11 Februari 2012

Kue Kering Pak Tua

 


Pagi itu, sebelum matahari terbit, ketika udara masih terasa segar, Pak Tua telah mengeluarkan sebuah gerobak dari dalam rumah bambunya. Gerobak itu tampak lusuh karena catnya telah lama mengelupas. Tapi, kecintaan Pak Tua terhadap gerobak kayu itu begitu mendalam. Sebab, gerobak itu adalah teman dalam perjalanan mengais rizeki.

Selepas dhuha, Pak Tua mulai mendorong gerobak kosong menuju pasar. Tubuhnya yang renta seakan ikut terseret roda gerobak yang berputar menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Langkah demi langkah, tubuh renta itu seakan merayap melawan kerasnya kehidupan. Sendiri, ditinggal pergi oleh anak-anaknya yang ikut suami mereka. Isteri yang dicintainya, telah lama menantinya di surga. Yah, demi cinta, demi amanah bernama hidup, Pak Tua terus bertahan entah sampai kapan.

Setibanya di pasar, seperti biasa, gerobak itu diparkir di pinggir jalan. “Toh, tak mungkin ada yang mau mengambilnya”, begitu pikir Pak Tua. Pria sebatang kara itu lalu masuk ke dalam keramaian pasar. Tujuannya adalah toko penjual kue kering. Yah, ia hendak membeli beberapa jenis kue kering yang jadi dagangannya. Kue-kue itu, seperti yang telah lama ia lakukan, akan dijualnya dengan cara berkeliling dari sekolah ke sekolah, dari ke kampung ke kampung yang lain.

Setelah ia puas memilih kue-kue kering yang telah terbungkus plastik, Pak Tua itu segera mengambil bungkusan kain yang ia simpan di saku celana. Sambil berharap cemas karena khawatir uangnya tidak cukup, Pak Tua kembali menghitung modalnya. Tak banyak memang, sekitar 100 sampai 150 ribuan. Namun, uang segitu baginya sudah cukup menopang hidupnya tanpa harus meminta-minta.

Setelah transaksi usai, kue-kue itu diikat lalu diangkatnya menuju gerobak tua yang setia menunggu di pinggir jalan. Jari-jemari tangannya yang berkeriput, dengan pelan dan pasti, mulai menata kue-kue kering secara rapi agar menarik minat pembeli. Setelah dirasa cukup, ia beralih ke bagian belakang gerobak dan bersiap untuk mendorongnya sekuat tenaga. “Bismillah”, katanya, pelan.

"Kue, kue..... Kue, kue....", suara Pak Tua, menjajakan dagangannya. Karena digerogoti usia, suara itu tidak begitu terdengar keras. Banyak orang yang hanya melihatnya, lalu mereka menggelengkan kepala, tanda tidak berminat membeli kue dagangan Pak Tua. Namun, Pak Tua tak patah semangat, ia terus saja berjalan.

Ketika hendak menyebarang jalan raya, lama sekali Pak Tua itu berhenti di trotoar karena lalu lalang kendaraan bermotor yang memadati kota, begitu padat, macet, semuanya tak mau mengalah. Sanggupkah gerobak tua itu bersaing dengan kendaraan bermotor yang lebih cepat dan kuat? Pak Tua ingin membuktikannya.

Tapi, apa daya?  Pak Tua itu tak jadi menerjang jalan raya. Ia merasa tak lagi mampu melawan arus. Kemauannya memang keras, tapi ia sadar, semua ada waktunya. Mungkin, inilah saatnya ia tak lagi harus memaksakan diri. Akhirnya, Pak Tua itu memilih menyusui gang-gang kecil di tengah perkampungan dan memasuki pemukiman padat penduduk.

“Kue, kue, Pak!”, panggil seorang ibu. Pak Tua itu bingung mencari darimana datangnya suara yang telah sejak tadi ia nantikan. “Kue, Pak, berhenti!”, hardik ibu itu, lagi.

Pak Tua menghentikan langkahnya, diikuti roda gerobak yang diam sembari berdebar menunggu apakah yang akan terjadi?

Tiba-tiba, salah seorang ibu muda menghampiri Pak Tua dan gerobak antiknya. Tanpa diminta, ibu muda itu mulai memegang satu demi satu kue-kue kering yang terbungkus plastik. Tampaknya, ibu itu sedang mencari kue kegemarannya.

"Pak, berapa sebungkus?", tanya si ibu. "Murah, Bu. 2500 saja", jawab Pak Tua, pelan. "Boleh Ngak, 2000 rupiah", tawar Ibu itu. "Labanya nipis, Bu. Saya cuma dapat 500 perak", kata Pak Tua, jujur. "Ya sudah, kalo tidak boleh. Mending di Supermarket aja, murah!", ketus Ibu itu, lantas pergi tanpa menoleh lagi.

"Alhamdulillah, daganganku masih ada yang lihat meski tidak dibeli", gumam Pak Tua dalam hati sambil melanjutkan perjalanannya mengais rizeki. Entah berapa bungkus kue yang laku setiap hari. Yang jelas, kebanyakan calon pembelinya masih menawar dengan harga yang dipatok Pak Tua. Demi laba sebesar Rp 500,- terpaut dengan harga kue di etalase Mall, ternyata untuk mendapatkannya perlu perjuangan berat sejak pagi dan perjalanan jauh hingga kaki terasa hendak patah.

Pak Tua itu harus berjuang mati-matian saat transaksi tawar-menawar dengan pelanggannya yang kebanyakan ibu-ibu. Ironisnya, saat para ibu itu belanja di supermarket, alfamart, indomarket, matahari mall, tidak sedikit pun mereka memiliki keberanian untuk menawar harga yang dipatok toko, meski hanya Rp 1,-


Pak tua sudahlah
Engkau sudah terlihat lelah oh ya
Pak tua sudahlah
Kami mampu untuk bekerja oh ya

Diluar banyak angin

Visit my web
www.taufiq.net

Tidak ada komentar:
Tulis komentar