24 Desember 2012

Ketika Ulama dan Umara Dikebiri

 


Posisi ulama, sebagaimana dalam hadis, adalah pewaris para nabi. Karenanya, ulama harus berani dan menjadi pengawal "Syariat Islam", apapun resikonya. Jika benar, katakan benar, dan jika salah, katakan salah, meski pahit.

Siapakah ulama itu? Al-Quran memberi kriteria singkat, bahwa ulama adalah orang-orang yang hanya takut kepada Allah. Dan, kata "ulama" berakar dari kata "ilmu". Jadi, siapapun yang berilmu agama dan mengamalkan serta mendakwahkan ilmunya tanpa rasa takut kecuali hanya kepada Allah, maka dia disebut "ulama".

Posisi dan tugas ulama akan menjadi kuat dan sempurna, bila ulama bersatu-padu dan bahu-membahu dengan para umara. Umara adalah kata jamak dari "amir" yang bisa berarti "pemimpin, pejabat negara, presiden, hakim dan aparatur lainnya".

Dengan ulama, kebijakan dan keputusan umara menjadi tepat dan benar karena didasari ilmu. Sebaliknya, dengan umara yang adil dan bijaksana, ulama dapat mudah menyampaikan yang haq dan yang batil sehingga penegakan hukum menjadi tepat dan benar juga.

Karena itu, setiap umat Islam, pastinya mengerti tentang hukum dan syariat Islam, meskipun secara global. Paling tidak, dia memahami kewajiban sebagai seorang muslim yang diperintah untuk mentaati ajaran agama yang diyakininya, tanpa pilih-pilih, dan juga ia wajib berusaha menjauhi larangan agama secara ikhlas dan sadar.

Mengemban misi pewaris nabi untuk saat ini, nyatanya sangat berat. Seorang muslim yang meneriakkan "nahi munkar", dianggap fundamentalis, konvensional, tekstualis, kolot, dan sebagainya. Akibatnya, penegakan syariat Islam selalu menemukan jalan buntu. Entah mengapa, ketakutan akan tegaknya syariat Islam itu, justru juga disuarakan para ulama dan umara.

Salah satu contoh sederhana, ketika Allah mewajibkan puasa Ramadan dengan kalimat, "Kutiba 'alaikumus shiyaamu kamaa kutiba 'alal ladziina min qoblikum" (QS. Al-Baqarah: 183), yang artinya, "Diwajibkan kalian berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian", maka dalam ayat ini, Allah menyebut kata "kutiba" yang maksudnya, berhukum wajib, tidak boleh tidak.

Dengan ayat itu, para ulama, umara dan umat Islam pun ramai-ramai mentaatinya. Bahkan, tiap bulan Ramadan tiba, himbauan dan ajakan berpuasa ramai dibicarakan, dibahas, dan juga diamalkan. Ini artinya, perintah puasa disambut dan diterima dengan antusias tanpa sedikitpun dipermasalahkan, apalagi menginterpretasikan "makna puasa" dengan cara lain yang berbeda dengan syariat agama.

Lain halnya, saat Allah swt memerintahkan dalam firman-Nya, "Kutiba 'alaikumul qishoshu fil-qotlaa" (QS. Al-Baqarah: 178), yang artinya, "Hukum Qishah wajib ditegakkan atas pembunuhan". Dalam ayat ini, sebagaimana perintah puasa di atas, Allah juga menggunakan kata "kutiba" yang berarti "wajib, tidak boleh tidak, tidak ada tawar-menawar dan tidak perlu diperdebatkan, tapi jalankan".

Ternyata, ketika hukum Islam membahas sesuatu yang dirasa tidak enak dan tidak menguntungkan seperti hukum qishash, misalnya, justru nasib hukum qishash ini tidak diberlakukan sama dengan puasa. Padahal, kedua-duanya hukumnya wajib ditegakkan dan sama-sama menggunakan redaksi "kutiba".

Qishah artinya hukum bunuh atau hukuman mati bagi pembunuh. Bukankah adil, jika ada terdakwa kasus pembunuhan yang secara faktual terbukti membunuh, maka hukumnya adalah hukuman mati? Siapapun yang memiliki nalar yang cerdas, pasti mengatakan, "Ini hukuman yang adil dan tepat". Bukankah Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengerti dengan hamba-hamba-Nya?

Sayangnya, di Indonesia dan bahkan di kebanyakan negara lainnya, hukuman qishash ini, ditolak. Dan, yang lebih aneh lagi, hukum qishash tersebut diganti hukuman lain seperti hukuman penjara yang menurut sementara pikiran manusia, hukuman ini dinilai lebih manusiawi dan sesuai dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Aneh!

Apakah membunuh orang lain tidak melanggar HAM? Apakah seorang pembunuh hukumannya cukup dipenjara selama 5, 10, 20 tahun atau seumur hidup? Adilkah itu? Jika memang hukum ini dinilai adil dan manusiawi, lalu bagaimana nasib korban, perasaan ahli waris dan keluarga korban pembunuhan? Apakah membiarkan isteri menjadi janda dan anak-anak berubah status menjadi yatim karena sang suami dan ayah dibunuh, juga disebut manusiawi?

Orang-orang yang menilai qishah tidak manusiawi, hanya karena mereka tidak mengalami penderitaan sebagaimana derita para korban pembunuhan dan keluarganya yang tiap tahun kasus pembunuhan di negeri ini makin meningkat. Karena itu, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang dzalim karena tidak memutuskan sebuah hukum tidak sesuai dengan hukum Allah swt.

Anehnya lagi, para ulama dan umara di Indonesia ini, juga terkebiri, entah oleh siapa dan apa penyebabnya. Yang pasti, ulama "tidak berani" merekomendasikan kepada negara atau umara untuk memberlakukan hukum qishah atas kasus pembunuhan.

Yang terkebiri, bukan hanya ulama, tapi juga para hakim, politisi, aktivis HAM, advokat, jaksa, profesor, dosen, mahasiswa, pedagang, dan profesi lainnya, padahal mereka semua juga muslim dan mengerti tentang kewajiban "hukum qishash". Semuanya terkebiri dan tidak mau bahu-membahu menegakkan hukum Allah di bumi nusantara ini.

Sesungguhnya, dengan mengamalkan perintah puasa, maka akan banyak hikmah dan faedah yang bisa dirasakan. Demikian juga dengan menegakkan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Sebab, menurut Allah swt (QS al-Baqarah: 179), di dalam hukum qishash ada kehidupan dan hikmah ini hanya bisa dimengerti oleh "Ulul Albab", orang-orang cerdas yang pikirannya dan mata hatinya tidak mati.

Semestinya, dengan semangat reformasi dan didasari rasa prihatin atas maraknya kasus pembunuhan yang dilakukan seorang muslim terhadap muslim lainnya, maka hukum qishash itu harus segera dilaksanakan. Tidak untuk semua warga Indonesia yang plural karena terdiri dari berbagai umat beragama. Tapi, cukup ditegakkan secara khusus bagi umat muslim sebagaimana puasa juga ditegakkan di kalangan intern umat Islam.

Jika hukum puasa berani ditegakkan, tapi hukum qishash malah ditolak, maka bukankah sikap seperti ini dapat dikategorikan dalam firman Allah, "Nu'minu bi ba'dhin wa nakfuru bi ba'dhin", (QS; al-Nisa’: 150) beriman kepada sebagian perintah Allah, tapi mengkufuri sebagian lainnya, alias pilih-pilih dan imannya setengah-setengah.

Melihat kenyataan ulama dan umara di negeri ini sedang dikebiri, maka sangat benar bila ada ungkapan bahwa, "Amar ma'ruf memang relatif lebih ringan, tapi nahi munkar jauh lebih berat".

Sungguh sayang, atau mungkin dapat dikatakan gagal, Indonesia yang telah merdeka puluhan tahun ini dan kini umat Islam serta jumlah ulama dan umara juga kian banyak, tapi penegakan hukum Islam masih jauh dari harapan. Hingga kapan? Wallahu A'lam.

Selama ulama, apalagi umara masih terkebiri, maka harapan itu masih jauh. Sebab, pewaris para nabi yang sesungguhnya berani dan hanya takut kepada Allah, sejatinya tidak banyak di negeri ini. Yang banyak, hanya label-label saja.

1 komentar:
Tulis komentar
  1. Sesungguhnya Allah SWT Maha Adil, maka tidak ada yg lebih adil kecuali hukum-Nya.

    BalasHapus