpa Hawa.

Sebenarnya, ia pernah ditawari Pak Lurah, teman karibnya, untuk menikah lagi. Kebetulan, Pak Lurah memiliki saudara perempuan yang telah lama menjanda dan belum juga karunia anak. Dalam hati kecil Pak Marto, tawaran itu bagaikan secercah cahaya di malam yang gelap gulita. Ia seperti menemukan kembali harapan hidup di tengah kesepian yang menyelimutinya hampir setiap saat. Tapi, apakah niatnya itu akan disetujui oleh anak-anaknya dan diterima kerabatnya?

Pertanyaan itulah yang terus menghantui pikirannya. Akhirnya, pada saat Saima, anaknya datang ke rumah, dengan perasaan berdebar, pria tua itu berkata, "Nduk, bapakmu ini ditawari Pak Lurah untuk menikahi saudaranya yang telah lama menjanda. Bapak tidak bermaksud apapun kecuali untuk beribadah".

Saima seperti mendengar petir di siang bolong. Sontak, ia langsung berkata, "Apakah Bapak sudah tidak mencintai Ibu lagi? Apa Bapak tidak malu menikah di usia tua? Cobalah Bapak pikir baik-baik". Sang Bapak hanya terdiam. Tatapan matanya kosong. Ia bagai memikul dosa berton-ton di pundaknya. Ucapan putrinya itu sangat jauh dari dugaannya.

Tak lama kemudian, Toha pun kebetulan tiba di rumah. Lalu, tanpa menunggu lama, Saima berkata kepada adiknya, "Dik, kamu tahu tidak, Bapak ingin kawin lagi. Apa kamu setuju?". Dengan suara lantang, Toha berujar kepada Bapaknya yang masih terdiam, "Silahkan saja Bapak menikah dengan siapapun. Tapi, jangan harap saya mau datang lagi ke rumah ini".

"Saya akan menelpon Mas Taib", kata Saima dengan penuh emosional. Sementara Sang Bapak masih diam terpaku. Pria tua itu tidak tahu lagi harus berkata apa. "Halo, Mas Taib. Apa Mas setuju kalau Bapak menikah lagi?", tanya Saima melalui handphone-nya. Dari loadspeaker yang diperdengarkan, samar-samar, suara Taib menjawab, "Apa Bapak tidak tahu malu. Coba katakan kepadanya, ini sudah bukan waktu untuk menikah, tapi untuk mempersiapkan diri menghadap Tuhan".

Sambil menahan tangis, Pak Marto tertunduk. Ketiga anaknya telah menghakiminya. Sama sekali ia tidak bermaksud mengkhianati ibu mereka yang telah pergi di alam baka. Menikah baginya adalah ibadah dan isteri adalah teman paling dekat di sisinya untuk berbagi suka dan lara. Tapi, perasaan inilah yang kurang dipahami anak-anaknya. Berdosakah bila ia menikah lagi?

Tak seperti biasanya. Belum sejam berada di rumah orang tuanya , Saima dan Toha langsung pamit pulang kepada ayah mereka, tanpa mengumbar senyum sedikitpun. Bahkan, Toha yang memang berwatak keras, malah mengancam, "Awas, jika Bapak menikah lagi, jangan salah saya kalau isteri Bapak nanti menjadi musuh besar saya dan tidak akan pernah mengganti posisi ibu di hati saya".

Saat kedua anaknya berlalu, Pak Marto tak kuasa menahan tangis kesedihan. “Mereka belum mengerti”, pikirnya dalam hati. Taib, Saima, Toha atau bahkan anak-anak yang lain dan juga kerabatnya, belum mengerti siksaan hati bernama kesepian yang akan muncul di masa senja. Apalagi, saat kesepian itu benar-benar datang, kakek duda bernama Pak Marto itu, menghadapinya dengan sendirian. Belahan jiwanya telah pergi dan takkan pernah kembali. Namun, ketika kini desir angin keramaian dan kedamaian hendak mampir, justru anak-anak yang dulu ia temani di masa kecil, malah mencibir, memarahi dan mengancam keinginan Pak Marto.

Kembali, kakek duda itu diam seribu bahasa dalam kesepian dan kesunyian seakan-akan ia telah diposisikan mati sebelum waktunya. Kakek duda itu, benar-benar pada tahap kehidupan yang paling membosankan hingga yang terlintas dalam pikirannya, “Kapankah aku pergi untuk selamanya?”

Tidak ada komentar:
Tulis komentar