19 November 2012

Paklik Syadzili, Guru Ngaji

 


Sabtu, 17 Nopember 2012 lalu, untuk kedua kalinya saya bertemu Ustadz Syadzili. Dua tahun lalu, 2010, sepulang saya dari ibadah haji, beliau juga berziarah ke rumah saya. Melihat wajah Paklik Syadzili yang bersih dan bercahaya meski mulai keriput, menandakan bahwa dia adalah ahli ibadah yang istiqamah.

Beliau lebih senang dipanggil "Paklik" daripada "Bapak, Om, Ammy, Ustadz" atau panggilan lainnya. Boleh jadi, sebutan ini yang membuatnya tampak awet muda. Bahkan, beliau mengaku penglihatannya tetap normal, masih bisa membaca huruf berukuran kecil, apalagi tulisan di mushaf al-Quran.

Paklik Syadzili adalah guru ngaji pertama di Masjid Muritsul Jannah yang kala itu masih berstatus langgar/mushalla. Bahkan, sebelum langgar berdiri, Paklik Syadzili sudah aktif mengajarkan al-Quran kepada anak-anak di kampung Kebalen Wetan Blok Muris Kelurahan Kotalama Malang.

Seingat Paklik Syadzili, beliau sudah aktif mengajar sejak tahun 1963. Kala itu, kondisi masyarakat di sekitarnya masih awam atau bahkan "hitam". Disebut hitam, karena kebanyakan warganya masih abangan dan mayoritas ikut barisan PKI yang merupakan organisasi terlarang di Indonesia.

Dalam ceritanya, saat itu, warga yang benar-benar muslim alias shalat, masih sedikit. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan moral mereka sudah rusak layaknya jahiliyah. Hampir tiap malam, banyak kumpulan orang berjudi. Di sekitar kampung, juga tercecer rumah-rumah prostitusi. Alhasil, Paklik Syadzili berjuang di tengah rusaknya akhlaq.

Namun, beliau tak pernah patah semangat. Meski mengaku tidak begitu mumpuni dalam penguasaan ilmu agama, Paklik Syadzili nekat mengajarkan al-Quran kepada anak-anak dan para remaja. Paklik berpikir, roda pasti berputar. Kini, para orang tua dan warga memang masih rusak moralnya. Namun kelak, pasti mereka akan digantikan oleh generasi berikutnya. Nah, generasi itulah yang dipersiapkan Paklik Syadzili sehingga beliau tak patah arang untuk berjuang.

Pria yang kini berusia 68 tahun itu, adalah guru ngaji pertama di kampung blok muris, jauh sebelum langgar berdiri tahun 1967. Sejak 1963, Paklik mengajar baca al-Quran di rumah (Alm) Bapak Yusuf, tepat di pinggir jalan. Saat itu, jumlah muridnya pernah mencapai 100 anak lebih. Karena kondisi rumah yang sempit, terpaksa posisi tempat tidur diberdirikan dan kursi-kursi dialihkan agar bisa menampung anak-anak mengaji.

Mereka yang mengaji bukan hanya berasal dari anak-anak di Kampung Muris saja, tapi juga banyak yang datang dari kampung Polehan, Muharto, Mergosono, Kotalama hingga Jodipan. Boleh jadi, karena tidak banyak majelis taklim sehingga pengajian Paklik Syadzili membludak. Oleh karena itu, kebutuhan akan adanya langgar menjadi sangat penting.

Tahun 1966, langgar pun berdiri berkat waqaf dari pihak kecamatan. Paklik Syadzili, H. Suyuti, Bpk Yusuf, Pak Min Gedek, Pak Din adalah aktor penting yang merintis berdirinya langgar yang kemudian diberinama "Muritsul Jannah" oleh KH Abdullah Sattar Hilmy.

Agar pengajian menjadi menarik, Paklik Syadzili menambah pelajaran syair-syair Islam-Jawa supaya anak-anak menjadi senang mengaji. Selain itu, Paklik juga merintis pembacaan shalawat diba' keliling dari rumah ke rumah para muridnya. Paklik bercerita, pernah acara diba' diselenggarakan di rumah seorang muridnya yang kebetulan anak seorang mucikari. Inilah dakwah.

Menjelang tahun 1968, Paklik Syadzili memutuskan pindah rumah ke wilayah Muharto. Kepindahan tersebut dipicu oleh rasa prihatin Paklik saat melihat sebuah langgar di Muharto yang tidak terurus. Atas izin KH Abdullah Sattar, Paklik pun akhirnya pindah rumah demi untuk memakmurkan langgar "Baitus Somad" yang terbengkalai. Bahkan, Kiai Abdullah berpesan agar supaya Paklik Syadzili menikah dengan wanita di sekitar langgar agar ia bisa berdakwah secara istiqamah.

Karena kepindahan tersebut, pengajian Paklik Syadzili di langgar baru "Muritsul Jannah" digantikan oleh Ustadz Rifa'i. Tapi, Paklik Syadzili juga masih tetap mengajar meski durasinya mulai berkurang. Demikianlah kehidupan Paklik Syadzili, tiap sore hingga malam, berpindah-pindah dari satu langgar ke langgar lain untuk mengajarkan al-Quran dan pelajaran agama Islam.

Masih teringat jelas, saat saya masih berusia sekitar 3.5 tahun, oleh Abah saya telah diantar ke kediaman Bapak Yusuf yang saat itu menjadi tempat pengajian Paklik Syadzili sebelum langgar "Muritsul Jannah" berdiri. Ketika Paklik kerepotan mengajar anak-anak yang jumlahnya sedemikian banyak, terkadang dibantu oleh Bapak Yusuf. Demikianlah perjuangan menyebarkan Islam saat itu.

Sehingga, saya simpulkan, bahwa selain (Alm.) Ustadz Rifa'i, maka Paklik Syadzili dan (Alm.) Bapak Yusuf adalah guru-guru pertama saya. Mereka adalah "as-Sabiqun al-Awwalun", orang-orang kuno pertama yang berperan penting dalam mendakwahkan Islam dan menyebarkan cahaya ilmu bagi generasi muda muslim di kampung Muris, Kotalama, Malang.

Kini, setelah berpuluh-puluh tahun meninggalkan kampung Gang Muris, kecintaan Paklik Syadzili terhadap Masjid Muritsul Jannah yang dulu pernah dirintisnya, masih tetap mendalam. Buktinya, ketika saya bertemu beliau, ternyata Paklik tengah mengantarkan salah satu cucunya bernama Dina yang hendak menyumbangkan dana untuk pembangunan masjid.

Ceritanya, kedua cucu beliau mendapat hibah rumah dari orang tuanya. Rumah yang berada di bantaran sungai itu, telah terjual seharga Rp 16 juta. Lalu, Paklik Syadzili berpesan kepada cucunya agar menyumbangkan sebagian hasil penjualan untuk pembangunan masjid. Sang cucu bertanya, "Untuk pembangunan masjid mana?". "Ayo saya antar ke Masjid Muritsul Jannah, tempat perjuangan yang hingga kini masih ada di dalam hati saya", jawab Paklik Syadzili.

"Berapa banyak yang harus kami berikan kepada masjid itu?", tanya si cucu, lagi. Inilah jawaban Paklik Syadzili, "Terserah kalian. Sebab, kalau nominalnya terserah saya, maka pasti akan saya sumbangkan seluruhnya untuk masjid yang saya cintai itu. Jadi, terserah kalian, sisihkan sebagian untuk masjid dan sebagian untuk kebutuhan rumah tangga. Jangan terserah saya, sebab saya pasti akan menjawab semuanya".

Subhanallah, inilah jawaban pejuang masjid yang sesungguhnya. Loyalitasnya terhadap Masjid Muritsul Jannah benar-benar tanpa batas. Jawaban Paklik itu mengingatkan saya pada dialog antara Rasulullah saw bersama para sahabatnya saat hendak mempersiapkan perang.

Rasul pernah mengajak para sahabatnya agar menyumbangkan harta-benda untuk kepentingan jihad. Lantas, Abu Bakar tampil sebagai pertama yang menyanggupinya. "Berapa banyak harta yang akan kau berikan untuk jihad, wahai Abu Bakar?", tanya Nabi. Abu Bakar menjawab, "Semuanya, Ya Rasulullah".

Benar-benar luar biasa kekokohan iman dan loyalitas Abu Bakar sehingga tak salah bila Nabi menyatakan, "Andaikan iman seluruh penduduk bumi ditimbang lalu dibandingkan dengan iman Abu Bakar, maka pastilah iman Abu Bakar lebih berat melebihi iman seluruh penduduk bumi".

Dan, Paklik Syadzili telah menunjukkan loyalitas itu. Berjuang menebarkan cahaya ilmu di tengah kegelapan moral hingga saat itu semangat juang itu tetap tak pernah padam. Meski kehidupan pribadinya sering terhimpit kesulitan ekonomi, tapi bila ada panggilan masjid, semua problem menjadi jauh lebih kecil dibanding dedikasi untuk memakmurkan masjid Allah dan mendakwah Islam untuk generasi mendatang.

Terima Kasih, Paklik Syadzili. Perjuangan Paklik takkan pernah dilupakan jamaah Masjid Muritsul Jannah, apalagi oleh Allah swt, Dzat Yang Tak Pernah Tidur. Dia telah mencatat bahwa Paklik Syadzili adalah salah satu dari pejuang yang berani berkorban apa saja demi membumikan al-Quran di rumah Allah swt.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar