12 Januari 2012

Taqlid, Why Not?

 


Dengan penuh semangat, beberapa kalangan menyuarakan bahwa taqlid itu haram. Menyuruh taqlid berarti sama dengan menyuruh masuk ke lubang kebodohan. Taqlid itu tidak mendidik manusia untuk berpikir bebas. Taqlid atau ikut-ikutan saja, berarti sama dengan membawa Islam ke era masa lalu dan tidak akan pernah maju.

Selain tudingan semisal di atas, masih banyak lagi suara-suara miring yang dihembuskan untuk mengikis budaya taqlid. Bersamaan dengan itu, mereka mengajak untuk "berani" berijtihad, kembali hanya kepada al-Quran dan as-Sunnah, mendorong umat untuk memurnikan ajaran Islam dari hal-hal yang mereka tuding sebagai bid'ah.

Lalu sebenarnya, apa sih taqlid itu? Bolehkah seseorang ber-taqlid? Jika boleh, siapa saja yang boleh bertaqlid? Dan, jika tidak boleh, mengapa tidak boleh dan siapa saja mereka?

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dipahami bahwa secara global, manusia terbagi menjadi 2 golongan; ada yang pintar (alim) dan ada yang tidak pintar (awam). Karena itu, sudah menjadi keniscayaan, bahwa yang tidak pintar dan tidak mengerti (awam) harus mengikuti dan belajar kepada yang telah mengerti dan pintar (alim). Inilah sunnatullah.

Dalam literatur fiqih, paling tidak, ada 2 istilah yang beredar. Pertama, taqlid, orang yang taqlid disebut "muqallid". Taqlid atau ikut-ikutan secara buta tanpa berusaha mengerti dalilnya disebut "taqlid 'ama" (taqlid buta). Sedangkan muqallid yang terus belajar untuk mengetahui dalil dari sebuah amalan, berarti telah keluar dari taqlid buta.  Tapi, tetap saja orang pintar yang ikut-ikutan orang yang lebih alim disebut muqallid. Sebab, dalam banyak hal, ia sendiri tidak mengetahui semua dasar hukum yang ia lakukan, tidak memproses dan tidak pula memproduk sebuah hukum terhadap masalah baru yang ia temui.

Yang kedua, ijtihad, orang yang berijtihad dinamakan "mujtahid". Mujtahid Mutlaq seperti Imam Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali adalah para mujtahid yang diakui kehebatannya. Dengan penuh ijtihad (kesungguhan), mereka telah berusaha menggali dasar hukumnya, memproses hingga memproduk sebuah hukum dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki sehingga para imam mujtahid itu mampu melahirkan madzhab. Di bawah mereka, seperti Imam Nawawi, Ibnu Hazm, dan lain-lain masih disebut "mujtahid madzhab" karena yang bersangkutan, meski kapabel dan memiliki kapasitas yang mumpuni, masih lebih "tenang" mengikuti madzhab atau pendapat para mujtahid mutlaq.

Itulah klasifikasi umum seputar taqlid dan mujtahid. Lalu, apa definisi taqlid itu sendiri?

Menurut para ulama, salah satunya Dr. Said Ramadan al-Buthi, taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalil dan keshahihannya, meskipun yang ikut itu tergolong orang alim. Orang alim atau pintar yang belum sampai ke tingkatan mujtahid, ia tetap disebut "muqallid".

"Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka hukumnya seperti orang awam dalam hal berkewajiban bertaqlid" (Thayyib bin Abi Bakar, Mathlab al-Iqadz, hal. 87)

Jadi, tidak semua taqlid tercela. Yang tidak terpuji adalah taqlid buta (a'ma) bagi orang yang sebenarnya mampu, tapi ia menerima suatu pendapat dengan mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Lain lagi, dengan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid. Taqlid ini adalah taqlid yang terpuji, bahkan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada "memaksakan" diri untuk berijtihad, padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Sekali lagi, taqlid adalah sesuatu yang niscaya bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Kita, umat Islam saat ini, baik yang awam maupun yang terpelajar, bagaimanapun juga tidak mungkin menjadi mujtahid mutlaq menyamai para imam madzhab yang mu'tabarah (diakui). Sebab, setinggi apapun ilmu yang kita miliki, dalam banyak hal, ternyata kita masih ikut-ikutan dalil, pendapat, atau landasan hukum para ulama terdahulu.

Logikanya, seorang dokter yang spesialis sekalipun, saat ia usai memeriksa pasiennya, ia memberi resep obat yang secara instan bisa dibeli di toko-toko apotik. Artinya, si dokter itupun masih taqlid, walaupun ia mengerti tentang ilmu media. Ia tidak mencari sendiri rempah-rempah, bahan obat-obatan, hingga melakukan eksperimen sendiri untuk menghasilkan sebuah obat baru.

Satu contoh lagi, guru geografi ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, dia hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitiannya sendiri. Dan masih banyak fenomena taqlid lainnya.

Demikian juga dengan hal ibadah. Banyak hal yang kita lakukan tanpa mengerti dalilnya sebab kita bertaqlid, seperti: takbir mengangkat dengan mengangkat kedua tangan, mengucapkan amin secara keras pada saat shalat berjamaah, tatacara membersihkan najis, cara bertowaf di sekeliling Ka'bah, dan banyak lagi yang tidak mungkin disebut satu per satu.

Dengan kata lain, taqlid telah menjadi bagian dari hidup kita dan bagian dari aktifitas ibadah yang kita lakukan. So, bagi orang awam yang tidak mampu belajar agama secara detail, jelas ia lebih baik dan lebih aman untuk bertaqlid kepada pendapat para ulama yang mengerti tentang agama. "Bertanyalah kepada yang ahli, bila kalian tidak tahu", demikian perintah Allah (Qs Al-Anbiya':7).

Karena itu, pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa taqlid itu haram, sebenarnya ditujukan kepada orang alim yang mampu berijtihad. Bukan kepada kaum muslimin kebanyakan.

So, bertaqlid... Why Not?

Tidak ada komentar:
Tulis komentar