2 September 2011

Hanya Inikah Hari Raya?

 


Setelah kumandang takbir bersautan sepanjang malam Idul Fitri, setelah shalat dan mendengar khutbah di pagi yang cerah, umat Islam biasanya melanjutkan ritual lebaran dengan salam-salaman, saling silaturahim, dan bahkan kirim ucapan selamat melalui sms.

Bagi orang-orang yang berpuasa, Idul Fitri menjadi luapan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah memberinya Ramadan. Ia berharap, masih diberi kesempatan yang sama di tahun depan, mengingat masih banyak waktu-waktunya yang terbuang sia-sia dan tidak dimanfaatkan untuk ibadah secara maksimal.

Sedangkan bagi orang-orang yang sebelumnya pernah bertikai, Idul Fitri benar-benar menjadi momen untuk membuka lembaran baru dengan cara melupakan semua kesalahan yang pernah dilakukan dan bertekad memperbaiki hubungan vertikal dan sosial di masa yang akan datang. Karenanya, Idul Fitri suasana menjadi cair, indah dan penuh senyum. Ada kelegaan hati yang harganya sangat mahal.

Selain mereka yang telah berpuasa lalu bersyukur, selain mereka yang bersilaturrahim untuk mereformasi "hablum minannaas", maka Idul Fitri ini seakan justru menjadi ajang "peleburan pahala" dan "pengisian kembali dosa-dosa".

Mengapa demikian? Bagaimana tidak, jika Idul Fitri hanya diisi dengan memamerkan baju baru, meledakkan petasan, mengunjungi wahana wisata, berpacaran dengan lawan jenis, silaturrahim tapi menebar hasud dan iri hati, maka semua itu benar-benar mengancam kadar taqwa yang selama sebulan telah dibangun dalam madarasah Ramadan.

Jika Idul Fitri hanya disibukkan dengan arus-mudik dan arus balik, rekreasi dengan menghambur-hamburkan uang, saling pamer tampang dan kekayaan, atau kegiatan memperturutkan hawa nafsu setelah sebulan dikekang, maka sesungguhnya Idul Fitri bukan lagi menjadi puncak pencapaian manusia ke derajat taqwa. Tapi sebaliknya, ia laksana api yang membakar tumpukan jerami. Hanya dalam hitungan hari, kesucian kita sudah ternoda dengan dosa dan kebencian.

Dari sini, kita baru sadar, betapa mudahnya hawa nafsu dan setan membalikkan keadaan. Sebulan lamanya kita merasa dekat dengan agama, tapi nyatanya, hanya dalam satu-dua hari, kita pun kembali ke watak asli dan derajat kita yang rendah.

Buktinya, masjid kembali sepi dari jamaah, semangat shalat sunnah melemah, kesenangan dzikir berkurang, pengendalian diri menjadi hilang, kembali senang menggunjing, berbohong, khianat, dan kecintaan terhadap dunia juga makin menggila.

Bila demikian, maka tak salah jika lalu muncul sebuah kesan: "Hanya inilah Idul Fitri itu?" Jika tidak sekedar kulit, jika tidak sekedar rutinitas ritual dan sosial tahunan, maka buktikan bahwa hari raya ini benar-benar paling spesial dalam hidup kita dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar