29 Maret 2012

Setan BBM

 


Konon, ada sebuah desa bernama Indonesial. Desa yang dikenal gemah ripah loh jinawi. Hutannya rimbun, sawah dan ladangnya luas, sungainya panjang terhampar, udaranya masih sejuk. Ini penuturan kepala desa berdasarkan buku sejarah tentang desa bernama Indonesial.

Dulu, penduduknya dikenal ramah, suka gotong royong, toleran, dan sifat yang paling menonjol adalah tahan menderita. Boleh jadi, ketahanan ini karena mereka pernah lama dijajah warga dari berbagai kota besar yang rakus sehingga mereka kuat menderita dan hidup apa adanya.

Tapi, itu dulu saat mereka baru merdeka, saat mereka belum banyak yang tahu nikmatnya menjajah teman sendiri, saat mereka belum mengerti bagaimana caranya hidup mewah secara instant, meski harus hutang.

Kini, penduduk desa itu telah berubah, sok kekota-kotaan, sok gaul, sok kaya. Yang penting citra, tak peduli apa kata orang, tak mau peduli entah masa depan anak-anaknya kelak cerah ataukah celaka? Yang penting, bagaimana caranya menjadi tuan tanah, menanam ranjau dimana-mana?. Itu saja!

Kini, mereka tidak tahu lagi bedanya antara penjajahan dengan investasi asing. Pokoknya, bagaimana caranya menarik investor dari kota sebanyak-banyaknya agar para cukong mau merampok kekayaan desa sebebas-bebasnya yang dikoordinir para aparat desa atasnama kesejahteraan bersama.

Akhirnya, sawah-sawah warga dibeli dan diubah menjadi pabrik yang limbahnya dibuang di selokan desa. Akhirnya, para buruh disawah diangkat menjadi buruh pabrik. "Daripada membajak di sawah mulai pagi sampai sore dan hanya mengandalkan hasil panen, lebih enak gajian tiap bulan, tidak beresiko". Begitu pikir orang-orang polos itu.

Ladang-ladang diubah menjadi hotel, villa, perumahan mewah, mall, tempat pariwisata yang kebanyakan milik orang kota, atau milik penduduk desa tapi uangnya dihutangi oleh orang kota. Akhirnya, penduduk asli desa tergusur, hidup di rumah-rumah reot di pinggir sungai, sempit, kumuh dan berdesak-desakan mulai kakek sampai cucu.

Biasanya, mereka naik angkot, sepeda pancal, pedati atau bahkan jalan kaki. Tapi, karena kebutuhan transportasi, para pejabat desa akhirnya mendatangkan mobil dan motor dari kota. Bahkan, mereka mentargetkan ratusan ribu kendaraan bisa dibeli warga desa di setiap tahun. Tak perlu menabung lama-lama untuk punya motor, cukup dengan jaminan sawah dan uang muka beberapa receh, mereka bisa membawa pulang motor dan mobil yang baru nan mewah.

Akibatnya, jalanan desa menjadi macet. Memang, ada yang sudah diaspal, tapi aspalnya juga diproyek asal-asalan sehingga cepat rusak. Dulu, kalau mau ke sawah, mereka cukup jalan kaki, tapi kini harus naik motor. Tidak cukup itu saja, bila perlu bawa hape keluaran terbaru. Hebat!

Begitu banyaknya motor dan mobil di desa, padahal kendaraan mereka itu butuh bensin, maka dibangunlah SPBU di penjuru desa. Penjualan bensin dan minyak ini dibawah komando perangkat desa bernama Pertamina.

Akhirnya, kebutuhan pokok warga desa bukan hanya nasi jagung, iwak peyek, jangan lodeh, atau urap-urap saja, tapi mereka juga butuh bensin, solar dan oli. Lalu, dicarilah sumur-sumur di seluruh penjuru desa untuk mencari sumber minyak, di samping juga sumber air bersih dan sumber-sumber lainnya yang bisa diperdagangkan.

Beberapa memang ditemukan oleh orang dusun. Tapi, karena semua hasil bumi telah disepakati menjadi milik desa, mereka pun ngalah. Terpaksa, sumur itu lalu diurus para perangkat desa. Eh, dasar bodoh, sebagian sumur dan tambang malah disewakan kepada orang kota. Pikir mereka, "Daripada menggali dan mengolah sendiri mulai dari mentah sampai matang, lebih enak disewakan saja ke cukong, terima jadi, beres".

Karena hasil sumur tidak cukup memenuhi kebutuhan motor dan mobil warga, jelas perlu "kulakan" dari luar desa. Perangkat desa dan pertamina, mau tidak mau, harus membeli ke kota yang harganya jelas mahal, mengikuti harga pasar yang berlaku di mall-mall kota.

Anehnya, meski mewakili seluruh penduduk kota yang jumlahnya 230 juta jiwa, para pejabat desa itu tidak berani menawar harga minyak di pasar kota. Padahal, biasanya, kalau beli banyak dapat diskon. Tapi ini tidak. Harus ikut harga pasar.

Ada sih yang bertanya, "Kok tidak berani tawar-menawar ya, padahal kan kita langganan, apalagi kita kan pangsa pasar yang lumayan besar?", tanya Bang Toyib.

"Wah, makanya sampeyan pulang dong, biar ngerti. Gimana kita berani nawar, kalau belum-belum udah ditagih hutang? Makanya, nyerah saja!"

"Tapi, kok, harganya segitu tinggi? Kadang turun, tapi paling sering naik. Kalau turun, senang, kalau naik, demo dimana-mana. Mengapa bisa naik-turun kayak hubungan seks saja? Apa naiknya harga minyak ini karena permintaan bertambah banyak?", tanya Toyib.

"Wah, meski jorok, tapi sampeyan kritis juga. Sebenarnya, menurut pelajaran ekonomi, omongan sampeyan itu, benar. Kalau kebutuhan meningkat, tapi barangnya langka, maka harganya jadi mahal, betulkan?", jawab Somad.

"Tapi, apa memang barang BBM itu sudah langka?"

"Ngak sih, tapi agak seret, karena kota-kota penghasil minyak, diserang, difitnah, dijajah dan ladangnya direbut paksa oleh kota -kota metropolitan atasnama demokrazi".

"Benar-benar biadab! Maling! Tapi, adakah sebab lain yang membuat minyak jadi mahal?"

"Ada, Mas. Mereka itu hantu, setan, tak berwujud, tapi bisa mempermainkan harga-harga minyak di kota", jawab Somad sambil mengisap rokok kretek buatan kakeknya.

"Hantu? Setan? Siapa namanya?", tanya Toyib, keheranan. Kok bisa ada dedemit suka bensin, padahal biasanya, menghisap darah.

"Namanya, Setan Spekulan. Kerjanya, cuma lihat daftar harga di pasar sambil mengamati kebutuhan pelanggan dan stok barang. Katanya sih, uangnya banyak, disimpan di bank, berbunga-bunga hingga dengan bunganya saja bisa beli apa saja yang dia mau".

"Kok, enak! Ajari dong caranya!", rayu Toyib yang mulai berpikiran kotor sekotor badannya yang ngak pernah mandi karena jarang pulang.

"Setan itu sebenarnya tidak minum bensin, tetap menghisap darah. Mereka itu memborong bensin sebanyak-banyaknya saat harga murah, nanti kalau harga naik, baru dijual"

"Wah..wah...wah, itu sih bukan setan, tapi pemborong dan penimbun"

"Benar, tapi anehnya, mereka memborong bukan karena kebutuhan, tapi demi keuntungan. Mereka bukan atasnama kota, tapi pribadi-pribadi atau kelompok yang sulit dilacak karena mereka gaib. Mereka tak perlu membawa bensin yang telah dibeli ke rumahnya, karena beresiko. Cukup dititipkan di gurun sahara. Ditimbun hingga kebutuhan meningkat dan barang langka. Barulah setelah itu, mereka mempermainkan harga seenak-enaknya".

"Benar-benar maling kelas kakap melebihi setan!", umpat Toyib yang siap demo di kantor desa.

Inilah percakapan warga desa Indonesial yang mudah dibohongi atasnama kesejahteraan. Mereka mudah senang ditawari produk baru hingga kecanduan hingga semuanya terasa menjadi kebutuhan. Setelah itu, tanpa terasa, mereka diperbudak setan.

Desa yang dulu permai itu lalu menjadi permainan. Penduduknya yang dulu produktif menghasilkan berbagai jenis hasil panen, kini cuma bisa menjadi konsumen. Semuanya, lebih enak beli dari kota seperti beras, jagung, kelapa sawit dan banyak lagi, daripada menanam dan memproduksi sendiri.

"Daripada beli pupuk mahal, kerja berat, lalu setelah panen raya tiba, harganya jadi murah, lebih enak, beli aja dari luar kota. Lebih murah, lebih baik dan tidak ribet", kata mereka.

Supaya warga desa tidak marah, tiap malam dihibur konser dangdut, sinetron cinta dan acara-acara tv lainnya yang membuat mereka lupa jati dirinya.

Ingat, kisah ini adalah kisah sebuah desa bernama Indonesial, bukan negara Indonesia. Bedakan antara sial dan sia. Jika ada kemiripan, sama sekali kisah ini tidak bermaksud melecehkan. Tapi, hanya ingin mengingatkan, bahwa penduduk desa ini telah kesurupan massal. Kesurupan setan, “Setan BBM” alias Bos-Bos Maling!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar