6 Agustus 2017

Diplomasi Sarung Tahlil

 


Di awal tahun 70an, kondisi keagamaan pada masyarakat di wilayah Kebalen Wetan masih dikategorikan "awam" dan "abangan". Awam maksudnya, pemahaman tentang ajaran agama, masih minim untuk tidak dikatakan Nol Besar. Abangan karena faktanya tidak sedikit yang "pensiunan" komunis.

Karena itu, wajar jika lika-liku dakwah oleh "kiai kampung" kerap melalui jalan terjal. Untuk mengajak shalat saja, tidak mudah. Ada yang beralasan belum siap, tidak bisa, sibuk cari makan, dan sebagainya. Untuk itu, diperlukan cara yang tidak biasa dalam menunjukkan cahaya Islam.

Adalah kakekku tercinta, Haji Ahmad Suyuti, yang saat itu baru menetap di wilayah Kebalen Wetan, berinisiatif mendirikan kumpulan tahlil yang sekarang dikenal "Jamaah Tahlil Plorotan". Disebut "Plorotan" karena kondisi tanah di belakang rumahku saat itu "melorot" alias menurun menuju sungai.

Awalnya, Abah berhasil mengajak 2 orang saja untuk tahlil tiap malam Jumat. Itupun tidak berpindah tempat, tapi tetap di rumah sambil disuguhi kopi dan kue gorengan usai membaca surah Yasin dan Tahlil. Lalu, bagaimana caranya agar jumlah jamaah bertambah? Padahal, ajakan door to door sudah dilakukan, pendekatan dari hati ke hati juga sudah, tapi tetap saja tidak ada respon menggembirakan.

Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan usaha keras, Abah berinisiatif akan memberi bonus "sarung" bagi jamaah yang ikut tahlil dan rumahnya siap ditempati acara rutin tiap bakda maghrib malam Jumat itu.

Alhasil, satu demi satu, warga mulai tertarik. Entah karena sarung atau apa, yang penting tujuan untuk menghimpun jamaah tahlil berjalan sukses. Indikasinya, jumlah jamaah bertambah dan rumah mereka mau ditempati tahlil. 

Dengan ditempati tahlil, dakwah semakin menyebar. Tuan rumah dan keluarganya, secara tidak langsung, akan semakin sadar dan merasa rumah mereka layak dijadikan rumah silaturrahim yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat suci al-Quran dan bacaan mulia.

Setelah jamaah mulai banyak dan semua bersarung, padahal biasanya tidak mau bersarung, kegiatan tahlil pun makin istiqamah. Tiap usai tahlil, kadang diberi sedikit tausiyah. Tidak hanya tentang materi agama, tapi juga prihal pentingnya menjaga kebersihan kampung, gotong royong, saling menjaga persaudaraan, ketertiban dan keamanan.

Dari kegiatan ini, jamaah makin kompak dan mantap. Bahkan, sesekali perlu diberi "nadzira" atau ancaman, bahwa warga yang tidak ikut tahlil, jika mati maka tidak usah ditahlili. Rupanya, statemen ini menjadi "shock therapy" yang membuat mereka makin mantap ikut tahlil.

Rupanya, dakwah mengajak tahlil saja, perlu trik dan diplomasi, salah satunya "Diplomasi Sarung". Semoga Allah menerima amal baik Abah dan mengampuni dosanya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar