6 September 2012

Al-Hushary Idola Kiai Basori

 


Dalam acara "Halal Bi Halal", Ahad, 2 September 2012 lalu, Murabbi Arwahina, KH Basori Alwi kembali menyebut nama idola beliau di bidang tilawah al-Quran. Yakni, Syekh Mahmud Kholil al-Hushary. Acara yang digelar di ndalem Gus Anas Basori ini dihadiri alumni PIQ Malang Raya dan akan diselenggarakan di tempat yang sama tiap bulan Syawal.

Pada kesempatan mauidhah hasanah, setelah Kiai mendengar pembacaan ayat-ayat suci al-Quran, beliau seperti mengenang masa lalu. Pasalnya, ayat-ayat yang dibacakan itu adalah ayat-ayat favorit yang dahulu sering Kiai kumandangkan dan ajarkan di beberapa tempat. Karenanya, tak heran bila beliau kembali mengenang Sang Maestro Tilawah asal Mesir, Syekh Mahmud al-Hushary yang sangat beliau idolakan.

Kiai mengaku bersyukur pernah bertemu dan bahkan bertamu ke rumah Syekh Mahmud al-Hushary. Kenangan itu menjadi bagian terindah dalam perjalanan hidup beliau, terutama di bidang tilawah al-Quran. Sebab, di saat Kiai berkunjung ke rumah Syekh Mahmud al-Hushary, Kiai sempat mentashihkan bacaannya kepada sang idola.

Ketika itu, Kiai membacakan surah al-Fatihah lengkap di depan Syekh Mahmud. Usai membaca, Syekh Mahmud berkomentar, "Jayyid, bacaan yang bagus dan benar". "Saya mohon ijazah dari Syekh", ujar Kiai. "Ajaztukum", kata Syekh Mahmud yang langsung dijawab oleh Kiai Basori, "Qobiltu ijazatakum, saya terima ijazah Syekh".

Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah singkat Kiai Basori bersama idolanya, Syekh Mahmud al-Husary.

Salah satu pelajarannya adalah bahwa Kiai mengajarkan, sesungguhnya belajar sebuah ilmu harus dari ahlinya. Belajar al-Quran semestinya kepada Ahli al-Quran, belajar fiqih juga harus kepada ulama yg faqih, belajar ilmu falaq harus pula kepada yang mengerti ilmu falaq dan astronomi, demikian juga belajar ilmu-ilmu lainnya.

Ibnu Sirin pernah berkata, "Inna hadza al-ilma diinun, fandzuruu 'amman ta'khuduna diinakum", sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah lebih dulu kepada siapa kalian mengambil atau belajar tentang agama kalian. Pernyataan ini berhubungan erat dengan peringatan Nabi Muhammad saw, "Jika sebuah urusan telah diemban oleh orang yang bukan ahlinya, maka nantikanlah datangnya kiamat".

Dengan kata lain, bila kita belajar sebuah ilmu kepada orang yang tidak profesional di bidangnya, apalagi kredibilitasnya masih diragukan dan belum diketahui secara menyakinkan, maka sebenarnya kita sedang menunggu kiamat alias belajar tentang kegagalan.

Karena itu, sangat boleh jadi, kegagalan yang saat ini banyak dialami oleh lembaga pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, salah satu faktor penyebabnya adalah karena peserta didiknya diajari oleh mereka yang tidak ahli di bidangnya. Guru yang memiliki keahlian setengah-setengah juga akan melahirkan murid yang setengah jadi. Meski sang murid pandai, paling-paling hanya jadi "setengah matang".

Pesan intrinsik di balik kisah Kiai adalah sebuah himbauan bahwa Alumnus PIQ yang notabene-nya telah digembleng dengan ilmu-ilmu al-Quran, terutama di bidang tilawah bit-tartil dan tajwid, hendaknya menzakati ilmunya dengan cara mengajarkan dan mendakwah tilawah al-Quran yang tepat dan benar. Sebab, jebolan PIQ diharapkan oleh Kiai menjadi ujung tombak perjuangan al-Quran.

Bila boleh disederhanakan, saya bahasakan, "Jika bukan alumni PIQ, siapa lagi?" Artinya, kita sebagai generasi qurani memiliki tanggungjawab besar terhadap masa depan pendidikan tilawah al-Quran. Mengajarkan al-Quran, bisa melalui lembaga formal, informal maupun non-formal. Bisa di sekolah, kampus, madrasah, TPQ, majelis taklim, dan sebagainya.

Selain mengajar, bisa pula mendakwahkan pentingnya belajar tilawah al-Quran melalui mimbar Jumat, tulisan, artikel, diskusi, seminar, workshop, dan sebagainya. Bisa pula dengan memberi uswah atau teladan yang benar dengan menjadi imam shalat, pemimpin tahlil, qasidah, qiraah bil-ghina dan dalam berbagai kesempatan dengan memanfatkan aneka media, baik tradisional maupun modern.

Dengan mengajarkan, mendakwahkan dan mengamalkan tilawah al-Quran yang benar, secara langsung maupun tidak langsung, para generasi qur'ani berarti ikut mewujudkan cita-cita besar murabbir ruuh, KH Basori Alwi.

Karena itu, tak heran bila pada acara "Halal bi Halal" tersebut beliau berharap, "Saya ingin ketika nanti saya di dalam kubur, saya bisa mendengar semua alumni PIQ (baca: Generasi Qurani) membaca, belajar dan mengajarkan al-Quran seperti yang telah dipelajari di pesantren. Keinginan saya ini karena saat ini saya pun mendengar dan melihat bagaimana qiraah ala Syekh Mahmud al-Husary diperdengarkan dimana-mana seakan-akan beliau masih hidup".

Allah berfirman, "....Jangan kalian kira mereka gugur di jalan Allah telah meninggal dunia , justru mereka masih hidup, di sisi Allah, mereka tetap mendapat rizeki" (QS. 3:169). "Tidak sama antara orang yang hidup dan orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar" (QS 35:22)

Artinya, bila kita ingin Kiai terus berada di tengah-tengah kita, maka apa yang telah beliau ajarkan, wajib kita amalkan. Apa yang Kiai wariskan dan wasiatkan untuk menzakati ilmu, harus pula kita laksanakan hingga kita pun dapat mewarisi cita-cita besar beliau.

Dan, bila kita ingin terus hidup di sisi Allah, maka memperjuangkan al-Quran adalah salah satu kuncinya.

Terima Kasih, Kiai, semoga kita bersama Allah, hidup dalam ridha-Nya untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar