18 Agustus 2017

SAMBANG PONDOK

 


Jumat, 18 Agustus 2017, sehari setelah peringatan Kemerdekaan RI ke-72, segera saya beserta keluarga meluncur ke Ponpes Nurul Ulum Malang. Tujuannya adalah sambang putri pertama yang baru nyantri.

Hari ini akan menjadi hari yang mendebarkan sekaligus membahagiakan. Pasalnya, hampir 40 hari, orang tua santri baru dilarang bertemu anaknya. Terasa lama menunggu tibanya hari ini untuk melihat keadaan putri manisku yang berjuang seorang diri, menapak masa depannya. Inikah yang disebut rindu dan kasih sayang?

Sejak pagi, aula pesantren telah dipadati keluarga orang tua santri. Saya melihat beberapa santriwati baru tak kuasa meneteskan air mata. Entah apa maknanya? Sedih, gembira rindu, tidak betah, luapan derita, atau tetesan bahagia? Yang pasti, ekspresi itu muncul dari lubuk hati dan bukti kasih sayang antara anak dan orang tua yang tidak bisa aku tumpahkan melalui pena dan kata-kata.

Sebelumnya, isteriku telah belanja dan menyiapkan snack, kue, dan makanan favorit putriku. Amunisi baru siap kirim untuk memperkokoh tekad sang buah hati menjadi santri. Selain itu, kami juga telah siap lahir batin untuk menjadi pendengar setia tentang pengalaman baru putriku berada di "penjara suci".

Aku menduga, putriku bakal berkeluh kesah dan bercerita panjang lebar tentang beratnya menjalani hidup di pesantren, seperti: berebut jemuran, lelahnya mencuci baju, antri toilet, konsumsi yang tidak sesuai selera, teman yang nakal, sulitnya pelajaran baru, dan berbagai macam hal yang dulu juga pernah aku alami selama di pesantren.

Ternyata, dugaanku keliru. Putri manisku lebih banyak diam. Dari tatap matanya yang berkaca-kaca, tampak ketabahan dan kekuatan yang tidak aku kira. Tubuh mungilnya itu, ternyata sanggup menanggung semua derita. Ia jauh lebih kuat daripada yang aku perkirakan. Ia sanggup memendam semua hal yang kurang menyenangkan dan berusaha menampilkan diri bahwa semua baik-baik saja.

Dari pertemuan pertama ini, saya baru tahu, bahwa pesantren mengajarkan kita bertahan dalam kondisi dan situasi apapun, baik senang maupun tidak. Pengalaman ini jelas berharga bagi seorang santri dalam membentuk karakter sebagai seorang pejuang, bukan pecundang.

Hari telah sore. Tiba waktunya untuk kembali berpisah. Aku berpesan:

"Putriku, kamu baru saja melangkah. Teruslah, jangan berhenti, apalagi balik kembali. Di sepanjang jalan, akan kamu temukan bunga dan juga duri. Inilah kehidupan. Tapi, jangan pernah berhenti. Jalan masih panjang, ada yang lurus, ada pula yang berliku. Di masa depan, kamu akan mengenang perjalanan penuh nostalgia ini dengan penuh kepuasan dan kebahagiaan. Percayalah, karena aku telah melaluinya".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar