22 Juli 2015

KESUNYIAN IDUL FITRI

 


Sebenarnya, telah 2 tahun ini, aku merasakan kesunyian Idul Fitri di tengah kemeriahan dan hingar-bingar lebaran. Rasanya sepi sekali, meski suara petasan berdentum silih berganti. Kesunyian ini disebabkan oleh kepergian 3 orang yang selama ini selalu hadir bersamaku, merayakan hari kemenangan. Seperti ada yang kurang, karena kedua tanganku tidak bisa lagi bersalaman dengan mereka dan meminta ridha serta maaf mereka.

Ketiga orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku itu adalah:

1) Alm. Hj. Siti Nuriyah; beliau nenekku tercinta, yang sudah seperti ibu bagiku. Matanya yang teduh, raut wajahnya yang meski keriput tapi tetap bercahaya itu, telah pergi untuk selamanya dan tak akan bisa kutatap lagi di dunia ini. Beliau meninggalkan alam fana ini tepat pada tanggal 14 Rabiul Awal 1434 atau 26 Januari 2013 yang lalu. Dua hari setelah aku merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.

Nenekku itu, dialah sosok isteri shalihah yang selalu mentaati sang suami, belahan jiwanya. Selain itu, bertahun-tahun lamanya, ia telah berkhidmat, menghidangkan masakan untuk para kiai yang hadir di rumahku, mulai KH Abdullah Sattar Hilmy, Habib Alwi al-Aydrus, Habib Soleh al-Aydrus hingga KH. Basori Alwi. Atas amal baktinya itu, semoga Allah menerimanya dan mengumpulkannya dengan para alim ulama Allah di surga. Amin.

2) Alm. H. Ahmad Suyuti; beliau adalah kakekku, panutanku, matahariku, jalanku dan juga kekuatanku. Kepergiannya yang bertepatan pada hari Isra' Mi'raj, 27 Rajab 1435 atau 27 Mei 2014 seakan menyusul sang isteri tercinta.

Kepulangannya ke haribaan Allah membuat rumahku redup. Sebab, dalam sehari semalam, kakek tangguh itu selalu mengaji ayat-ayat suci al-Qur'an tidak kurang dari 4-5 juz. Alhasil, dalam satu Jumat, beliau mesti hatam satu kali. Dan, istiqamahnya itu terus berlanjut hingga akhir hayatnya dalam usia 80 tahunan. Kecintaan Kakek terhadap ulama dan al-Quran ini yang membuatnya hidupnya berada dalam keberkahan.

Sungguh, tidak mudah menteladani jejak langkah Salafus Sholeh seperti itu. Kini, aku hanya bisa berharap, semoga Allah menempatkan beliau di maqam paling mulia di sisi-Nya dan di sisi Rasulullah saw.

3) Alm. H. Raudhowi; ayahanda, tulang punggung keluarga, yang dari relung tulang sulbinya, aku ada. Abahku tercinta itu, telah berpulang ke hadirat Huw Allah Ta'ala pada 24 Desember 2014 atau 2 Rabiul Awal 1436 H. Belum setahun, memang, tapi seakan seperti seabad lamanya. Kepergiannya sungguh tiba-tiba, tidak ada yang mengira seorang pun, bahwa beliau yang berpamit untuk tidur, ternyata beristirahat untuk selamanya.

Musholla tempatnya menjadi imam Subuh dan jamaah tahlil tempatnya memimpin masyarakat melantunkan "La ilah illa Allah", seakan belum sempat berpamitan. Akan tetapi, kami telah merelakan kepergiannya. Sebab, pada hakikatnya, beliau tidak pergi, tapi hanya pulang ke maqam yang lebih tinggi, yang lebih indah hingga tak dapat dirasakan oleh indera biasa.

Ketiga orang itu, kini tengah terbaring di alam kubur. Menziarahi mereka di hari raya Idul Fitri serasa aku mendengar mereka berpesan, bahwa "masih ada kebahagiaan yang lebih bahagia dari berlebaran di hari raya Idul Fitri. Itulah hari dimana setiap mukmin yang bertaqwa akan bertemu Huw Allah Ta'ala dengan wajah yang bersinar terang benderang melebihi cahaya matahari".

Untuk meraih kebahagiaan sejati itu, salinglah memberi maaf sebagaimana Allah telah memaafkan hamba-Nya hingga kembali suci (fitri), dan teruslah memperbaiki hubungan dalam "Hablum min Allah" dan "Hablum minan Naas". Dengan itu, yakinlah, jalan hidup di dunia dan akhirat akan selalu lurus, terang bercahaya dan pasti berakhir bahagia dan berlabuh di sisi Huw Allah Ta'ala, "ila Rabbika, muntahaha".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar