20 Januari 2013

Semalam di Bangkok

 


Rabu malam Kamis, 16 Januari 2013, adalah malam pertama sekaligus malam terakhir bagi penulis untuk menikmati suasana Bangkok, Ibukota Thailand setelah sebelumnya bermalam di Patani, daerah selatan Thailand. Bangkok yang berlokasi di tepi sungai Chao Phraya, atau disebut “Krung Thep” oleh penduduk setempat, merupakan suatu paradoks yang mendebarkan. Ibukota Thailand ini memelihara warisan tua, sekaligus menyambut terbuka hal-hal baru dengan antusias penuh.

Hari itu, saya bersama rombongan bertolak dari bandara Hat Yai, Bangkok dengan pesawat domestik menuju bandara Suvarnabumi, Bangkok, Thailand. Perjalanan ini ditempuh kurang lebih 1.5 jam. Sekitar jam 12.30, saya tiba di Bangkok dan langsung menuju ke hotel Grand Hyatt Erawan, salah satu hotel bintang lima yang berlokasi di jalan Thanon Ratchadamri.

Sekitar jam 14:00, bersama rombongan, saya sempat mampir ke Wat Arum (Temple of Dawn), salah satu lambang kota Bangkok yang terkenal ini berada di tepi sungai Chao Phraya. Di sepanjang sungai Chao Phraya, terdapat pos-pos pemberhentian. Di sana dijual tiket untuk menyisiri sungai dengan perahu tradisional, atau juga kapal pesiar bagi turis lengkap dengan pemandunya. Setiap hotel di tepi sungai ini, misalnya hotel Royal Orchid Sheraton, Oriental, Shangri-La, Mariott, Peninsula, dan sebagainya, juga menyediakan acara santap malam romatis di atas kapal.

Sepulangnya dari kuil Wat Arum dan berdialog dengan para biksu, sekitar pukul 18.00, penulis mulai menyusuri jalanan di sekitar Hotel Hyatt, Bangkok, tempat penulis menginap. Kota Bangkok benar-benar disulap menjadi kota bisnis dengan deretan mall, hotel dan tentunya kehidupan malam yang katanya menjadi "Las Vegas"-nya Asia Tenggara untuk menyaingi Hongkong. Lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki, tampak begitu ramai. Hampir sama dengan Jakarta, itulah waktu macet tapi hanya pada beberapa titik di jalanan pusat kota Bangkok. Namun, meski demikian padatnya, kemacetan sudah diantisipasi oleh pemerintah Thailand dengan berbagai alat transportasi massal seperti moda transportasi Skytrain dengan konstruksi diatas jalan raya, moda transportasi underground/MRT, kereta api antar kota, bis antar kota maupun kendaraan tradisional Thailand beroda tiga yang dikenal dengan sebutan Tuk-tuk.



Jalanan Bangkok tampak bersih. Tidak terlihat sampah berserakan. Cahaya lampu begitu terang benderang di sepanjang sudut kota. Penulis yang malam itu hendak mencari pasar murah semacam pedagang asongan di sekitar hotel dan mall, tidak menemukannya. Namun, setelah selepas pukul 21:00, saat mall dan perkantoran sudah tutup, barulah para pedagang asongan menggelar dagangannya di sepanjang jalan.

Inilah fenomena unik dari kebijakan pemerintah Bangkok. Meskipun ibukota disulap menjadi pusat bisnis dan pariwisata bagi kaum berduit, namun para pedagang kecil pun tetap dipikirkan. Caranya, mereka boleh menggelar dagangan di pusat kota bahkan di depan hotel berbintang dan mall dengan satu syarat; harus setelah pukul 9 malam hingga menjelang pagi.

Harga-harga barang di Thailand, jika dibanding Indonesia, hampir sama. Untuk sebuah T-Shirt, rata-rata harga 100 Bath atau 30 ribu rupiah. Tapi, untuk harga buah-buahan terutama durian, di Thailand sangat murah. Bisa dimaklumi, karena perkebunan durian di daerah Thailand selatan berjejer di sepanjang jalan tol. Bahkan, untuk makan bersama, buah yang digunakan sebagai “cuci mulut” adalah durian, anggur atau manggis. Beda dengan Indonesia yang hanya fokus pada buah “pisang” saja.

Kehidupan malam yang katanya syur bagi para pelancong, tidak penulis lihat karena memang tidak banyak lokasi yang penulis kunjungi. Namun ternyata, perkiraan penulis ini meleset. Sebab, saat penulis berjalan-jalan malam bersama 2 orang teman, tiba-tiba seorang supir taxi mendekati penulis sambil memperlihatkan brosur bergambar. Dalam brosur itu, tampak ada layanan mandi spa, pijat tradisional khas Thailand hingga tari skriptis. Bahkan, ada foto-foto wanita cantik yang -maaf- tanpa berbusana. Para gadis cantik itulah yang akan melayani tamunya mulai dari pijat urat hingga pijat aurat. Hebatnya lagi, stok gadis-gadis itu bervariatif. Ada yang asli Thailand, Eropa, Turki, India dan banyak lagi.

Waah...gawat! Ternyata, lokasi tempat "gituan" di Bangkok, sangat rahasia, tapi legal. Harga service-nya juga bermacam-macam, mulai dari 2.500 Bath hingga 10.000 Bath. Dan ternyata, setelah tawaran supir taksi itu penulis tolak, tak jauh lagi, kami juga dihampiri supir taxi lain dengan tawaran yang sama tapi beda lokasi. Alhasil, Bangkok Thailand yang juga dikenal sebagai negara religius Budha, sekaligus juga negara dengan tingkat maksiat yang tinggi. Antara kehidupan spiritual Budhisme yang jauh dari kesan duniawi, di Thailand, juga bersanding dengan kehidupan malam yang glamour dan menawarkan berbagai surga duniawi yang menguras kocek sekaligus mengurus nafsu birahi.

Secara keseluruhan, dari aspek keamanan dan kenyamanan, kota Bangkok memang relatif nyaman untuk dijadikan tempat wisata. Di berbagai sudut kota, terdapat kamera cctv yang memantau stabilitas keamanan di tengah mobilitas warganya. Selain itu, warga setempat juga tampak ramah terhadap orang asing. Setelah lelah berjalan-jalan di trotoar kota, menjelang tengah malam, penulis bersama 2 teman kembali ke hotel Grand Hyatt Erawan untuk beristirahat. Sebab, keesokan harinya, setelah makan pagi, tepat pukul 8:00, penulis bersama rombongan akan berangkat menuju ke Singapura lalu pulang ke Jakarta.

Selamat Tinggal, Kota Bangkok, Thailand. Tidak seperti saat meninggalkan Mekah dan Madinah. Berpisah dengan Bangkok, sama sekali tidak ada kerinduan pada diri penulis untuk kembali ke kota itu. Entah mengapa? Yang jelas, penulis masih ingin melihat kota-kota besar lain di dunia. Sebab, menyisiri bumi adalah bagian dari perintah agama.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar