19 November 2011

Berjuang Kok Bertengkar

 


Salah seorang ketua TPQ mendatangi saya. Dia bercerita, bahwa TPQ yang ia pimpin meski tergolong masih baru 2 tahunan berdiri tapi menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Indikasinya, jumlah santri yang kebanyakan terdiri dari anak-anak, makin hari makin banyak. Demikian juga jumlah guru, fasilitas belajar dan sarana pendukung kian bertambah.

Mendengar penuturan ini, saya sangat gembira. Apalagi, berjuang di bidang pendidikan dan di tengah-tengah kampung yang tingkat ekonomi masyarakatnya tertinggal serta minimnya perhatian orang tua, jelas merupakan perjuangan berat yang butuh pengorbanan.

Pada awalnya, menurut laporan kepala TPQ itu, semua tokoh masyarakat termasuk para sesepuhnya juga turut mendukung. Bahkan, mereka yang berasal dari generasi tua juga dilibatkan. Ada yang menjadi pembina, penasehat atau bahkan tenaga pengajar. Dalam acara-acara seremonial seperti wisuda, peringatan hari besar Islam, mereka juga dilibatkan. Istilahnya, di-wong-kan.

Akan tetapi, akhir-akhir ini, seiring dengan kian bertambahnya jumlah siswa dan sarana pendukung, lalu muncul problem. Entah darimana asalnya dan apa penyebabnya?

Problemnya, para generasi tua mulai bergerak untuk mengakuisi TPQ baru yang dikelola para pemuda tersebut. Kebijakan TPQ seperti menabung dan apapun yang terkait dana, juga mulai dipermasalahkan. Padahal, semua hal yang berhubungan dengan keuangan telah tercatat secara rapi dan dilaporkan kepada wali santri dengan transparan sehingga masalah akuntabilitas publik ini seharusnya tidak menjadi batu sandungan atau masalah yang dibesar-besarkan hingga mengarah kepada fitnah.

Alhasil, lalu muncul pengajian tandingan. Padahal, andaikan semua guru atau tokoh agama di kampung itu tetap bersatu dalam arti membesarkan TPQ yang ada secara bersama-sama, ke depan akan lahir sebuah lembaga yang berkualitas. Umat (baca: anak-anak) di kampung tidak bercerai-berai, demikian juga para gurunya. Sebab biasanya, model ngaji di kampung itu bersifat nomaden alias berpindah-pindah.

Jika seorang anak merasa jenuh atau bosan mengaji pada satu guru, ia akan pindah ke guru lain. Jika merasa kurang pas belajar di sebuah TPQ, pindah lagi ke TPQ baru yang lain meskipun belum lulus. Akhirnya, yang terjadi adalah pendidikan yang tidak tuntas. Masa belajar di waktu kecil yang teramat singkat dan mahal itu, hanya habis untuk petualangan berpindah-pindah TPQ yang orientasinya bukan untuk meningkatkan kualitas diri, tapi hanya sekedar mencari suasana baru.

Dengan kata lain, pertengkaran atasnama jihad di bidang pendidikan pada level menengah ke bawah, seharusnya tidak perlu terjadi. Hingga kapanpun, jika masing-masing pihak saling mementingkan egonya sendiri demi nama besar dan pengaruh yang tidak jelas, maka yang menjadi korban adalah generasi yang akan datang.

Seharusnya, dari kalangan generasi tua dan para sesepuh menyadari hal itu. Mereka harus memposisikan diri sebagai pengayom, pembimbing, penasehat dan bahkan, bila perlu menjadi "tameng" untuk mencounter segala tantangan dan hambatan. Mereka juga harus berpikir positif dengan memberi solusi atas segala permasalahan, bukan malah mencari kesalahan atau mengkambing hitamkan sesama pejuang pendidikan.

Sebaliknya, bagi kalangan muda yang enerjik dan berpikiran idealis, juga harus tetap menghormati para generasi sebelumnya. Sebab, bagaimanapun juga akhlaq kepada orang tua merupakan hal terpenting sebelum mereka yang statusnya sebagai guru mengajarkan akhlaq kepada anak didiknya.

Karena itu, pentas perselisihan dan pertengkaran yang kerap terjadi di kampung, di sebuah TPQ, majelis pengajian atau apapun namanya adalah merupakan tontonan paling tidak mendidik di mata para santri/murid dan masyarakat luas. Jadi, segera hentikan dan selesaikan dengan kepala dingin demi kemaslahatan di masa mendatang!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar