Di awal tahun 70an, kondisi keagamaan pada masyarakat di wilayah Kebalen
Wetan masih dikategorikan "awam" dan "abangan". Awam maksudnya,
pemahaman tentang ajaran agama, masih minim untuk tidak dikatakan Nol
Besar. Abangan karena faktanya tidak sedikit yang "pensiunan" komunis.
Karena
itu, wajar jika lika-liku dakwah oleh "kiai kampung" kerap melalui
jalan terjal. Untuk mengajak shalat saja, tidak mudah. Ada yang
beralasan belum siap, tidak bisa, sibuk cari makan, dan sebagainya.
Untuk itu, diperlukan cara yang tidak biasa dalam menunjukkan cahaya
Islam.
Adalah kakekku tercinta, Haji Ahmad Suyuti, yang saat itu
baru menetap di wilayah Kebalen Wetan, berinisiatif mendirikan kumpulan
tahlil yang sekarang dikenal "Jamaah Tahlil Plorotan". Disebut
"Plorotan" karena kondisi tanah di belakang rumahku saat itu "melorot"
alias menurun menuju sungai.
Awalnya, Abah berhasil mengajak 2 orang saja untuk tahlil tiap malam Jumat. Itupun tidak berpindah tempat, tapi tetap di rumah sambil disuguhi
kopi dan kue gorengan usai membaca surah Yasin dan Tahlil. Lalu,
bagaimana caranya agar jumlah jamaah bertambah? Padahal, ajakan door to
door sudah dilakukan, pendekatan dari hati ke hati juga sudah, tapi
tetap saja tidak ada respon menggembirakan.
Akhirnya, dengan
segala keterbatasan dan usaha keras, Abah berinisiatif akan memberi
bonus "sarung" bagi jamaah yang ikut tahlil dan rumahnya siap ditempati
acara rutin tiap bakda maghrib malam Jumat itu.
Alhasil, satu
demi satu, warga mulai tertarik. Entah karena sarung atau apa, yang
penting tujuan untuk menghimpun jamaah tahlil berjalan sukses.
Indikasinya, jumlah jamaah bertambah dan rumah mereka mau ditempati
tahlil.
Dengan ditempati tahlil, dakwah semakin menyebar. Tuan
rumah dan keluarganya, secara tidak langsung, akan semakin sadar dan
merasa rumah mereka layak dijadikan rumah silaturrahim yang di dalamnya
dibacakan ayat-ayat suci al-Quran dan bacaan mulia.
Setelah
jamaah mulai banyak dan semua bersarung, padahal biasanya tidak mau
bersarung, kegiatan tahlil pun makin istiqamah. Tiap usai tahlil, kadang
diberi sedikit tausiyah. Tidak hanya tentang materi agama, tapi juga
prihal pentingnya menjaga kebersihan kampung, gotong royong, saling
menjaga persaudaraan, ketertiban dan keamanan.
Dari kegiatan ini,
jamaah makin kompak dan mantap. Bahkan, sesekali perlu diberi "nadzira"
atau ancaman, bahwa warga yang tidak ikut tahlil, jika mati maka tidak
usah ditahlili. Rupanya, statemen ini menjadi "shock therapy" yang
membuat mereka makin mantap ikut tahlil.
Rupanya, dakwah mengajak
tahlil saja, perlu trik dan diplomasi, salah satunya "Diplomasi
Sarung". Semoga Allah menerima amal baik Abah dan mengampuni dosanya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar