9 November 2015

BEKAL HIDUP POSFI 2015

 


Jika Anda harus menetap di luar negeri selama 2 bulan lamanya, berada di negara yang jelas beda corak sosial, budaya, dan sebagainya, apa yang Anda persiapkan?
Adaptasi secepatnya, ini jawaban riil agar kita tidak merasa terasingkan dan lekas membaur, mengikuti arus. Tapi, tentu saja harus siap bertahan hidup. Nah, untuk adaptasi bertahan hidup ini juga terkait dengan selera makan.
Tahun 2015, kami berenam termasuk Duta Indonesia dalam program POSFI Kemenag yang diutus ke Tunisia. Belum pernah sekalipun terlintas dalam pikiran atau bahkan mimpi, saya berkesempatan tinggal di negara berpenduduk 11 juta jiwa itu, apalagi selama 2 bulan.
Menjelang berangkat, hanya sedikit informasi yang saya peroleh tentang negara yang pernah sekali masuk dalam ajang Piala Dunia ini. Bahwa, biaya hidup di sana mahal karena negara itu bekas jajahan Prancis, gaya hidup lebih dekat dengan Eropa bukan lagi Arab-Asia, iklim yang super dingin di akhir tahun, dan tidak banyak produk makanan yang cocok dengan lidah Indonesia.
Karena minimnya informasi, maka dengan sekuat tenaga, hehe..... saya pun membawa banyak bekal makanan seperti mie instan, kopi bubuk, gula, bumbu masak, krupuk, abon sapi, kecap, teh, bumbu pecel, bahkan ikan asin kering. Tak hanya itu, saya pun dibekali alat masak semisal rice cooker, electric heating cup, tapper ware, piring, sendok, dan banyak lagi termasuk obat-obatan. Ditambah lagi baju dan laptop. Hm...kayak mau minggat ya...hehe..
Untuk itu, perlu 1 kopor dan 2 tas yang bobot semuanya hampir 30 kg. Bisa dibayangkan, betapa berat bawaan untuk bertahan hidup, hehe... Setibanya di Tunisia, semua bekal makanan itu nyatanya sangat berguna dan tampak mahal harganya dibanding harga sembako di negeri zaitun. Meskipun, kenyataannya, saya bersama teman-teman harus belanja bahan mentah lagi. Meminjam bait lagunya Meggi Zed, "masak, masak sendiri... tidur tidur sendiri....".

Untung saja, perabotan dapur di apartemen kami, Iqomah An Nouri di Sahlul Sousse, tergolong lengkap. Ada kompor yang gasnya tanpa beli isi ulang, kulkas, panci, piring dan sebagainya, tak terkecuali mesin cuci yang amat membantu hidup kami.
Satu lagi yang membuat kami senang, yaitu, salah satu teman kami, Dr Sofin (IAIN Banten) ternyata jago masak. Selama kuliah di Maroko, ia sudah terbiasa masak hingga kami menyebutnya Chef Maroko (tinggal MA-kan dan ROKO-k, hehe). Jika waktu masak tiba, kami berempat sibuk di dapur, ada yang cuci piring, bikin bumbu, goreng ikan dan memasak nasi. Nah, tugas terakhir ini spesialisasi saya, hehe...
Selama di Tunisia, kami mampu memproduksi aneka macam karya "kuliner", sebut saja, nasi goreng sosis, nasi pecel Kawi, martabak India, spagetti Itali, Sarden, ayam balado, kare, rawon, soto, dan banyak lagi. Setiap menu baru, sebelum disantap bareng, ada sesi pemotretan, lalu kita share ke Grup WhatsApp.
Jadi, Program POSFI Kemenag RI ini tidak hanya mengajarkan kami studi banding ilmiah dan wisata budaya, tapi juga yang tidak kalah pentingnya, team work dan wisata kuliner untuk bertahan hidup.

Tunisia, 9 Nopember 2015

Tidak ada komentar:
Tulis komentar