5 Juni 2012

Masjid Akad Nikah

 


Bolehkah masjid dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya akad nikah? Pertanyaan ini sering dilontarkan terkait banyaknya pasangan pengantin berijab-qobul di masjid. Apalagi, tayangan televisi juga kerap menyiarkan prosesi akad nikah para selebritis yang berlangsung di dalam masjid.

Menurut pendapat para orang tua dahulu, meski boleh, akan tetapi akan lebih baik bila akad nikah itu dilangsungkan di rumah calon mempelai putri. Salah satu alasannya, untuk menunjukkan bahwa semua keluarga calon mempelai putri "menerima" kehadiran keluarga pengantin putra. Selain itu, "penyerahan" kepada calon suami dari pihak wali (orang tua calon isteri) sebagai tuan rumah akan tampak "dominan" saat pernikahan itu berlangsung di rumahnya sendiri.

Bila pernikahan berlangsung di rumah calon mertua, menurut alasan mereka, untuk menunjukkan keseriusan, keberanian, ketulusan dan kecintaan dari pihak mempelai putra beserta keluarganya dalam meminta dan mempersunting calon pengantin putri. Sebab, dalam akad nikah ini, pada hakikatnya, calon suami sedang berposisi "di bawah" calon mertua atau keluarga pengantin putri.

Lalu, bagaimana menurut Islam? Bolehkah acara akad nikah berlangsung di dalam masjid?

Dalam agama, jelas posisi masjid lebih utama daripada rumah atau bangunan lainnya. Tapi, dalam hubungannya dengan acara akad nikah, tidak ada penjelasan yang menerangkan bahwa akad nikah di masjid lebih afdhol daripada di rumah. Juga, tidak ada keterangan tentang larangan akad nikah di dalam masjid.

Pada posisi semacam ini, berarti, akad nikah di masjid itu hukumnya "jawaz", boleh dan sah-sah saja. Asalkan, seluruh hadirin, terutama keluarga kedua mempelai dan takmir masjid sebagai penanggung jawab, semua berani menjamin terjaganya kehormatan masjid. Itu saja. Sebab, dalam hukum Islam, ditemukan banyak keterangan agar menghormati masjid, seperti: larangan mengotori masjid, larangan bermaksiat di dalamnya, dan sebagainya.

Apakah semua pihak yang terlibat dalam akad nikah di masjid memang benar-benar mengerti tatacara menghormati masjid? Inilah yang sesungguhnya patut dipertanyakan. Sebab, saat ini tatakrama menghormati masjid sudah banyak tidak diketahui umat Islam.

Misalnya, agama melarang perempuan yang sedang haid, masuk ke dalam masjid meskipun tidak mengotorinya. Wanita haid haram masuk masjid. Titik! Lantas, dengan berlangsungnya akad nikah di masjid yang dihadiri banyak undangan termasuk kaum wanita, apakah mereka semua suci, tidak sedang haid sehingga bebas keluar masuk masjid? Adakah jaminan ini?

Selain itu, kita melihat para undangan yang turut hadir dalam akad nikah di masjid, juga terbuka sebagian auratnya. Bukankah membuka aurat meski sedikit adalah maksiat dan hukumnya haram? Nah, jika hadirin dalam acara akad nikah di masjid itu membuka aurat, maka sama saja dengan membiarkan kemaksiatan dan merusak kehormatan masjid.

Perempuan hanya boleh membuka wajah saja dan kedua telapak tangannya, persis seperti saat shalat. Sementara itu, acara akad nikah yang kita saksikan di tayangan televisi atau di sekitar kita, tampak ada hadirin perempuan yang membuka auratnya, terlihat rambutnya, tangan dan kakinya, bahkan juga sebagian dadanya. Anehnya lagi, pengantin putri atau beberapa hadirin juga mengenakan kebaya atau baju dengan motif kain berlubang dan menerawang sehingga kulit tubuhnya bisa bebas dipandang mata oleh semua orang.

Fenomena semacam itu adalah bagian dari pelecehan terhadap masjid dan merusak kehormatannya sebagai rumah Allah. Jika kemaksiatan semacam ini terjadi, maka semua pihak harus bertanggung jawab.

Terlebih lagi, biasanya, akad nikah di masjid juga tidak menjamin antara hadirin putra dan putri berada di lokasi terpisah. Kebanyakan, mereka malah bebas bercampur baur antara laki-laki dan wanita yang bukan sesama muhrim. Sekali lagi, inipun bagian dari pelecehan terhadap kehormatan rumah Allah yang seharusnya steril dari berbagai bentuk maksiat dan keharaman.

Di beberapa masjid yang di sana dilangsungkan akad nikah, malah dihias sedemikian rupa dengan aneka bentuk dekorasi sehingga masjid berubah seperti gedung pernikahan. Rumah Allah yang seharusnya bernuasa agamis menjadi romantis, glamour, berlomba dan bersombong dalam kemewahan.

Belum lagi, bila ada orang non-muslim yang turut masuk ke masjid untuk menghadiri undangan akad nikah atau tujuan sekedar mempersiapkan prosesi acara itu.

Dalam ajaran agama Islam, haram hukumnya ada orang kafir masuk ke dalam masjid. Ketentuan ini tidak mudah terjamin dalam acara akad nikah yang dilangsungkan di masjid. Sebab, boleh jadi ada orang non-muslim ikut serta di sana, entah sebagai tamu undangan, wartawan, fotografer, kamerawan, dls.

Dengan mengukur antara sisi positif dan negatif di atas, maka akad nikah akan lebih terhindar dari keharaman, bila dilangsungkan di luar masjid. Namun, boleh saja akad nikah  tetap dilaksanakan di dalam masjid, asalkan dengan catatan, semua pihak sudah mengerti tatacara menghormati rumah Allah, tidak boleh melanggar ketentuan syariat dan menjamin masjid steril dari unsur maksiat dan keharaman.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar