8 April 2017

Meng-Aswaja-kan NU?

 

Sayup-sayup terdengar seruan "Mari meng-Aswaja-kan NU?". Entah apa maksudnya. Anehnya lagi, suara itu bukan dari NU. Bahkan, ada meme "NU rasa Aswaja, bukan rasa Gereja". Hmm..."Stres dia Kak Emma", kata temanku.

Ya iyalah, lha wong suara dari Bumi Datar, ya gitu itu, ada unyu-unyunya dikit, hehe... Propaganda meng-Aswaja-kan NU ini, sama dengan menggarami lautan, mengajari ikan berenang atau mendekte Leonel Messi main bola. Kalau kurang jelas, ya mirip dengan ngajarai Raja Salman bahasa Arab.
Perlu diketahui, ajaran Aswaja itu, oleh kiai-kiai kampung telah ditanamkan sejak dini. Aqaid 50 (sékét) ala Asy'ariyah-Maturidiyah sudah dihafal dan dibuat puji-pujian oleh kader-kader sunni licek di musholla sambil menunggu iqamah. Sholat, wudlu, istinjak dan tatacara fiqih ala Syafi'iyah juga sudah khatam, mulai dari kitab Sullam, Fathul Qorib sampai Fathul Izar, hehehe...

Tak hanya itu, tentang akhlaq, tasawwuf, ilmu suwuk, mujarobat, semua ada. Jadi, jangan heran kalau sebenarnya ada IDNU (Ikatan Dukun NU), hehehe.. Itulah khazanah keilmuan ala NU yang sanadnya sambung mulai dari kampung hingga pesantren. Selanjutnya, khazanah keilmuan dan keaswajaan ini yang dibumikan NU untuk kepentingan bangsa.

Jadi, yang perlu itu justru wawasan kebangsaan, bagaimana sebagai sunni-nahdliyyin yang juga bagian dari warga negara Indonesia ini mampu bersikap toleran, menghormati perbedaan dan keanekaragaman ras, suku, bahasa hingga agama dalam bingkai "Bhinneka Tunggal Ika". Dalam rangka itu pula, NU "berjihad" membentengi NKRI dan menampilkan Islam Nusantara ini di mata dunia agar terwujud Islam Rahmatan Lil alamin.

Itulah NU. Jadi, propaganda "Meng-Aswaja-kan NU" ini sebenarnya adalah agenda menanamkan virus radikalisme. Virus yang seolah-olah mengedepankan agama tapi sebenarnya hanya mengatasnamakan agama untuk kepentingan sesaat, termasuk untuk politik kekuasaan. Virus ini juga bisa melunturkan sikap toleran dan wawasan kebangsaan.

Maka jelas, sponsor meng-Aswaja-kan ini adalah Aswaja yang bukan ala NU, entah ala apa, ala alay kali ya... Termasuk iklan untuk memurnikan NU dengan slogan "kembali ke NU-nya Mbah Hasyim Asy'ari", ah, ini hanya retorika saja. NU-nya Mbah Hasyim itu ya NU sekarang, sanadnya masih sambung, bro!

Mestinya, kaum bumi datar yang mengaku Aswaja itu yang justru perlu di-NU-kan. Seolah-olah sunni tapi tidak berwawasan kebangsaan, ya berarti bukan NU. Saya jadi teringat statemen guru saya di MA al-Maarif dulu, saat pelajaran ke-NU-an, beliau menegaskan, "Setiap orang NU mesti Sunni, tapi tidak semua Sunni itu NU". Kini, statemen itu yang coba diubah menjadi "Tidak semua orang NU itu sunni, ada yang sesat, liberal, munafik, syiah, komunis, dll".

So, agenda meng-Aswaja-kan NU ini adalah proyek untuk mengikis jiwa nahdliyyin yang moderat (tawasut), toleran (tasamuh), yang selalu menjaga tradisi yang baik (muhafadzah ala al-qadim al-shalih), tapi adaptif terhadap perubahan (akhdu al-jadid al-ashlah). Jadi, NU itu luas, luwes dan membumi. Ente tau son? hehe...

Kesimpulannya, bukan meng-Aswaja-kan NU. Yang perlu itu justru meng-NU-kan Aswaja, yakni memahami ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah yang memiliki pribadi kebangsaan. Sebab, sejatinya NU ini lahir untuk bangsa. Jika bangsa ini aman dan kuat, maka kuat pula kehidupan umat beragama di negeri ini.

Nah, begitu lho NU itu, sejak era Kiai Hasyim Asy'ari sampai sekarang, ya tetap sama, selalu siap menjadi garda bangsa sehingga keutuhan NKRI ini menjadi harga mati.

Jadi, yang ditawarkan itu sebenarnya Aswaja atau Azwaja sih? Coba sih, tanya Kak Emma atau Kak Toan dulu....hehehe..

Tidak ada komentar:
Tulis komentar