8 Agustus 2015

Dari Muktamar untuk Indonesia

 


Muktamar NU ke-33 di Jombang sudah selesai. Ada banyak kesan, cerita, hasil, hikmah, i'tibar, komentar dan juga pengalaman suka maupun duka. Hal semacam ini sudah lumrah, apalagi di dalam even besar semisal Muktamar NU yang dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan dan juga beragam kepentingan. Jelas, ada banyak perbedaan di samping juga ada sisi persamaan.

Alhasil, Muktamar NU ke-33 kali ini, seperti muktamar-muktamar sebelumnya, bisa dikatakan sukses. Semua pasti sepakat, bahwa tidak mungkin segala aspirasi dan pikiran bisa diwujudkan, apalagi beda kepala beda pula akalnya. Namun, yakinlah, sejak NU berdiri, ormas Islam terbesar ini memang dibentuk untuk kejayaan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, NU yang berdiri kokoh berkat perjuangan, doa dan pengorbanan para ulama sejak dulu hingga kini, jangan sampai dirusak oleh para nahdliyyin sendiri, apapun alasannya. Segala keputusan, entah itu memuaskan atau tidak, yakin saja bahwa itu yang terbaik di sisi Allah karena telah diamini para ulama dan kiai yang tentunya lebih mumpuni.

Para ulama, kiai, santri dan umat nahdliyyin di Muktamar NU ke-33 ini, baik yang hadir(in) maupun hadir(out), dengan ijtihadnya sendiri-sendiri, telah berjihad dan beramal shalih untuk Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, demi terwujudnya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara di bumi nusantara ini. Dan kini, pasca muktamar, adalah tugas semua warga NU di manapun berada, mewujudkan cita-cita para ulama dan pendiri negeri ini di tengah-tengah umat.

Ada banyak tantangan yang dihadapi umat dan bangsa Indonesia dewasa ini. Masalah sosial-kemasyarakatan, masalah perekonomian di tengah makin dominannya kapitalisme global, problem pergeseran nilai moral dan akhlaq, tentang kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan ancaman disintegrasi bangsa dan negara. Selain itu, masih banyak lagi masalah yang dihadapi umat, termasuk aneka jenis fitnah dan berita bohong yang tersebar di media massa, cetak maupun elektronik.

Melihat begitu besarnya tantangan NU kini dan di masa depan, maka sudah seharusnya, pasca muktamar lima tahunan ini, setiap warga NU mencontoh para ulama dan kiai yang tidak pernah berhenti berdoa, berpikir dan berjuang untuk umat. Paling tidak, pasca muktamar ini, lahir semangat baru dan berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, keluarga, kerabat maupun orang-orang di sekitar kita.

Semua harus diajak bersinergi, bersama-sama berbuat dan memberi manfaat bagi sesama manusia. Dalam Muktamar NU ke-33, juga sudah banyak digelar diskusi, dialog, bedah buku, bahtsul masail dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Dan, itu semua diselenggarakan untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi umat. Selanjutnya, adalah bagaimana mengimplementasikan hasilnya yang memang telah ditunggu-tunggu oleh warga NU di kampung-kampung.

Proses suksesi kepemimpinan di tubuh NU juga sudah selesai. Selamat atas terpilihnya Dr. KH Makruf Amin dan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj sebagai Rais A'am dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Semoga keduanya diberi kekuatan dan kemampuan menjalankan amanat yang besar ini. Tentu saja, hasil pemilihan ini tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, begitulah proses suksesi, selalu ada yang "menang" dan yang "kalah" dalam kompetisi. Tapi, jika proses itu berakhir, semua harus legowo dan kemenangan menjadi milik bersama.

Yang terpilih, jelas "ketiban" amanat dan itu tidak ringan. Yang tidak terpilih, masih ada medan lain tempat berjuang untuk NU. Memang, tidak dipungkiri, di setiap muktamar selalu ada kubu-kubuan dan itu wajar. Kali ini, terdengar aneka berita miring, mulai dari isu money politik, muktamar tandingan, pro-kontra tentang AHWA hingga goyang oplosan yang disebarluaskan jonru wa ala alihi wa sohbihi.

Namun, yang perlu digarisbawahi, bahwa itu semua tidak akan pernah menghalangi warga nahdliyyin untuk terus berjuang demi kemaslahatan umat dan bangsa. Ke depan, masih banyak "PR" bagi warga NU. Umat Islam yang potensial harus diberdayakan. NU yang besar harus menunjukkan tidak hanya unggul dalam kuantitas, namun juga kualitas.

Di sektor pendidikan formal, madrasah dan perguruan tinggi NU harus ditingkatkan kualitasnya. Umat juga perlu rumah sakit NU yang megah dan terjangkau. Nasib guru ngaji, TPQ NU, Madrasah Diniyah di pelosok kampung juga tidak bisa diabaikan karena dari sana muncul kader NU yang militan sejak usia dini.
Kontribusi NU terhadap pemerintah juga terus dibutuhkan. Sebagaimana amanat para pendiri NU, setiap warga nahdliyyin harus menjadi garda terdepan untuk mencegah disintegrasi bangsa. Rasa nasionalisme, cinta tanah air, rasa hormat terhadap para pahlawan, semua itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan warga NU.

Mengapa kewajiban mencintai agama dan negara ini penting? Sebab, pada hakikatnya, untuk dapat menghancurkan Indonesia, bagi musuh agama dan negara, agenda pertama mereka adalah memecah belah warga NU. Jika itu tercapai, berarti muslim ahlussunnah wal jamaah terbesar di dunia, sudah runtuh.
Runtuhnya NU sebagai ormas Islam terbesar, akan berdampak besar bagi negara. Jika nahdliyyin runtuh, berarti rasa nasionalisme telah terkikis di hati umat. Lalu, pada akhirnya, kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia ini akan carut-marut. Dan hal semacam ini, telah terjadi di belahan dunia lainnya, tapi tidak di Indonesia. Semoga.

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar