7 Agustus 2015

Syiar Muktamar NU 33

 


Jauh sebelum Muktamar NU ke-33 digelar di Jombang, Muktamar ormas Islam terbesar di Indonesia itu telah terdengar gaungnya. Beberapa kegiatan pra-muktamar juga telah digelar untuk menyambutnya. Panitia dan warga nahdliyyin mulai para kiai, santri, kaum intelektual muda dan tua, pejabat negara, politikus dan banyak lagi, semua turut antusias dengan gelaran muktamar kali ini.

Tak terkecuali juga, pihak-pihak di luar NU, kelompok yang "ngaku" NU, pengamat NU, kritikus NU, pengaku sunni tapi anti NU, dan masih buanyak lagi yang merasa perlu tahu tentang NU, entah hasil muktamar ini mempengaruhi hidup mereka atau tidak, yang penting tahu tentang NU.

Dari fenomena itu, dapat dimengerti bahwa ternyata NU itu tetap menarik. NU yang lahir dari kebangkitan para ulama itu, kini bagaikan pohon tinggi yang menjulang ke langit, namun akarnya tetap kokoh menghunjam ke bumi. Begitu tingginya pohon itu hingga siapapun dapat melihatnya, tidak hanya orang Indonesia tapi juga pihak asing di luar negeri sana, mereka merasa perlu tahu tentang NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang dihuni mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia.

Oleh sebab itu, jika tema Muktamar NU ke-33 kali ini, "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia", maka tema ini menurut penulis, sangat tepat sekali. NU yang sejak awal berpegang teguh pada akidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah adalah organisasi Islam yang mengajarkan sikap tasamuh (toleran), tawazun, santun, berakhlak mulia, gotong royong, menghormati perbedaan, dan mengedepankan persatuan.

NU dengan konsep "Islam Nusantara" inilah yang sebenarnya ditunggu oleh masyarakat global di dunia timur maupun barat tentang model keberagamaan di Indonesia yang dikenal beragam suku, bahasa, ras, sekte, madzhab bahkan agama maupun keyakinan. Di tengah kebhinnekaan yang ada di nusantara ini, mulai Sabang hingga Merauke, justru NU hadir secara adaptif, menghormati kearifan lokal dengan dakwah kultural ala Wali Songo. Maka, tidak heran, jika ulama, kiai dan santri NU mudah diterima di masyarakat.

Terlebih lagi, rasa nasionalisme kita saat ini mulai dikikis sedikit demi sedikit. Padahal, kelahiran Indonesia tidak bisa lepas dari lahirnya NU yang dibidani para ulama yang cinta tanah air. PBNU (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD "45) adalah harga mati yang tidak boleh diubah apalagi dilenyapkan dari bumi nusantara oleh siapapun dan atasnama apapun.

Atas dasar itu, konsep Islam Nusantara itu muncul menjadi tema besar Muktamar NU kali ini. Oleh sebab itu, opini miring dan kritik apapun yang dilayangkan terhadap "Islam Nusantara", boleh jadi, itu karena sangking butanya rasa cinta dan semangat yang menggebu, atau karena belum mengerti saja tentang hakikat NU, atau belum menghayati Indonesia dan bumi nusantara ini. Atau, ada juga sih yang memang anti NU, anti ulama dan anti Indonesia.

Tak heran, jika kemudian, yang ramai diperbincangkan di media massa, apalagi media sosial spt: Facebook, Twitter, WhatsApp, BBM, dsb adalah berita-berita negatif tentang Muktamar NU. Aneka jenis kritik, curhat hingga hujatan dan fitnah mewarnai perhelatan Muktamar NU 33 kali ini. Luar biasa!

Sedikit berita, komentar, foto di Muktamar, langsung dipelintir, dibesar-besarkan, di-photoshop, dan dijadikan konsumen publik untuk mengkerdilkan NU. Tapi, usaha-usaha itu justru membuat gaung dan syiar NU makin besar dan meluas.

Meminjam istilah Habib Luthfi, bahwa NU itu memang bagaikan lautan. Aneka jenis ikan ada di dalamnya. Tipe kiai, santri dan pesantren juga beragam. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) sudah biasa. Kiai kharismatik, kiai khas, wali mastur, dan aneka macam kontroversi dari yang masuk nalar hingga di luar nalar, semua ada di tubuh NU.

Begitu beragamnya pemikiran dan gaya NU ini sehingga, lagi-lagi meminjam istilah Gus Mus, banyak orang yang sering "kagetan" dengan NU. Saat dulu NU berpolitik, banyak yang kaget. Ketika NU memutuskan kembali ke Khittah, juga kaget. NU menerima Pancasila sebagai asas dan NKRI adalah final, juga kaget. Kini, NU dengan "Islam Nusantara"nya juga bikin kaget.

Alhasil, apapun peristiwa yang terjadi di perhelatan Muktamar NU, itulah dinamika santri yang melihat "ikhtilaf" sebagai "rahmat". Justru dengan ikhtilaf itu, -dawuh Mbah KH Maimun Zubair-, ada musyawarah, setelah itu ada kesepakatan. Inilah silaturrahim, inti dari muktamar, sebuah perhelatan besar dari ormas Islam terbesar di Indonesia dan bahkan di dunia.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar