2 Juni 2017

Ghayah dan Wasilah

 

Ghayah artinya puncak atau tujuan akhir. Wasilah bisa berarti media, perantara, atau jalan menuju puncak. Laksana pendaki, tujuan akhirnya adalah puncak gunung. Untuk bisa tiba di sana, harus melewati jalanan yang menghubungkan ke puncak. Sementara itu, jalan menuju puncak, ada yang lurus, berliku, berbelok, memutar, bahkan ada pula jalan buntu.
Sebenarnya, sudah ada petunjuk bagi pendaki yang ingin menuju puncak tujuan. Hanya terkadang, petunjuk itu ada jelas, ada yang perlu penerjemahan, penafsiran, dan sebagainya. Karakter pendaki pun bermacam-macam. Ada yang berjiwa petualang, tidak takut rintangan dan hampir semua jalan, mudah ditaklukkan. Ada pendaki yang mampu memimpin pendaki lain menuju puncak tujuan. Ada pula pendaki yang tampaknya bisa, menguasai medan, tapi sebenarnya membingungkan. Dan, banyak lagi tipe pendaki.
Membincang tentang Ghayah dan Wasilah, saya teringat dialog yang pernah disampaikan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Suatu saat, di hadapan hadirin yang terdiri dari pejabat, politikus, ulama, dan masyarakat umum, seorang kiai bertanya:
"Apakah partai politik itu Ghayah atau Wasilah?". Sontak hadirin menjawab serempak, "Wasilah".
"Baik. Kali ini, saya tanya lagi, apa ormas sosial-keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dsb itu Ghayah atau Wasilah?", tanya Sang Kiai.
"Wasilah", jawab sebagian hadirin. Sebagian yang lain tampak diam. Entah masih berpikir atau apa, yang jelas, jawaban itu lagi serempak.
"Pertanyaan terakhir. Apakah agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dsb itu Ghayah atau Wasilah?", tanya Sang Kiai, mantap.
"Wa..si..lah..", jawab sebagian hadirin. Kali ini, jumlah yang menjawab jauh lebih sedikit daripada mereka yang diam. Entah bingung atau karena masih pikir-pikir.
Dialog itu menunjukkan bahwa sebenarnya kita semua sedang berjalan menuju puncak. Silahkan mengklaim "wasilah"nya yang paling benar, tapi jangan sombong dan menuduh "wasilah" orang atau kelompok lain salah atau sesat. Toh, sama-sama belum tiba di puncak.
Ramadan mengajarkan kita untuk mengevaluasi diri sendiri, melawan nafsu dan ego pribadi. Tidak malah sibuk mengoreksi kualitas puasa dan iman orang lain. Sebab, bisa saja puasa yang sedang dijalani, ternyata hanya mendapat lapar dan haus belaka. Tidak mampu mencetak pribadi bertaqwa. Pribadi yang benar-benar bersih dan hanya fokus menggapai tujuan, tidak ribut tentang wasilah dan segala hal yang remeh-temeh.
Selamat Berpuasa.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar