26 Juli 2015

Pargalı Ibrahim Pasha : Dari "Maqbul" ke "Maqtul"

 


"Gelora"
- Puisi Ibrahim Pasha (diterjemahkan: Gina Hayana) -


Kekayaan rahasiaku di seluruh penjuru dunia,
Mutiaraku bergemarai di setiap hari-hari nan kelam,
Kepak sayap rahasiaku di setiap burung yang jatuh,
Keyakinanku penuhi dada dan segenap jiwaku memancar di rona wajah.


Kekasihku, permaisuriku...
Ingin rasanya kumelebur,
mengatakan cinta dan cinta.
Risauku bukan karena terpisahnya kita,
tetapi karena menyatunya diriku denganmu.


Hatiku pecah, sayap-sayapku patah.
Aku terbang tanpa pernah berhenti.
Telingaku menjadi tuli,
sedang mataku tak mampu lagi melihat.
Satu-satunya jalan yang kutempuh hanya menuju cinta


Bukankah cinta yang membuat hujan bergerimis,
yang mengubah awan gemawan menjadi rintik air hujan,
hujan menjadi mega yang menyemaikan benih,
menyatukannya dengan hamparan tanah, kemudian tumbuh dan berkembang.
Bukankah demikian pertemuan pecinta dengan belahan jiwanya?


Kekasihku, duhai permaisuriku...
Air mencintai bumi sebagaimana cintaku padamu.
Tiada peduli pada teriknya mentari yang membakar,
Tak peduli harus berubah dari waktu ke waktu.


Betapapun harus mengembara jauh ke langit biru
Ia memahami suatu hari kelak,
akan kembali ke bumi.
Ia menunggu dalam ketabahan,
betapapun Angin akan melantakan,
Petir membakar,
Langit bergemuruh,
Air itu kembali berjumpa cintanya, lagi!
 
Segenap semesta menghadiri pertemuan dua cinta itu,
Kekayaan yang tersembunyi itu ada di seluruh penjuru dunia,
Mutiaraku bergemarai di setiap hari-hari nan kelam,
Sayap-sayapku mengepak indah pada burung yang patah,
Keyakinanku penuhi dada,
Dan segenap jiwaku memancar di rona wajah.
 
Ingin rasanya kumelebur,
mengatakan cinta dan cinta
Risauku bukan karena terpisahnya kita,
tetapi karena menyatunya diriku denganmu.

****
Itulah salah satu "Puisi Cinta" Ibrahim Pasha yang menggetarkan jiwa. Puisi-puisinya begitu diburu oleh dunia Barat karena benar-benar melukiskan cinta sejati dari seorang Ibrahim, sang muallaf, teman akrab Sultan Sulaiman al-Qonuni sejak masih muda, yang selalu berada di sisi Baginda, baik dalam suka maupun duka.

Berkali-kali, Ibrahim membuktikan kesetiaannya kepada Baginda Sulaiman. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi Sang Baginda. Bisa dikatakan, hidup dan mati Ibrahim Pasha, sepenuhnya telah ia berikan kepada Baginda dan ia wakafkan untuk Dinasti Ottoman.

"Baginda, apalah artinya jiwaku ini. Jika Kau memintanya, aku tak sanggup menolaknya", begitu setianya Ibrahim.

Dan, sumpahnya itu tidak hanya di lisan saja, tapi sejarah seperti menagih janjinya. Yah, saat Ibrahim harus meregang nyawa, di istana Topkapi, istana Sang Baginda.

Tragisnya, kematian Ibrahim justru atas perintah Baginda sendiri, tepat di malam Bulan Ramadan, di sebuah kamar dekat kamar Baginda, setelah sebelumnya, kedua sahabat itu makan malam bersama sambil menikmati suara merdu biola Ibrahim Pasha.

Setelah Ibrahim pergi dari kehidupan Baginda Sulaiman, Baginda pun menyesalinya. Tidak ada lagi perdana menteri sehebat dan setangguh Ibrahim Pasha. Buktinya, setelah era Ibrahim, Baginda sering mengganti perdana menterinya. Penguasa Ottoman itu juga kehilangan sahabat yang sangat mencintai karya seni dan sastra sebagaimana dirinya mencintai seni musik, puisi, prosa, sejarah, hingga seni berperang.

Sepeninggal Ibrahim, tidak ada lagi teman yang bisa menghibur Baginda dengan alunan biola yang suaranya menyayat hati, meruntuhkan keakuan, menyuguhkan keindahan semesta dan mengenalkan ciptaan Tuhan.

Selain gemar akan seni lukis, seni ukir, Ibrahim Pasha juga ahli bersyair. Puisi cinta Ibrahim Pasha kepada Hatice Sultan (Hadijah) adalah karya yang hingga kini terus dicari karena nilai balaghah-nya sangat tinggi.

Puisinya itu lahir dari gelora cintanya. Cintanya tumbuh semata-mata karena melihat kecantikan sang puteri. Sejak pandangan pertama saat Hadijah bersama Ibu Suri mengunjungi istana Pangeran Sulaiman di Manisa, tempat sang pangeran menjabat sebagai Gubernur di masa pemerintahan ayah, Sultan Selim I. Sejak pandangan pertama itu, cinta Ibrahim-Hadijah mulai bersemi.

Ibrahim sendiri pada awalnya tidak berani mengungkapkan isi hatinya yang dipenuhi api asmara. Demikian pula, Hadijah yang saat itu, masa depan cintanya sebagai putri kerajaan, sangat tergantung keputusan Ibu Suri dan tentunya, Baginda Sulaiman. Hampir saja, Hadijah menikah dengan putra perdana menteri Piri Mehmed Pasha. Untungnya, takdir masih berpihak pada cinta tulus Ibrahim dan Hadijah. Putra perdana menteri itu divonis penyakit TBC yang menular sehingga pihak istana membatalkan pertunangan tersebut.

Peristiwa ini kian membuat Hadijah yakin, bahwa Ibrahim Pasha lah, cintanya, hidupnya, masa depannya, mataharinya. Singkat cerita, Ibrahim Pasha yang saat itu hanya menjabat sebagai petugas keamanan kamar Baginda, akhirnya terpilih menjadi suami Putri Hadijah.

Karier dan status Ibrahim langsung melejit bak roket hingga membuat koleganya banyak yang iri dan lalu memposisikan Ibrahim sebagai rival. Ibrahim Pasha telah menjadi adik ipar Kaisar Dunia dan bahkan diangkat menjadi Wazir A'dzam atau Perdana Menteri Ottoman, sekaligus Wakil Kaisar Dunia, Sultan Sulaiman.

Sejarah mencatat, Wazir Agung Kesultanan Utsmaniyah, Ibrahim Pasha diangkat oleh Sultan Sulaiman I pada tahun 1523, menggantikan Piri Mehmed Pasha, yang diangkat pada tahun 1518 oleh ayah Sultan Sulaiman, Sultan Selim I. Ibrahim Pasha menjabat sebagai Wazir Agung selama 13 tahun, dan memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat hingga pihak Barat selalu segan dan takut bila berhadapan dengannya.

Ibrahim tidak hanya piawai merangkai taktik berperang, tapi juga mahir merangkai kata. Bait-bait puisi Ibrahim Pasha yang ditujukan kepada Hadijah atau Hatice Sultan mewakili getaran cinta di dalam dadanya yang hingga kapan pun akan menjadi bagian kisah cinta yang mengharukan. Getaran bait syair Ibrahim Pasha sama persis dengan strategi perang yang ia rancang hingga menggetarkan hati musuh-musuh Islam.

Di Turki, ia dikenal nama "Pargalı Ibrahim Pasha" (1494–1536), dan di Barat ia disebut dengan nama "Frenk Ibrahim Pasha". Oleh rakyat Ottoman saat itu, ia juga dikenal dengan sebutan "Maqbul Ibrahim Pasha". Maqbul artinya diterima sebagai "kesayangan" atau "sahabat emas" Baginda Sulaiman.
Namun, melihat akhir hidupnya yang tragis dan mati di tangan Kaisar Ottoman, sahabatnya sendiri, pada akhirnya, gelar Ibrahim diubah dari "al-Maqbul" menjadi "al-Maqtul Ibrahim Pasha", sahabat yang "dibunuh". Ia dieksekusi tahun 1536 dan propertinya disita kerajaan, hingga pada akhirnya, Putri Khadijah mati bunuh diri dengan menenggak racun di depan kakak sendiri, Sang Kaisar Dunia. Tragis!

Sepeninggal Ibrahim Pasha, Daulah Usmaniyah benar-benar kehilangan seorang perdana menteri yang cerdas, seniman, sastrawan, panglima perang, guru para pangeran, dan juga sahabat kaisar yang setia dan loyal pada dinasti.

Yang terkenal setelahnya, hanya Perdana Menteri Rustam Pasha, tangan kanan putri Hurrem yang cerdas dan pemberani, tapi juga licik dan banyak akal. Kecerdikan dan kelicikan Rustam mampu membungkus konspirasi politik dengan kulit yang rapi hingga membuat Baginda Sulaiman harus "tutup mata", tega mengeksekusi Ibrahim Pasha sahabatnya dan menghabisi Pangeran Mustafa putranya sendiri.

Politik kekuasaan memang kejam. Di satu sisi, memang menggiurkan seakan menjanjikan hidup selamanya. Tapi di sisi lain, justru mendekatkan pada kematian dan kehinaan. Cukup Ibrahim Pasha menjadi contoh bagi umat Islam yang haus kekuasaan. Dari "al-Maqbul" menuju "al-Maqtul".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar