4 Juli 2011

Kesenjangan

 


Di sebuah acara infotaiment, ada kabar seorang artis dibayar 50 juta untuk sekali syuting sinetron di setiap episodenya. Terbayang, berapa juta yang diraup artis cantik itu jika sinetronnya tayang 5 kali dalam seminggu. Dalam setahun, ia bisa membeli rumah, mobil mewah hingga bisnis cafe.

Ada juga penyanyi dangdut yang bayarannya mencapai 75 juta hanya sekali manggung. Sungguh luar biasa karena lebih besar dari gaji presiden Indonesia, apalagi gaji guru SD. Hingga pensiun pun, para pahlawan tanpa tanda jasa itu belum tentu bisa memiliki mobil BMW, perumahan elit dan sebagainya. Belum lagi, jika artis yang cuma jual tampang itu dikontrak untuk iklan. Jutaan rupiah bisa terserap ke rekeningnya hanya dalam sekejap.

Ketika sang sutradara dimintai pendapat tentang bayaran mahal yang diterima si aktris, ia menjawab, "Saya kira, bayaran itu wajar karena talenta yang dimiliki memang luar biasa". Sebuah pernyataan yang sungguh di luar kewajaran, terutama di mata orang awam dan masyarakat yang tingkat ekonominya berada di kelas bawah.

"Masak sih, akting hanya nangis doang dibayar puluhan juta. Sementara kita yang mencari nafkah seharian di pasar loak dan telah bertahun-tahun masih kalah dibanding hanya syuting sekali saja", demikian komentar salah seorang pedagang asongan.

Fenomena di atas jelas menunjukkan lebarnya jarak kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin di negeri ini. Belum lagi, kesenjangan gaji pejabat pemerintah dengan upah minimum harian yang jaraknya hampir antara langit dan bumi. Memang, talenta, bakat, ilmu pengetahuan dan skill seseorang tak ternilai harganya dibanding materi atau uang. Namun, "penghargaan" yang sedemikian besar dan berlimpah, apalagi itu hanya dalam konteks panggung hiburan, jelas melukai rasa keadilan dan pemerataan.

Bukan hanya itu saja, kenyataan ini mengindikasikan ketidak warasan pola pikir pada bangsa ini. Dunia entertainment dan panggung hiburan yang sejatinya hanya menawarkan kesenangan semu dan temporer, ternyata dihargai lebih mahal oleh bangsa kita ini. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian para orang tua dan pemandu bakat sama-sama ngotot mencari dan memburu talenta-talenta muda yang bisa dijual.

Fakta itu bisa kita saksikan di layar lebar. Anak-anak kecil yang masih dibawah umur telah menjadi "sapi perah" orang tuanya. Dengan didikan dan latihan intensif, orang tua sengaja ingin membentuk anaknya menjadi artis. Apa lagi yang diinginkan kalau bukan untuk meraup kekayaan dalam waktu sekejap?

Anak-anak muda di negeri "kaya hutang" ini pun diracuni dengan berbagai mimpi untuk menjadi tenar, masuk tv, bisa main sinetron, jadi artis figuran, dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari makin membludaknya acara audisi untuk jadi artis yang diikuti kaum remaja yang nota bene-nya mereka adalah generasi bangsa di masa mendatang. Bukankah hal ini merupakan bagian dari pendidikan berkarakter yang sifatnya negatif?

Anak-anak kita dicekoki kehidupan serba instan. Mereka diperlihatkan akan gaya hidup serba hedonis dan tidak diajari bagaimana sebenarnya menjalani hidup yang benar sesuai agama dan nilai-nilai kemanusiaan.

Ada yang mengilustrasikan kenyataan ini dengan hoby. Berbicara tentang hoby, jelas hanya para penggila saja yang berani mengeluarkan kocek mahal demi hoby yang digelutinya. Para pecinta burung berkicau, mereka ikhlas membeli seekor burung yang kicaunya merdu, meski ia sendiri tidak paham makna dari kicauan itu. Kerelaan membayar mahal demi hoby adalah aktualiasasi kegilaan yang berlebihan.

Hal yang sama juga terjadi pada dunia entertainment. Jika dunia akting, tarik suara dan berbagai aksi panggung hiburan dihargai mahal, lalu banya pihak yang rela membayar mereka dengan merogoh kantong dalam-dalam, maka sama saja dengan aksi gila. Yah, hanya orang-orang gila saja yang mau membayar para penghibur dengan uang jutaan rupiah. Dengan kata lain, ternyata di sekitar kita telah banyak orang gila dan menyuguhkan tayangan atau atraksi yang tampaknya menghibur, tapi sebenarnya mengajarkan kegilaan dan ketidak warasan.

Hingga kapan pun, kesenjangan ini akan sulit diatasi, jika seluruh komponen bangsa ini  masih tidak waras dan menyukai aneka hiburan yang sifatnya semu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar