31 Januari 2012

Dana BOS Kok Ditolak

 


Anggaran 20% dari APBN yang dialokan Pemerintah RI untuk pendidikan jelas merupakan wujud kepedulian negara terhadap dunia pendidikan. Meski beberapa pihak menilai alokasi itu masih minim atau jauh dari harapan yang ideal, namun anggaran 20% sudah cukup menggembirakan. Sebab berbicara tentang kurang atau tidaknya dana, jelas tidak ada puasnya.

Dampak positif dari dana BOS itu adalah meringankan beban operasional pendidikan di sekolah, terutama di sekolah-sekolah swasta atau sekolah yang siswa-siswinya dihuni oleh anak-anak yang kurang mampu. Biaya bulanan gratis, ujian juga gratis, gaji guru meningkat, fasilitas sekolah lebih memadai, dan sebagainya.

Bagai oase di gurun sahara, dana BOS menjadi "senjata andalan" bagi pihak sekolah untuk tetap bertahan hidup dan beroperasi seiring dengan kebutuhan sehari-hari yang kian meningkat dan mahalnya harga-harga barang. Dengan dana BOS, beban orang tua menjadi lebih ringan dan nasib para guru juga kian lebih baik. Guru yang dulu sering dilabeli "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", kini dengan dana BOS dan juga gaji sertifikasi, guru berubah menjadi tenaga profesional alias pahlawan bayaran.

Meski demikian menggembirakan bantuan BOS itu, tapi anehnya, beberapa sekolah malah menolaknya. Sungguh aneh, memang. Banyak sekolah yang kembang-kempis bergembira ria, tapi di sisi lain, ada saja sekolah yang tidak mau dengan BOS.

Alasan pihak sekolah yang menolak lantaran kewajiban membuat laporan keuangan dirasa memberatkan, berbelit-belit, sulit dan sebagainya. Kalau ini alasannya, maka pada aspek birokrasi dan administrasi yang perlu dipermudah dan disederhanakan. Tugas guru yang begitu berat dalam mendidik para siswa, akan semakin berat dan ribet bila harus ditambah untuk membuat laporan keuangan yang perlu ketelitian dan dituntut transparan.

Selain alasan itu, yang lebih aneh lagi. Ternyata, penolakan dana itu juga didasari atas ketidak leluasaan pihak sekolah menarik pungutan, bila ada dana BOS. Aneh Bukan? Adanya dana BOS yang oleh masyarakat bisa dimaknai serba gratis, justru oleh pihak sekolah, dianggap sebagai belenggu. Apa maksudnya?

Sekolah-sekolah yang menyebut dirinya "maju" dengan indikasi "mahal", justru tidak mau menerima BOS. Mereka khawatir tidak bisa leluasa lagi dalam meminta dana-dana lain (baca: pungutan liar) kepada pihak wali murid. Bahkan, dengan berbagai argumen yang rasional, sekolah-sekolah itu berusaha meyakinkan bahwa "Dana BOS saja tidak cukup, jadi perlu sumbangan (baca: pungutan) lain dari pihak orang tua". Karena alasan inilah, maka tidak salah bila sekolah-sekolah favorit yang harganya selangit itu, masih tetap saja menerapkan biaya mahal. Lalu, apa konsekwensinya?

Jelas, sekolah maju dengan fasilitas yang memadai tersebut, lagi-lagi hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya. Sementara itu, anak-anak miskin tetap saja bersekolah di perkampungan yang kualitasnya pas-pasan karena semua biaya sudah gratis berkat bantuan BOS.

Selain itu, mimpi orang tua tentang pendidikan murah apalagi gratis, hanya akan tetap menjadi mimpi basah saat sekolah telah menerapkan manajemen bisnis. "Ada uang, ada barang. Barang berkualitas, pasti mahal". Kaidah ini yang ke depan akan merubah wajah sekolah menjadi pasar atau perusahaan.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar