15 Maret 2012

Term "Kafir, Bid'ah, Sesat"

 


Kata "kafir", "bid'ah" dan "sesat" (KBS) merupakan term agama yang akhir-akhirnya ini kerap muncul. Kehadiran kata-kata itu lebih banyak dipakai untuk menghakimi, mencap atau melabeli pihak lain yang "tidak sesuai" dengan keyakinan dan pemikiran yang bersangkutan.

Anehnya lagi, kata-kata KBS tadi sering muncul dari umat seagama untuk menghakimi sesama umatnya. Jelas sekali, kata "kafir, bid'ah, sesat" bisa dikategorikan kosakata yang bersifat provokatif karena mudahnya memantik reaksi. Pihak yang dicap KBS, sangat tidak terima dengan itu. Sebaliknya, pihak yang ngotot dengan KBS juga tidak mau kalah.

Di alam demokratis seperti saat ini, kran kebebasan berpikir dan berkeyakinan memang terbuka lebar bagi siapa saja untuk memilih sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya. Dan, hal ini merupakan sesuatu yang lumrah. Islam sendiri, dalam sebuah surah di al-Quran yang diberinama "Surah al-Kafiruun" pada akhir ayatnya menegaskan "Bagimu agamamu, bagiku agamaku".

Itu artinya, sikap memaksakan kehendak memang tidak dibenarkan. Apalagi, bila pemaksaan itu dibarengi aksi anarkis dan main hakim sendiri. Selain melanggar hukum, cara-cara kasar semacam ini malah kontra-produktif dan mencoreng "ajaran agama" itu sendiri.

Kata-kata seperti "kafir, bid'ah, sesat", bila dilihat dari aspek psikolinguistik, bisa digolongkan pada kata-kata yang menohok ke dalam jiwa. Ia dapat memancing emosi, baik bagi yang mengucapkan maupun yang mendengar, yang menulis dan juga yang membacanya.

Oleh karena itu, di saat kondisi sosial seperti saat ini sedang labil, akibat berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah, rakyat dan seluruh masyarakat di berbagai bidang, maka sudah seharusnya semua pihak menahan diri untuk tidak terburu-buru mengeluarkan statemen yang mengandung kata "kafir, bid'ah, sesat".

Terkadang, kalimat seperti "Katakan kebenaran, meski itu pahit", sering dijadikan "muqaddimah" untuk kemudian mengeluarkan jurus akhir yang lagi-lagi mengandung kata penghakiman "kafir, bid'ah, sesat"

Dalam perspektif linguistik, kata-kata "kafir, bid'ah dan sesat" serumpun dengan kata-kata seperti: setan, iblis, laknat, neraka, rusak, kotor, hitam". Bukankah kosakata semisalnya  ini mengerikan, menakutkan, menjauhkan dan juga membahayakan? Karenanya, sekali lagi, jangan sering diekspos menjadi konsumsi publik.

Apalagi, bila kata "kafir, bid'ah, sesat" tadi dibarengi kalimat seperti: "berantas kemungkaran", "jihad melawan kebatilan", "perang,hancurkan thaghut", maka KBS tadi akan meningkat menjadi lebih keras, lebih kasar dan lebih tajam.

Yang sungguh mengherankan, atau lebih tepatnya "menggelikan" adalah bahwa kata-kata "kafir, bid'ah, sesat" yang ada di beberapa situs internet atau buku-buku berotak keras, ternyata jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang ada di dalam kitab suci.

Temuan ini menunjukkan betapa rasa toleran yang dulu melekat pada masyarakat beragama di negara ini, kini sudah mulai luntur dan berubah menjadi sikap saling hujat, debat, dan permusuhan.

Andai, kata "kafir, sesat dan bid'ah" bisa ditekan dengan mengedepankan saling pengertian untuk menghormati perbedaan, maka yang lahir adalah sikap toleran dan kesadaran untuk bisa memahami kebenaran.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar