18 Juli 2012

Bangku Terdepan

 


Ada kebiasaan yang unik pada setiap hari pertama masuk sekolah. Orang tua siswa rela antri sejak pagi, bahkan sebelum pintu gerbang sekolah dibuka, hanya untuk berebut bangku terdepan untuk anaknya yang masuk sekolah di hari pertama.

Kebiasaan itu tampaknya sudah mewabah. Beberapa stasiun tv swasta pun memberitakan hal itu. Terlihat, ada yang antri sejak subuh, ketika hari masih gelap, mereka bersama anak-anaknya "bertapa" di pintu gerbang sekolah. Sampai-sampai, ada anaknya yang masuk angin karena belum sempat sarapan sudah dipaksa antri oleh orang tuanya.

Benar-benar hari pertama yang menyakitkan bagi sang anak! Kira-kira demikian yang ada di lubuk hati sang anak. Ekspektasi orang tua yang berlebihan dan model pembelajaran tradisionalis adalah pemicu kebiasaan antri di hari pertama sekolah.

Orang tua mungkin tidak menyadari bahwa hal  seperti tersebut tidak selalu disukai oleh anaknya. Disamping itu, tidak ada jaminan bahwa anak yang duduk di bangku terdepan, prestasinya akan lebih baik dari yang duduk di belakang. Asal anak bisa enjoy belajar dan senang sekolah, maka duduk di sof mana saja, bukan masalah.

Jadi, mestinya motivasi belajar yang berkelanjutan yang wajib dikedepankan. Sebab, yang sering terjadi, orang tua siswa hanya perhatian dengan posisi duduk anaknya, namun selanjutnya justru tidak mau tahu dengan grafik prestasi, tugas belajar, kewajiban PR, yang kesemuanya itu lebih membutuhkan dampingan dan bimbingan orang tua. Tidak sekedar hari pertama, lalu kemudian buyar, tidak tahu menahu lagi.

Fenomena ini, seharusnya juga menjadi pelajaran bagi pihak sekolah, terutama para guru agar tidak lagi menerapkan model tradisional. Yakni, posisi duduk siswa terus menetap seperti hari pertama hingga nanti di akhir semester. Mestinya, guru melakukan rolling dengan mengubah-ubah posisi duduk anak didiknya. Bisa seminggu sekali, atau bahkan tiap hari.

Model tradisionalis itu harus segera ditinggalkan. Anak yang duduknya menetap dengan teman yang sama selama setahun atau bahkan selama duduk di bangku SD, maka secara tidak langsung menanamkan pendidikan yang stagnan, tidak ada perubahan, tidak variatif, kurang menghidupkan jiwa sosial di antara para siswa, dan banyak hal lain sebagai dampak negatif dari model belajar kuno tersebut.

Guru bisa juga mengubah posisi bangku di kelas seperti melingkar yang terdiri hanya dua baris, atau bisa juga bangku ditata secara berkelompok seperti di sekolah TK, dan masih banyak lagi model lain yang dianjurkan para ahli strategi pembelajaran.

Dengan perubahan ini, sistem pendidikan akan menjadi lebih baik dan tidak "mandeg". Selain itu, fenomena rebutan bangku terdepan di hari pertama bisa dihentikan. Sekolah harus mensosialisasikan hal ini kepada orang tua murid agar mereka tidak berebut dan tidak perlu antri setengah mati.

Kasihanilah anak-anak yang baru masuk sekolah, jiwanya sudah "terjajah" sebelum perang yang sesungguhnya. Mereka telah dipaksa dan dicekoki rasa benci terhadap belajar di sekolah karena menyaksikan begitu kerasnya hidup.

Sekali lagi, hal ini sama saja dengan menanamkan kebencian bersekolah, bahwa sekolah itu tidak menyenangkan, banyak tuntutan, sengsara, harus berebut, perlu arogansi agar bisa menang, dan sebagainya. Mungkin saja ada berpendapat, fenomena itu bagian dari kompetisi. Namun, yang perlu dicamkan, kompetisi semacam ini bukanlah kompetisi yang sehat, tapi menyakitkan jiwa anak bangsa.

Jika nilai-nilai kebencian, kegalauan, stress dan lain sebagainya itu sudah tertanam di hari pertama masuk sekolah, maka sekolah tak ubahnya hanya akan menjadi camp penjara, bukan lagi taman belajar yang menyenangkan untuk menuntut ilmu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar