16 Agustus 2011

Bisnis Tukar Uang Haram

 


Selain fenomena pasar tumpah, mudik lebaran, konser puasa, aneka diskon hari raya, ada lagi pernik Ramadan yang mulai marak di Indonesia, yakni bisnis penukaran uang rupiah edisi cetakan terbaru.

Bisnis tukar uang itu, biasanya berlangsung di pinggir jalan raya dimana beberapa orang berdiri sambil mengacung-acungkan sebendel uang kertas yang terbungkus rapi. Ada uang pecahan kertas senilai 1.000-an, 2.000-an, 5.000-an, 10.000-an hingga 20.000-an Pelanggannya tentu orang-orang yang hendak berhari raya dengan membagi-bagikan uang receh kepada tamu anak-anak, famili atau tetangga sebelah.

Untuk kebutuhan bagi-bagi "angpao" itu, orang biasanya tidak sempat bila harus antri di loket penukaran uang yang ada di Bank. Karena itu, jasa para calo penukaran uang tersebut relatif dibutuhkan. Inilah salah satu peluang bisnis sekaligus pernik Ramadan yang barangkali hanya ada di Indonesia.

Masalahnya adalah apakah penukaran uang rupiah yang tidak sama nilainya itu hukumnya halal ataukah haram? Mengingat, jika kita hendak menukar uang sebesar Rp 100.000,- maka kita harus membayar Rp 110.000 atau 120.000,- Artinya, dalam praktik transaksi ini ada kelebihan uang yang nilainya tidak sama. Bukankah itu riba, dan riba dalam perspektif hukum Islam sudah jelas-jelas haram?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) di beberapa daerah seperti MUI Kabupaten Jombang, Jawa Timur, telah menfatwakan bahwa sistem penukaran uang semacam itu adalah haram dan dilarang agama. Keharaman ini terletak pada aspek riba atau kelebihan nilai uang dalam transaksi tukar-menukar yang tidak sepadan nilainya sehingga ada pihak yang dirugikan.

Dalam pandangan orang awam, bisnis seperti ini mungkin saja sudah dianggap hal yang lumrah dan wajar. Bahkan, orang-orang di pasar tradisional juga ramai memakai jasa tersebut. Mereka tidak merasa dirugikan dan merasa ridha atau rela membayar kelebihan uang senilai 10 atau 20 ribu (10%) dari setiap penukaran 100 atau 200 ribu. Menurut mereka, praktik itu adalah wajar, toh pelanggan merasa puas dan kelebihan itu dianggap sebagai ongkos jasa antri uang bagi si penjual atau si calo penukaran uang.

Pemahaman semacam ini, jika tidak diluruskan akan mengakibatkan kesesatan dalam memahami agama. Bukan itu saja, praktik ini jika tidak dicegah, maka akan merugikan umat dan merusak sistem ekonomi. Bukankah Allah telah menegaskan dalam al-Quran (al-Baqarah ayat 275) bahwa ba'i (jual-beli) tidak sama dengan riba (renten)? Bai' hukumnya halal dan riba hukumnya haram. Bahkan, Allah mengancam akan memusnahkan harta hasil riba (QS. Al-Baqarah ayat 276) dan pelakunya disebut sebagai orang kafir yang kelak akan disiksa dengan siksaan yang teramat pedih (QS. An-Nisa’ ayat 161)

"Mereka mengira jual-beli itu sama dengan riba...", demikian penjelasan al-Quran (al-Baqarah ayat 275) yang ternyata perkiraan itu telah menjadi semacam mindset atau pola pikir umat yang keliru. Dalam fiqih muamalat, harus dibedakan antara jual-beli dengan tukar menukar. Kalau kita memiliki uang dalam nilai rupiah dan ingin "menukar"nya dengan uang dolar, misalnya, maka transaksi yang umumnya digunakan adalah jual-beli, bukan tukar-menukar. Sebab, nilai kursnya tidak sama dan mata uangnya pun berlainan. Karena itu, dalam hal seperti ini hukumnya boleh atau halal. Mengapa? Sebab beda jenis mata uang dan juga nilainya.

Lain halnya dengan "penukaran" uang rupiah dengan rupiah. Di sini tidak bisa memakai sistem jual-beli sebab nilai uangnya sama meskipun secara fisik yang satu cetakan baru dan bersih, sedangkan yang lain kotor dan lusuh. Bukankah nilai uang baru maupun lama itu sama nilainya? Sehingga, jelas di sini ada riba yang haram hukumnya.

Tidak bisa kita beralasan bahwa kelebihan uang yang 10% atau lebih itu sebagai ongkos jasa antri bagi si calo. Alasan semacam ini dinamakan "hilah", manipulasi atau akal-akalan terhadap hukum untuk menghalalkan yang haram. Dosa hilah justru lebih besar dan bahkan mengarah kepada syirik jika berani menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas haram!

Jika memang itu adalah uang jasa, mengapa mesti ditentukan nominalnya bahwa setiap penukaran 100.000 harus membayar 10% (110.000). Jika uangnya 1 juta, maka harus merogoh kocek 100 ribu sebagai ongkos riba? Mestinya, kalau uang kelebihan itu mau disebut ongkos jasa antri, maka cukup si calo menentukan ongkos jasa sebesar Rp 10.000 misalnya untuk setiap transaksi tanpa peduli berapapun besarnya nilai tukar uang tersebut.

Jadi, misalnya, kita tukar uang 20 juta, maka kita pun mendapat uang  sebesar Rp. 20 juta juga. Sama nilainya, tidak lebih tidak kurang. Lalu, kita cukup membayar ongkos antri sesuai ketentuan, misalnya, sebesar 10 ribu. Jika kita menukar uang hanya 10 ribu, ongkosnya pun tetap sama, yakni 10 ribu rupiah.

Bila semacam ini praktiknya, maka uang tadi memang benar-benar murni ongkos jasa dan tidak ada hubungannya dengan nilai uang yang ditukarkan tersebut. Apakah tidak merugikan bagi si calo? Jelas tidak. Tidak ada yang dirugikan. Kalau jasa antri si calo tidak mau dibayar sebesar itu, yah tidak usah bisnis tukar-menukar uang. Toh, dia juga bebas menentukan jasa antrinya, misalnya, 50 ribu untuk tiap transaksi.

Dalam kaidah fiqih, disebutkan bahwa, al-ibadah manutun bin-niyyah wal mu'amalah manutun bil-'aqdi, ibadah itu tergantung niatnya, sedangkan mu'amalat tergantung pada akad transaksi.

Melihat fenomena tersebut yang mulai marak di beberapa kota, seharusnya pemerintah lebih peka dan berperan aktif mencegah terjadinya transaksi haram seperti itu. Pembiaran terhadap transaksi haram meski terlihat kecil dan remeh, maka sama saja Pemerintah membiarkan terjadinya penimpangan ekonomi dan praktik korupsi yang dibalut dengan transaksi riba.

Misalnya, dengan menggelar penukaran uang di pasar atau alun-alun kota dengan mobil keliling seperti yang pernah dilakukan Bank Indonesia di Jakarta. Hanya sayangnya, para calo juga ikut antri di situ. Akan lebih baik, jika bank-bank pemerintah di daerah juga melakukan hal yang sama. Bila perlu, dibangun posko penukaran uang di pasar-pasar tradisional atau di tempat-tempat umum yang mudah dijangkau masyarakat.

Operasi semacam itu selain mempermudah akses penukaran uang bagi masyarakat, juga mencegah percaloan dan praktik riba yang mulai mewabah. Di samping Pemerintah, tokoh-tokoh ulama juga harus berperan aktif mensosialisasikan haramnya praktik penukaran uang yang bertendensi riba' agar kesucian bulan Ramadan ini tidak tercemar oleh kemaksiatan dan kebobrokan ekonomi.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar