19 September 2011

Fiqih Ibu Rumah Tangga

 


Melihat pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT), sungguh luar biasa banyaknya. Mulai dari mencuci baju, belanja ke pasar, memasak, menyiapkan makanan, mengantar anak ke sekolah, membersihkan perabot rumah, bahkan hingga menguras bak mandi dan membersihkan lantai.

Belum lagi, jika IRT tidak memiliki pembantu, maka pekerjaan sehari-hari menjadi tanggung jawabnya sendiri. Di samping itu, bila di saat bersamaan sang ibu sedang hamil atau memiliki bayi, maka pekerjaan itu semakin bertambah seperti: mempersiapkan popok bayi, memandikan, menyusui, menidurkan dan sebagainya. Di tempat lain, ada pula ibu-ibu yang masih juga ikut bekerja membantu suami atau meniti karier pribadi. Jelas, pekerjaan rumah tangga juga kian berat dan bertumpuk.

Bisa dikatakan, hampir 24 jam, ibu rumah tangga tidak pernah berhenti bekerja. Bukan hanya mengurus anak-anaknya, tapi juga suaminya. Sehingga, pekerjaan itu menjadi tidak mudah. Meski demikian, ibu-ibu rumah tangga tampak "menikmati" tugasnya itu, walaupun ada pula yang mengeluh karena begitu berat dan banyak pekerjaannya.

Tidak lepas dari tanggung jawab tersebut, seorang ibu harus membekali diri dengan "ilmu fiqih" terutama yang terkait dengan bab thaharah atau kesucian. Hal ini sangat penting, sebab dalam keseharian, tugas-tugas IRT itu berkaitan erat dengan fiqih tentang bagaimana cara mencuci baju yang baik dan benar sehingga suci dari najis? bagaimana mensucikan lantai, perabot rumah, bak mandi dan sebagainya? apa najis itu, macam-macamnya dan cara mensucikannya?

Lalu, sudah benarkah cara mencuci makanan mentah yang dibeli? sudah tahukah ukuran bak mandi sebesar 2 qulah agar air tidak mudah berubah menjadi mutanajis? sudah sucikah baju-baju yang dicuci dengan mesin cuci, mengingat terkadang antara yang kotor tapi suci semuanya dicampur dengan baju kotor dan najis?

Dan, masih banyak lagi yang perlu dipertanyakan terkait dengan pekerjaan rumah tangga. Karena itu, bab thaharah (bersesuci) dalam ilmu fiqih menjadi prioritas pertama dan utama yang harus dimengerti, termasuk juga oleh ibu rumah tangga. Bagi ibu-ibu yang sebelum menikah pernah mondok di pesantren atau pernah belajar fiqih secara detail di sekolah atau madrasah, mungkin saja ilmu fiqih itu tidak lagi menjadi masalah serius sebab mereka telah memahaminya. Namun, bagi ibu-ibu muda yang tidak memiliki kesempatan belajar agama, jelas problem ini perlu diperhatikan secara serius.

Mengapa demikian? Jawabnya sederhana, agar supaya segala hal yang kita makan, kita tempati, kita pakai, kita sentuh, kita pergunakan di dalam rumah, semuanya bersih dan suci, bebas najis dan sehat lahir-batin. Sebab, boleh jadi karena ketidaktahuan tentang kesucian tempat tinggal dan pakaian, lalu shalat kita tidak sah akibat cara mencucinya tidak benar secara fiqih.

Begitu beratnya kita bekerja mencari nafkah, namun setelah kita bisa belanja dan membeli aneka makanan mentah yang akan kita masak di rumah, ternyata makanan yang lezat dan nikmat itu dalam pandangan fiqih masih najis akibat cara mensucikannya keliru. Bukankah hal semacam ini malah merugikan?

Oleh sebab itu, belajar fiqih rumah tangga bagi ibu-ibu adalah hal wajib, tidak peduli apakah pekerjaan rumah tangga sehari-hari ia kerjakan sendiri atau dikerjakan pembantu. Malahan, jika pekerjaan itu dilakukan pembantu yang juga tidak mengerti fiqih, maka konsekwensi lebih berat. Artinya, si ibu rumah tangga atau majikan berkewajiban mengajari pembantu tentang ilmu fiqih thaharah yang benar.

Melihat problem di atas yang tampaknya remeh tapi secara substansi agama sangat penting, maka bagi kepala keluarga -dalam hal ini suami- harus mengajari isteri dan juga pembantu di rumahnya. Bahkan, semua orang yang ada di rumah tersebut harus diberi pelajaran agama yang cukup supaya semuanya bisa menjalankan aktifitas sehari-hari dengan baik dan benar.

Jika kepala rumah tangga juga tidak memiliki kapasitas keilmuan yang memadai, maka seharusnya ia memimpin semua anggota keluarga untuk belajar atau mengaji kepada para ulama. Bukankah di masjid atau mushalla yang ada di kampung juga kerap diselenggarakan pengajian rutin bagi masyarakat? Atau, bisa juga dengan cara mendatangkan guru privat, membelikan buku-buku fiqih terjemahan, dan sebagainya?

Sayangnya, pengajian rutin yang digelar di masjid atau mushalla perkampungan, kurang banyak direspon oleh kepala keluarga dan juga para ibu rumah tangga. Akibatnya, pengajian itu menjadi sepi dan akses untuk memperoleh ilmu fiqih kurang menjadi perhatian seluruh anggota keluarga.

Yang sering terjadi, masing-masing orang sibuk dengan urusannya sendiri. Ayah hanya bekerja siang-malam, anak-anak dituntut sekolah dan mengerjakan PR terus-terusan, sementara semua pekerjaan rumah diserahkan sepenuhnya kepada para pembantu yang tidak memahami fiqih yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga.

Fenomena tersebut menunjukkan betapa ilmu agama ini semakin hari semakin ditinggalkan pemeluknya. Dalam pandangan mata, semua tampak berjalan baik-baik saja, semua pekerjaan tuntas dan selesai, akan tetapi setelah dilihat dari pandangan ilmu fiqih, ternyata hasil pekerjaan itu berasal dari proses penerapan fiqih yang salah. Semua terlihat bersih dan rapi, tapi pada hakikatnya masih belum terlepas dari najis.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar